Tutupi Audit BPJS Kesehatan, BPKP Dinilai Tak Paham Marwah
loading...
A
A
A
Beragam kejanggalan ditemukan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam mendapatkan akses informasi mengenai hasil audit pengelolaan dana Jaminan Kesehatan Nasional pada 2018 oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Peneliti ICW Egi Primayogha dalam diskusi daring, Minggu (21/6/2020) mengungkapkan bahwa ICW telah mengajukan keberatan ke Komisi Informasi Pusat (KIP) pada Januari 2019. Setahun kemudian, KIP menyatakan hasil audit tersebut sebagai informasi terbuka. Namun BPKP tetap menolak memberikan informasi.
Menurut Egi, alasan BPKP tidak konsisten. Semula BPKP beralasan bahwa hasil audit tersebut dikecualikan dan bukan untuk publik. Namun dalam persidangan selanjutnya, sikap lembaga itu berubah dan menyatakan informasi bersifat terbuka namun tidak bisa memberikannya. Begitu sidang selanjutnya, BPKP balik lagi berubah dan menyatakan bahwa informasi tersebut dikecualikan.
(Baca: ICW Minta KPK Usut Pihak Lain yang Membantu Pelarian Nurhadi)
“Jadi, menurut saya BPKP tidak paham marwah dirinya sebagai pelayan publik dan mengabaikan semangat keterbukaan informasi,” kritiknya.
Tak hanya itu, Egi menilai BPKP sebagai ‘dokter’ dan menganalogikan Kemenkeu sebagai ‘pasien’. Hal itulah yang menurut dia menjadi alasan BPKP berdalih bahwa permintaan hasil audit itu seharusnya ditujukan ke Kemenkeu.
“Ini menunjukkan bahwa mereka tidak dapat membedakan antara badan private dan public sehingga argumentasi itu tidak layak digunakan. Harusnya BPKP minta izin ke Kemenkeu untuk memberikan dokumen hasil audit terkait BPJS Kesehatan kepada publik,” ketusnya.
Di sisi lain, Egi menyoalkan alasan BPKP yang berusaha menutupi hasil auditnya. Padahal informasi itu juga sudah disampaikan kepada DPR. Bahkan, dirinya juga menyayangkan sikap KIP yang menyatakan hanya ringkasan hasil audit ke DPR yang terbuka untuk publik.
(Baca: Kemenkeu Masih Periksa Hasil Audit BPJS Kesehatan)
Sebagai informasi, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 16 Juni 2020 mengabulkan gugatan BPKP atas putusan KIP. Pengadilan memutuskan pembatalan putusan KIP yang sebelumnya menyatakan hasil audit BPKP sebagai informasi terbuka.
Majelis hakim dalam perkara bernomor 64/G/KI/2020/PTUN.JKT membatalkan pembukaan ringkasan audit BPJS Kesehatan dengan mengabulkan permohonan penggugat yang meminta putusan KIP nomor 005/I/KIP-PS-A/2019 untuk dibatalkan.
“Menyatakan batal putusan Komisi Informasi Putusan: 005/I/KIP-PS-A/2019 tertanggal 3 Maret 2020,” seperti tertera dalam SIPP PTUN Jakarta, Selasa (16/6/2020).
(Baca: KPK Eksekusi Dua Terdakwa Kasus Suap Eks Gubernur Sumut, ke Lapas Perempuan)
Berdasarkan hasil audit BPKP, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ditengarai mengalami defisit hingga Rp10,98 triliun. Lantaran itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan dana talangan hingga Rp4,9 triliun.
Namun di tahun yang sama, defisit terjadi kembali mencapai Rp6,12 triliun. Kemenkeu pun menggelontorkan lagi dana talangan hingga Rp5,2 triliun sehingga total dana yang disalurkan mencapai Rp10,1 triliun.
“Itulah alasan kami mengajukan permintaan informasi kepada BPKP pada November 2018. Ingin tahu sebenarnya secara detail masalah-masalah dari pengelolaan dana JKN,” ujar Egi.
Peneliti ICW Egi Primayogha dalam diskusi daring, Minggu (21/6/2020) mengungkapkan bahwa ICW telah mengajukan keberatan ke Komisi Informasi Pusat (KIP) pada Januari 2019. Setahun kemudian, KIP menyatakan hasil audit tersebut sebagai informasi terbuka. Namun BPKP tetap menolak memberikan informasi.
Menurut Egi, alasan BPKP tidak konsisten. Semula BPKP beralasan bahwa hasil audit tersebut dikecualikan dan bukan untuk publik. Namun dalam persidangan selanjutnya, sikap lembaga itu berubah dan menyatakan informasi bersifat terbuka namun tidak bisa memberikannya. Begitu sidang selanjutnya, BPKP balik lagi berubah dan menyatakan bahwa informasi tersebut dikecualikan.
(Baca: ICW Minta KPK Usut Pihak Lain yang Membantu Pelarian Nurhadi)
“Jadi, menurut saya BPKP tidak paham marwah dirinya sebagai pelayan publik dan mengabaikan semangat keterbukaan informasi,” kritiknya.
Tak hanya itu, Egi menilai BPKP sebagai ‘dokter’ dan menganalogikan Kemenkeu sebagai ‘pasien’. Hal itulah yang menurut dia menjadi alasan BPKP berdalih bahwa permintaan hasil audit itu seharusnya ditujukan ke Kemenkeu.
“Ini menunjukkan bahwa mereka tidak dapat membedakan antara badan private dan public sehingga argumentasi itu tidak layak digunakan. Harusnya BPKP minta izin ke Kemenkeu untuk memberikan dokumen hasil audit terkait BPJS Kesehatan kepada publik,” ketusnya.
Di sisi lain, Egi menyoalkan alasan BPKP yang berusaha menutupi hasil auditnya. Padahal informasi itu juga sudah disampaikan kepada DPR. Bahkan, dirinya juga menyayangkan sikap KIP yang menyatakan hanya ringkasan hasil audit ke DPR yang terbuka untuk publik.
(Baca: Kemenkeu Masih Periksa Hasil Audit BPJS Kesehatan)
Sebagai informasi, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 16 Juni 2020 mengabulkan gugatan BPKP atas putusan KIP. Pengadilan memutuskan pembatalan putusan KIP yang sebelumnya menyatakan hasil audit BPKP sebagai informasi terbuka.
Majelis hakim dalam perkara bernomor 64/G/KI/2020/PTUN.JKT membatalkan pembukaan ringkasan audit BPJS Kesehatan dengan mengabulkan permohonan penggugat yang meminta putusan KIP nomor 005/I/KIP-PS-A/2019 untuk dibatalkan.
“Menyatakan batal putusan Komisi Informasi Putusan: 005/I/KIP-PS-A/2019 tertanggal 3 Maret 2020,” seperti tertera dalam SIPP PTUN Jakarta, Selasa (16/6/2020).
(Baca: KPK Eksekusi Dua Terdakwa Kasus Suap Eks Gubernur Sumut, ke Lapas Perempuan)
Berdasarkan hasil audit BPKP, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ditengarai mengalami defisit hingga Rp10,98 triliun. Lantaran itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan dana talangan hingga Rp4,9 triliun.
Namun di tahun yang sama, defisit terjadi kembali mencapai Rp6,12 triliun. Kemenkeu pun menggelontorkan lagi dana talangan hingga Rp5,2 triliun sehingga total dana yang disalurkan mencapai Rp10,1 triliun.
“Itulah alasan kami mengajukan permintaan informasi kepada BPKP pada November 2018. Ingin tahu sebenarnya secara detail masalah-masalah dari pengelolaan dana JKN,” ujar Egi.
(muh)