Nasib Miris Guru
loading...
A
A
A
Anggi Afriansyah
Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN
GURU sering disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Karena istilah tersebut para guru dianggap tidak layak mendapatkan kesejahteraan yang memadai. Beberapa pihak yang tidak bertanggungjawab menyatakan bahwa menjadi guru merupakan pengabdian mulia sehingga mereka tidak perlu mengejar keuntungan dunia. Padahal bukan soal sesuatu yang sifatnya duniawi, ini bicara hak hidup seseorang mendapatkan penghasilan yang layak, sesuatu yang dijamin oleh konstitusi.
Dalam dunia modern, sama seperti profesi lain, para guru memiliki hak yang setara untuk hidup layak dan sejahtera. Berlindung di balik istilah “guru tanpa tanda jasa” merupakan suatu hal yang tidak masuk akal. Jika mau jujur, hanya guru-guru yang berstatus aparatur sipil negara (ASN) dan guru-guru yang bekerja di sekolah swasta dengan latar belakang siswa kelas sosial menengah atas yang dapat menikmati kesejahteraan yang mencukupi. Sementara lebih banyak guru yang harus berpasrah diri mendapatkan penghasilan yang kurang baik sehingga harus berjibaku melakukan pekerjaan lain untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bukan hanya guru honorer di sekolah negeri yang tidak sejahtera. Para guru yang bekerja di sekolah swasta pun merasakan pahitnya menjadi guru. Dalam suatu diskusi dengan seorang guru yang mengikuti seleksi penerimaan guru di salah satu sekolah swasta, saya mendapat kisah miris. Ketika proses seleksi, pihak sekolah menyampaikan kepadanya bahwa pihak sekolah tidak dapat memberikan gaji sesuai dengan Upah Minimum Kota (UMK).
Guru yang mengikuti proses tersebut terhenyak mendengar betapa posisinya sangat marjinal. Padahal dirinya merupakan lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) ternama di ibukota dan sudah memiliki pengalaman mengajar beberapa tahun. Ternyata dengan kualifikasi akademik dan pengalaman kerja tersebut, untuk mendapatkan gaji yang sesuai standar saja tidak mudah.
Sistem penggajian bagi guru di satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat (swasta) memang problematik. Jika kita tilik pada Undang-Undang Guru dan Dosen pasal 15 ayat tiga disebutkan “Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama”. Pada akhirnya memang bukan berdasarkan pada UMK yang berlaku tetapi berdasar pada perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama yang cenderung tidak berpihak pada guru.
Ketika bicara sekolah swasta ada beberapa kategori terkait perlakuan terhadap guru. Pertama, sekolah-sekolah swasta yang memiliki sumber daya ekonomi mumpuni. Sekolah-sekolah ini memberikan perhatian secara layak kepada para gurunya seperti gaji pokok sesuai dengan UMK, jaminan kesehatan, kepastian menjadi guru tetap yayasan, dan aspek kesejahteraan lainnya. Indikator yang paling mudah untuk melihat sekolah tipe ini adalah dengan memperhatikan tingkat kebertahanan guru-guru tersebut hingga usia pensiun.
Selain itu, juga dengan memerhatikan dengan tingkat turn over atau keluar masuk pergantian guru yang rendah di setiap di setiap tahunnya. Sebab, jika ada sekolah-sekolah dengan tingkat turn over pergantian guru yang tinggi di setiap tahun, bisa jadi ada persoalan dalam manajemen pengelolaan guru di sekolah tersebut.
Kedua, sekolah swasta yang memiliki keterbatasan sumber daya ekonomi. Di sekolah-sekolah ini, para guru mendapatkan perhatian yang kurang optimal ditandai dengan gaji di bawah UMK, ketidakpastian status, dan minimnya kesejahteraan yang didapat. Namun di luar kategori tersebut ada juga sekolah swasta yang sebetulnya memiliki sumber daya yang baik namun kurang memiliki perhatian terhadap para gurunya.
Sekolah-sekolah tersebut mematok uang masuk dan iuran dengan harga tinggi kepada para siswa, memiliki gedung dan fasilitas mentereng namun kontras ketika bicara mengenai kesejahteraan guru. Sekolah dalam posisi ini seperti layaknya perusahaan yang hanya mementingkan bisnis semata tetapi tidak memperhatikan kesejahteraan para gurunya.
Beberapa rekan guru menyatakan bahwa untuk menjadi guru tetap yayasan tidak mudah. Dalam beberapa kasus, ada situasi di mana mereka menjadi guru kontrak selama bertahun-tahun tanpa kepastian untuk menjadi guru tetap. Sehingga para guru harus bersabar memperbarui kontraknya setiap tahun sekali. Posisi mereka rentan karena bisa diputus kontrak kapan pun jika dianggap berperilaku tidak sesuai dengan cara pandang atau aturan sekolah.
Posisi Tawar Rendah
Para guru seringkali terjebak pada posisi dan daya tawar yang rendah, meskipun mereka memiliki kualifikasi akademik dan pengalaman kerja. Pada akhirnya karena terdesak oleh kebutuhan hidup, para guru ini berpasrah diri dan menerima pekerjaan dengan gaji di bawah UMK. Para guru ini tetap menempuh jalan penuh onak serta tetap tulus mengabdi untuk ibu pertiwi.
Jika kita ingin mengimajinasikan Indonesia masa depan yang berkualitas, memperhatikan kualitas dan kesejahteraan guru merupakan keniscayaan. Tidak ada tawar menawar terkait dengan persoalan ini. Jika merujuk pada negara-negara maju, perhatian terhadap penyiapan guru, pelatihan kompetensi guru, dan isu kesejahteraan menjadi sangat utama. Kondisi demikian menjadikan posisi guru tidak semata mulia dari segi sosial, tetapi juga sejahtera.
Keteladan dalam mengabdi untuk mencerdaskan anak bangsa merupakan tugas mulia guru. Tetapi, jangan lupa, ada hak yang harus diberikan kepada para guru tersebut. Jangan ingkari kenyataan bahwa guru-guru ini adalah para orangtua yang harus membiayai kehidupan keluarganya di rumah. Jika para guru terbebani secara ekonomi karena keterbatasan penghasilan, tentu ini menjadi persoalan. Tuntutan untuk mencerdaskan anak bangsa harus diimbangi dengan kesejahteraan yang memadai.
Guru yang tidak terbebani secara ekonomi akan lebih mudah berkonsentrasi untuk mengeksplorasi berbagai inovasi dalam pendidikan. Jika dikalkulasi, guru-guru di sekolah swasta yang “megap-megap” ini lebih mendominasi ketimbang dengan guru-guru yang berstatus ASN atau Guru tetap di sekolah swasta elit. Padahal para guru ini juga menjadi pencerah bagi anak-anak miskin yang memiliki keterbatasan dalam mengakses pendidikan.
Berharap kemajuan pendidikan di Indonesia tetapi tidak memperhatikan nasib guru tentu omong kosong. Jika negeri ini percaya pada pendidikan harapan disematkan, tetapi justru meninggalkan guru pada kemiskinan dan ketidakberdayaan, tentu ini bukan hal yang tepat.
Baca Juga: koran-sindo.com
Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN
GURU sering disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Karena istilah tersebut para guru dianggap tidak layak mendapatkan kesejahteraan yang memadai. Beberapa pihak yang tidak bertanggungjawab menyatakan bahwa menjadi guru merupakan pengabdian mulia sehingga mereka tidak perlu mengejar keuntungan dunia. Padahal bukan soal sesuatu yang sifatnya duniawi, ini bicara hak hidup seseorang mendapatkan penghasilan yang layak, sesuatu yang dijamin oleh konstitusi.
Dalam dunia modern, sama seperti profesi lain, para guru memiliki hak yang setara untuk hidup layak dan sejahtera. Berlindung di balik istilah “guru tanpa tanda jasa” merupakan suatu hal yang tidak masuk akal. Jika mau jujur, hanya guru-guru yang berstatus aparatur sipil negara (ASN) dan guru-guru yang bekerja di sekolah swasta dengan latar belakang siswa kelas sosial menengah atas yang dapat menikmati kesejahteraan yang mencukupi. Sementara lebih banyak guru yang harus berpasrah diri mendapatkan penghasilan yang kurang baik sehingga harus berjibaku melakukan pekerjaan lain untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bukan hanya guru honorer di sekolah negeri yang tidak sejahtera. Para guru yang bekerja di sekolah swasta pun merasakan pahitnya menjadi guru. Dalam suatu diskusi dengan seorang guru yang mengikuti seleksi penerimaan guru di salah satu sekolah swasta, saya mendapat kisah miris. Ketika proses seleksi, pihak sekolah menyampaikan kepadanya bahwa pihak sekolah tidak dapat memberikan gaji sesuai dengan Upah Minimum Kota (UMK).
Guru yang mengikuti proses tersebut terhenyak mendengar betapa posisinya sangat marjinal. Padahal dirinya merupakan lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) ternama di ibukota dan sudah memiliki pengalaman mengajar beberapa tahun. Ternyata dengan kualifikasi akademik dan pengalaman kerja tersebut, untuk mendapatkan gaji yang sesuai standar saja tidak mudah.
Sistem penggajian bagi guru di satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat (swasta) memang problematik. Jika kita tilik pada Undang-Undang Guru dan Dosen pasal 15 ayat tiga disebutkan “Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama”. Pada akhirnya memang bukan berdasarkan pada UMK yang berlaku tetapi berdasar pada perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama yang cenderung tidak berpihak pada guru.
Ketika bicara sekolah swasta ada beberapa kategori terkait perlakuan terhadap guru. Pertama, sekolah-sekolah swasta yang memiliki sumber daya ekonomi mumpuni. Sekolah-sekolah ini memberikan perhatian secara layak kepada para gurunya seperti gaji pokok sesuai dengan UMK, jaminan kesehatan, kepastian menjadi guru tetap yayasan, dan aspek kesejahteraan lainnya. Indikator yang paling mudah untuk melihat sekolah tipe ini adalah dengan memperhatikan tingkat kebertahanan guru-guru tersebut hingga usia pensiun.
Selain itu, juga dengan memerhatikan dengan tingkat turn over atau keluar masuk pergantian guru yang rendah di setiap di setiap tahunnya. Sebab, jika ada sekolah-sekolah dengan tingkat turn over pergantian guru yang tinggi di setiap tahun, bisa jadi ada persoalan dalam manajemen pengelolaan guru di sekolah tersebut.
Kedua, sekolah swasta yang memiliki keterbatasan sumber daya ekonomi. Di sekolah-sekolah ini, para guru mendapatkan perhatian yang kurang optimal ditandai dengan gaji di bawah UMK, ketidakpastian status, dan minimnya kesejahteraan yang didapat. Namun di luar kategori tersebut ada juga sekolah swasta yang sebetulnya memiliki sumber daya yang baik namun kurang memiliki perhatian terhadap para gurunya.
Sekolah-sekolah tersebut mematok uang masuk dan iuran dengan harga tinggi kepada para siswa, memiliki gedung dan fasilitas mentereng namun kontras ketika bicara mengenai kesejahteraan guru. Sekolah dalam posisi ini seperti layaknya perusahaan yang hanya mementingkan bisnis semata tetapi tidak memperhatikan kesejahteraan para gurunya.
Beberapa rekan guru menyatakan bahwa untuk menjadi guru tetap yayasan tidak mudah. Dalam beberapa kasus, ada situasi di mana mereka menjadi guru kontrak selama bertahun-tahun tanpa kepastian untuk menjadi guru tetap. Sehingga para guru harus bersabar memperbarui kontraknya setiap tahun sekali. Posisi mereka rentan karena bisa diputus kontrak kapan pun jika dianggap berperilaku tidak sesuai dengan cara pandang atau aturan sekolah.
Posisi Tawar Rendah
Para guru seringkali terjebak pada posisi dan daya tawar yang rendah, meskipun mereka memiliki kualifikasi akademik dan pengalaman kerja. Pada akhirnya karena terdesak oleh kebutuhan hidup, para guru ini berpasrah diri dan menerima pekerjaan dengan gaji di bawah UMK. Para guru ini tetap menempuh jalan penuh onak serta tetap tulus mengabdi untuk ibu pertiwi.
Jika kita ingin mengimajinasikan Indonesia masa depan yang berkualitas, memperhatikan kualitas dan kesejahteraan guru merupakan keniscayaan. Tidak ada tawar menawar terkait dengan persoalan ini. Jika merujuk pada negara-negara maju, perhatian terhadap penyiapan guru, pelatihan kompetensi guru, dan isu kesejahteraan menjadi sangat utama. Kondisi demikian menjadikan posisi guru tidak semata mulia dari segi sosial, tetapi juga sejahtera.
Keteladan dalam mengabdi untuk mencerdaskan anak bangsa merupakan tugas mulia guru. Tetapi, jangan lupa, ada hak yang harus diberikan kepada para guru tersebut. Jangan ingkari kenyataan bahwa guru-guru ini adalah para orangtua yang harus membiayai kehidupan keluarganya di rumah. Jika para guru terbebani secara ekonomi karena keterbatasan penghasilan, tentu ini menjadi persoalan. Tuntutan untuk mencerdaskan anak bangsa harus diimbangi dengan kesejahteraan yang memadai.
Guru yang tidak terbebani secara ekonomi akan lebih mudah berkonsentrasi untuk mengeksplorasi berbagai inovasi dalam pendidikan. Jika dikalkulasi, guru-guru di sekolah swasta yang “megap-megap” ini lebih mendominasi ketimbang dengan guru-guru yang berstatus ASN atau Guru tetap di sekolah swasta elit. Padahal para guru ini juga menjadi pencerah bagi anak-anak miskin yang memiliki keterbatasan dalam mengakses pendidikan.
Berharap kemajuan pendidikan di Indonesia tetapi tidak memperhatikan nasib guru tentu omong kosong. Jika negeri ini percaya pada pendidikan harapan disematkan, tetapi justru meninggalkan guru pada kemiskinan dan ketidakberdayaan, tentu ini bukan hal yang tepat.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)