Mudik via Laut, Pengamat Maritim Minta Keamanan dan Keselamatan Kapal Jadi Prioritas
loading...
A
A
A
Disebutkan dalam tulisan tersebut "Kegagalan pemerintah dalam pemenuhan SDM yang mumpuni untuk posisi Syahbandar, pada akhirnya mengaburkan makna Syahbandar sampai pada titik nadir keilmuan. "Dan seperti yang kita lihat belakangan ini, saat terjadi kecelakaan kapal maka bukannya Syahbandar, tapi polisi dan KNKT yang masuk. Bahkan untuk menerbitkan SPB pun syahbandar harus meminta approval pihak kepolisian."
Dan masih mengutip pendapat Zaenal Hasibuan, "Didalam Undang Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran pada Bab XI bagian ketujuh menyebutkan bahwa penanganan kecelakaan kapal adalah di tangan Syahbandar, sebagai pelaksana pemeriksaan pendahuluan. Kemudian dilanjutkan dengan peran Mahkamah Pelayaran RI sebagai pelaksana pemeriksaan lanjutan dan pengambil keputusan terhadap kasus kecelakaan kapal (Bab XIII bagian ketiga).
Karena kekhususan jabatan dan tugas Syahbandar tidak boleh diserahkan kepada yang tidak memahami dan tidak memiliki dasar pendidikan yang kuat. Sebagai akibatnya, para Syahbandar yang semestinya bertindak sebagai pelaksana pemeriksa pendahuluan (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) malah melemparkan hal tersebut kepada pihak kepolisian.
Praktik seperti ini akhirnya menjadi seperti praktik lazim di Indonesia. Bahkan adanya Syahbandar yang dijadikan tersangka atas kecelakaan yang terjadi atas kecelakaan kapal.
"Saya berharap posisi syahbandar bisa dikembalikan ke fungsi sebenarnya sesuai dalam UU 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran," harapnya.
"Kapal yang berlayar tanpa SPB tetapi membawa muatan kurang dari yang disyaratkan oleh notasi plimsoll mark, memiliki risiko tenggelam lebih kecil ketimbang kapal yang berlayar over the mark, walaupun SPB-nya ditandatangani oleh puluhan petugas," jelas Capt. Hakeng.
Terjadinya kecelakaan, kapal atau alat transportasi lainnya, bukan disebabkan minimnya petugas yang "pasang badan" terhadap anomali kegiatan tersebut. Kecelakaan terjadi karena dilampauinya batas kewajaran dari kegiatan alat transportasi yang melewati ambang batas safety yang diizinkan oleh regulasi.
Dari sudut pandang sebagai pengamat maritim, dia menyebutkan, kalaupun dikatakan yang mempertanggungjawabkan ada beberapa pihak, maka pihak-pihak ini bukanlah menanggung renteng responsibility atau memberikan added value untuk keselamatan kapal. Tapi yang ditanggung renteng adalah ketidaktahuan bersama akan aturan yang ada.
"Membiarkan kapal berlayar melebihi batas maksimum kemampuan kapal dari sisi teknis dan keselamatan adalah committed to breach the applicable rule, sebaiknya pengguna jasa melipat gandakan doa jika menggunakan alat transportasi penyeberangan di Indonesia," jelasnya.
Disebutkan Capt Marcellus Hakeng lagi, untuk keselamatan dan keamanan pelayaran, hak diskresi hanya dimiliki oleh Nakhoda (Master Overriding Authority).
Dan masih mengutip pendapat Zaenal Hasibuan, "Didalam Undang Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran pada Bab XI bagian ketujuh menyebutkan bahwa penanganan kecelakaan kapal adalah di tangan Syahbandar, sebagai pelaksana pemeriksaan pendahuluan. Kemudian dilanjutkan dengan peran Mahkamah Pelayaran RI sebagai pelaksana pemeriksaan lanjutan dan pengambil keputusan terhadap kasus kecelakaan kapal (Bab XIII bagian ketiga).
Karena kekhususan jabatan dan tugas Syahbandar tidak boleh diserahkan kepada yang tidak memahami dan tidak memiliki dasar pendidikan yang kuat. Sebagai akibatnya, para Syahbandar yang semestinya bertindak sebagai pelaksana pemeriksa pendahuluan (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) malah melemparkan hal tersebut kepada pihak kepolisian.
Praktik seperti ini akhirnya menjadi seperti praktik lazim di Indonesia. Bahkan adanya Syahbandar yang dijadikan tersangka atas kecelakaan yang terjadi atas kecelakaan kapal.
"Saya berharap posisi syahbandar bisa dikembalikan ke fungsi sebenarnya sesuai dalam UU 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran," harapnya.
"Kapal yang berlayar tanpa SPB tetapi membawa muatan kurang dari yang disyaratkan oleh notasi plimsoll mark, memiliki risiko tenggelam lebih kecil ketimbang kapal yang berlayar over the mark, walaupun SPB-nya ditandatangani oleh puluhan petugas," jelas Capt. Hakeng.
Terjadinya kecelakaan, kapal atau alat transportasi lainnya, bukan disebabkan minimnya petugas yang "pasang badan" terhadap anomali kegiatan tersebut. Kecelakaan terjadi karena dilampauinya batas kewajaran dari kegiatan alat transportasi yang melewati ambang batas safety yang diizinkan oleh regulasi.
Dari sudut pandang sebagai pengamat maritim, dia menyebutkan, kalaupun dikatakan yang mempertanggungjawabkan ada beberapa pihak, maka pihak-pihak ini bukanlah menanggung renteng responsibility atau memberikan added value untuk keselamatan kapal. Tapi yang ditanggung renteng adalah ketidaktahuan bersama akan aturan yang ada.
"Membiarkan kapal berlayar melebihi batas maksimum kemampuan kapal dari sisi teknis dan keselamatan adalah committed to breach the applicable rule, sebaiknya pengguna jasa melipat gandakan doa jika menggunakan alat transportasi penyeberangan di Indonesia," jelasnya.
Disebutkan Capt Marcellus Hakeng lagi, untuk keselamatan dan keamanan pelayaran, hak diskresi hanya dimiliki oleh Nakhoda (Master Overriding Authority).