Entrepreneurship 'Jalur Corona'

Sabtu, 20 Juni 2020 - 07:32 WIB
loading...
Entrepreneurship Jalur Corona
Foto/Istimewa
A A A
Fajar S Pramono
Peminat tema sosial ekonomi, alumnus UNS Surakarta

Pandemi Corona (Covid-19) memang menciptakan warna zaman yang bersejarah. Unik, bahkan cenderung “heroik”. Ada lulusan sekolah “jalur Corona” karena proses kelulusannya melalui situasi yang tidak memungkinkan lembaga pendidikan melakukan uji kemampuan akhir siswa sebagaimana tahun-tahun “normal” sebelumnya. Assesment-nya menggunakan metode virtual. Tanpa tatap muka secara langsung, tetapi dengan tingkat kelulusan yang nyaris sempurna.

Seminar nasional, pelatihan, dan kursus yang dulu menjadi “barang mewah” karena peserta harus mengeluarkan effort biaya transportasi, biaya registrasi, dan bahkan biaya akomodasi di lokasi penyelenggaraan diskusi kini jadi mudah diikuti. Mereka bisa mengikuti seminar berkualitas dengan tetap duduk manis di kamar rumahnya nun jauh di pelosok negeri. Dan sesudahnya ia tetap berhak mendapatkan apresiasi keikutsertaan berupa sertifikat. Sertifikat “jalur korona”. (Baca: Tidak Pakai Masker, 61 Warga Disanksi Sapu Jalan Raya)

Wisuda bagi para lulusan lembaga pendidikan sebagaimana saya sebut di awal tulisan ini pun dilakukan secara virtual. Bahkan ada wisuda sistem “drive-thru”. Bergantian turun dari mobil di venue atau di depan stage yang disiapkan, melakukan ritual kecil kelulusan lengkap dengan jubah dan toga kebesaran, berfoto-foto, kembali ke mobil, dan selesai. Jalan pulang, wisuda sah, senyum terkembang. Ahay!

Kreativitas dan Hobi

Namun di balik fenomena baru yang “lucu” dan mungkin “wagu”, di balik kekhawatiran dan bahkan kecemasan menghadapi ganasnya virus corona, di balik kesedihan dan kegamangan hidup akan masa depan, selalu saja ada hal yang bisa disenyumi dan disyukuri. Salah satunya merebaknya entrepreneur-entrepreneur “dadakan” yang berusaha bukan diawali kebutuhan akan tambahan penghasilan, tetapi lebih pada aktualisasi potensi, kreasi, hobi, dan bahkan keinginan membantu sesama berbasis empati.

Mari ambil beberapa contoh. Seorang ibu rumah tangga yang selama ini telah tercukupi kebutuhan hidupnya dari penghasilan suami tiba-tiba menjadi pengusaha makanan bergizi tinggi demi melihat kesulitan tetangga kanan kiri mencari asupan berkualitas di era pandemi. Pada gilirannya hobi memasak menjadi sebuah usaha baru yang diseriusi.

Seorang wanita karier bidang properti tiba-tiba bertambah “profesi” jualan rempah dan minuman herbal ketika melihat kedua jenis bahan konsumsi itu menjadi “kebutuhan baru” masyarakat untuk sehat dan disebut sebagai antikorona. (Baca juga: Besok Buka, Ragunan Batasi 1.000 Pengunjung Perhari)

Seorang MC cantik yang tentu saja banyak kehilangan job artis tiba-tiba tergerak menjadi penyuplai alat pelindung diri dan tetek bengek alat kesehatan, semata karena melihat dirinya punya modal jejaring sosial dan waktu luang yang berlimpah untuk bisa berbagi sekaligus memperoleh penghasilan pengganti.

Seorang gadis muda yang sejak semula memang punya kegemaran membuat pakaian jadi tanpa kegiatan menjual sebagai pretensi tiba-tiba menjadi pengusaha masker modis beraksesori manakala melihat kebutuhan fashion yang sehat dan fungsional banyak dicari. Hobi tersalurkan dan adanya penghasilan tambahan tentu sangat menyenangkan.

Itu sekadar contoh dari begitu banyak profesi entrepreneurship baru yang tiba-tiba saja bermunculan di tengah pandemi. Semua tak pernah direncanakan untuk menjadi sebuah profesi usaha baru jika saja pandemi tak bertamu. Kalaupun saya banyak mengambil contoh para wanita mandiri, itu semata karena naluri saya sebagai laki-laki. Ahay!

“UMKM Stroberi”

Kemunculan entrepreneur-entrepreneur baru seperti di atas layak diapresiasi, tetapi juga menyisakan pekerjaan rumah yang harus digarisbawahi.

Suatu ketika pakar perubahan Rhenald Kasali menulis soal tumbuh suburnya strawberry generation di negeri ini. Apa itu “generasi stroberi”? Ya, layaknya spesifikasi buah stroberi yang terlihat indah dan eksotis, tetapi sesungguhnya begitu mudah koyak dan hancur manakala ia bergesekan atau berbenturan dengan benda lain di sekitarnya. Maka generasi stroberi adalah generasi yang keren, inovatif, bersemangat, namun ternyata mudah menyerah dan “sakit” ketika harus berhadapan dengan kesulitan, kompetisi, dan ketidakpastian.

Profesor Rhenald memang mengibaratkan generasi stroberi ini dalam konteks generasi biologis-demografis. Ia tidak spesifik menyinggung soal generasi UMKM, tetapi lebih pada generasi muda yang semestinya menjadi generasi tangguh di kemudian hari. Namun tak ada salahnya jika penyebutan istilah strawberry generation ini kita gunakan untuk menyebut generasi UMKM yang masih “muda”, relatif lahir secara instan, penuh kreativitas dan inovasi di awal kelahirannya, tapi belum teruji secara mental dan waktu.

Sebagai proses menuju kematangan, optimisme yang menggelegak dari para pelaku usaha ini baru menapaki tahap permulaan. Kebetulan tahap awal ini adalah tahap yang manis, yang terdukung keterbatasan gerak konsumen akibat pandemi. Artinya mereka baru bertemu dengan satu jenis musim dari begitu banyak jenis musim yang akan mereka temui dalam sebuah siklus usaha. Musim sepi penjualan karena kondisi yang tak mendukung lagi, musim sulit bahan baku karena sumber daya yang mulai terbatasi, musim kering diversifikasi produk karena begitu banyak kompetitor yang lebih kreatif berinovasi, juga mungkin “pandemi-pandemi” kesehatan baru ataupun yang murni karena guncangan ekonomi. (Baca juga: 9 Sektor Eonomi Dibuka dengan Mengutamakan Protokol Kesehatan)

Di dalam situasi yang rajin berganti arah seperti itulah ujian sesungguhnya bagi para entrepreneur sejati. Karena jika pengusaha bisa diibaratkan sebagai pelaut, maka “pakem”-nya berbunyi : pelaut ulung tidak dilahirkan di laut yang tenang. Pelaut sejati dan tangguh lahir oleh hempasan ombak di lautan yang garang, berkembang bersama alam yang tak melulu terang, serta tertempa oleh berbagai ketidakpastian.

Maka kelahiran entrepreneur-entrepreneur baru ini harus kita pastikan mampu tumbuh menjadi generasi entrepreneur yang matang. Yang menjadi besar bukan semata karena keberuntungan, tetapi melalui perencanaan dan pengembangan kemampuan. Caranya? Segera bergabung dalam komunitas-komunitas pengusaha brilian yang sudah terbukti eksis di berbagai keadaan. Untuk pemerintah dan lembaga, segera wadahi mereka dalam sebuah himpunan yang berorientasi pada pencerahan dan kemajuan.

Jadikan semangat mereka sebagai inspirasi dan teladan inovasi bagi entrepreneur terdahulu yang sempat terombang-ambing dalam ketidakpastian era pandemi. Pastikan tercipta sinergi, koordinasi, dan kolaborasi. Banyak “asam garam” perjalanan usaha yang bisa saling dibagi sebagai wahana introspeksi dan antisipasi. Ingat, pekerjaan rumah bangsa ini bukan hanya menciptakan entrepreneur baru, tapi juga membesarkan entrepreneur yang lebih dulu lahir sebagai pemain ekonomi. (Lihat videonya: Bocah Enam Tahun Jadi Korban Penculikan dan Pencabulan di Bekasi)

Artikel ini saya tulis tentu bukan untuk meragukan kualitas para entrepreneur “jalur korona”. Tulisan ini justru berusaha mengingatkan agar jangan sampai euforia positif dan kreativitas usaha yang sudah terbangun dengan baik ini sekadar menjadi embrio UMKM yang lekas tumbang ketika situasi dan kondisi tidak semenguntungkan masa-masa di tengah yang penuh keterbatasan.

Saya adalah orang yang meyakini, bahwa di tengah kenormalan-kenormalan baru, akan ada saja “kenormalan lama” yang timbul dan berkembang kembali. Bukan sekadar menjadi catatan dan kenangan dari masa lalu.
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3144 seconds (0.1#10.140)