Pengamat Hukum: Penunjukan Pj Kepala Daerah Harus Hormati Putusan dan Saran MK

Rabu, 25 Mei 2022 - 14:56 WIB
loading...
Pengamat Hukum: Penunjukan Pj Kepala Daerah Harus Hormati Putusan dan Saran MK
Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari mengungkapkan penunjukan penjabat kepala daerah harus menghormati keputusan dan saran dari MK. Foto/Tangkapan Youtube FerI Amsari
A A A
JAKARTA - Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari mengungkapkan penunjukan penjabat kepala daerah harus menghormati putusan dan saran dari Mahkamah Konstitusi (MK) .

Hal tersebut ia sampaikan dalam webinar 'Polemik Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua Pasca Penunjukan Kepala Daerah Baru' yang dilaksanakan pada Rabu (25/5/2022).

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) ini melihat seharusnya pemerintah pusat dalam menunjuk Pj kepala daerah yang sudah habis masa jabatannya berpegang pada putusan MK Nomor 67 PUU/XIX/2021, Putusan MK Nomor 15 PUU/XX/2022, dan Putusan MK Nomor 18 PUU/XX/2022.

"Saya melihat dalam konteks kepatuhan pada keputusan Mahkamah Konstitusi, penyelenggara negara kita itu lemah sekali. Semua lembaga negara harus menghormati konstitusi dengan menaati putusan dari MK," ujar Feri.

Dikatakannya, MK tidak membentuk lembaga eksterior selama ini karena diharapkan semua lembaga negara menghormati dan menaati putusan MK.

"MK ini sangat lemah seperti putusan Cipta Kerja tidak dipatuhi malah dikeluarkan Instruksi Mendagri Nomor 68 Tahun 2021 yang bunyinya seolah-olah mematuhinya putusan MK tapi isinya mengingkari putusan MK," kata Feri.

Apabila ditarik ke pasal-pasal konstitusional, Pasal 30 UUD menegaskan tugas TNI dan Polri bukan sebagai penjabat pemerintahan daerah, tugasnya di ruang pertahanan dan keamanan.

"Dalam konteks MK Nomor 67 ini juga seperti itu menurut saya, tidak hanya kasus pak Paulus Waterpauw. Tapi ada daerah yang anggota TNI dan Polri aktif tetap dilantik padahal sudah tegas di UU Nomor 34 dan UU Nomor 2 dilarang," jelas dia.

Penjabat kepala daerah menurut putusan MK tidak boleh diisi oleh TNI dan Polri karena bukan tugas konstitusionalnya. Apalagi kata dia keputusan MK mempertegas landasan UU yang ada.

"Keputusan MK bukan soal anggota aktif tidak aktif, MK menyinggung untuk melaksanakan prinsip demokrasi sebagai diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD dalam Pemilihan Kepala Daerah juga perlu segera dipertimbangkan untuk membentuk Peraturan Pelaksana agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum," tutur Feri.

Hal tersebut kata dia seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam membentuk Pj kepala daerah. "Pertimbangan ini seharusnya demi azas kehati-hatian dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri. Namun sampai hari ini peraturan pelaksana itu tidak dibentuk oleh Mendagri," terangnya.

Padahal kata MK dalam putusannya keperluannya terkait tiga hal, agar penunjukan Pj itu betul-betul mempertimbangkan keterbukaan dan transparansi.

Ia menekankan pada pentingnya kompetensi untuk memimpin daerah melalui proses demokrasi konstitusional. Atau jika menggunakan konsep UU Pemerintahan Daerah dan UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota ada dua cara.

"Jika sisa masa jabatan 18 bulan dapat ditunjuk oleh Presiden melalui Mendagri. Jika lebih dari 18 bulan pemilihan dapat dilakukan di DPRD. Penunjukan penjabat itu harus betul menampung aspirasi masyarakat daerah dan pemerintah daerah. Penunjukan beberapa Pj tidak sesuai aspirasi masyarakat daerah," papar Feri.

Apabila menggunakan asas umum pemerintahan yang baik seorang penyelenggara negara harus mempertimbangkan unsur kehati-hatian. "Jika MK sudah memberikan saran untuk membentuk peraturan pelaksana seharusnya menteri membentuk, tapi tidak dibentuk. Konsekuensi administrasinya ada jika proses penunjukan penjabat itu bertentangan dengan putusan MK dan saran-saran pertimbangan MK, maka bisa berkonsekuensi terkait Pasal 17,18,19 di UU Administrasi Pemerintahan," jelas Feri.

Apabila kebijakan dan tindakan pejabat tata usaha negara atau badan tata usaha negara dianggap berkonsekuensi sebagai tindakan sewenang-wenang maka kata Feri Amsari kebijakan yang diambil tidak sah.

"Penunjukan Penjabat kepala daerah ini merupakan pilihan Mendagri dan Presiden di 270 daerah dari 2022 dan 2023. Kalau ini gagasan konstitusional yang harus dipatuhi ya dipatuhi, kalau dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 ada konsep yang harus dipertahankan sebagai prinsip demokrasi dalam pemilihan kepala daerah harus dijalankan," tegasnya.

Pertanyaan besarnya saat ini kata dia kenapa pemerintah melalui Kemendagri tidak menjalankan konsep-konsep yang ada di UUD, putusan MK, dan UU Nomor 10 Tahun 2016.

"Kalau dicari dari aspek konstitusional ini jelas salah. Putusan MK harus dijalankan dengan spesifik agar ada marwah penghormatan terhadap MK. Setiap penyelenggara negara yang mengabaikan putusan MK sebagai tindakan pelanggaran inkonstitusional," pungkas Feri.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1296 seconds (0.1#10.140)