Jadikan Mudik Momentum Bangkit dari Pandemi
loading...
A
A
A
GELIAT mudik Lebaran tak lama lagi terasa. Intensitasnya bakal kian meningkat pada pekan depan seiring adanya cuti bersama, terhitung mulai Jumat (29/4). Dan, mudik Lebaran tahun ini menjadi catatan sejarah bangsa Indonesia tersendiri. Mudik 2022 tidak biasa karena digelar perdana setelah sempat dilarang oleh pemerintah lantaran situasi pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir.
Mayoritas masyarakat pun lega dan senang dengan kebijakan pemerintah tahun ini. Bayangan kampung halaman kian di depan mata. Apalagi bagi mereka yang benar-benar belum pernah pulang kampung selama dua tahun. Rasa ingin bertemu orang tua atau sanak saudara tentu tak terbendung lagi.
Pemerintah pun sudah bersiap kuda-kuda imbas kebijakan yang terbilang berani ini. Hitung-hitungan matang telah disiapkan. Antara lain memprediksi jumlah pemudik akan mencapai 80 juta orang lebih. Ini bukan sekadar angka asal-asalan. Kementerian Perhubungan mengaku telah melakukan survei hingga tiga kali untuk mendapat angka yang dinilai mendekati presisi tersebut.
Kendati berbasis survei, pemerintah jangan sampai menganggap prediksi di atas final. Sangat mungkin jumlah pemudik akan melonjak tinggi di atas penelitian lapangan tersebut. Sinyalemen ini tidak berlebihan. Sebab mudik adalah tradisi lama bangsa ini. Mudik pun tidak terbatasi dengan embel-embel agama, wilayah, ekonomi atau suku. Semua menikmati tradisi mudik.
Namun demikian, pada saat yang sama, sejatinya mudik tahun ini juga menghadirkan tantangan tersendiri. Tantangan besar ini bukan soal teknis pengaturan lalu lintas yang selalu menjadi perhatian utama, namun justru risiko melonjaknya kasus sebaran Covid-19 yang tak henti mengintai.
Pemerintah sah-sah saja merasa lega karena secara statistik, tren kasus baru Covid-19, keterisian tempat tidur di rumah sakit (BOR) atau kematian menunjukkan data yang terus menurun dalam beberapa pekan terakhir. Namun data itu sejatinya masih labil. Artinya, kasus baru sangat mungkin bisa naik drastis dalam tempo cepat jika semua abai dan tak waspada.
Kita tahuh, di saat Indonesia kian melakukan pelonggaran aktivitas warga, pada saat yang sama ada beberapa negara lain yang tengah berjibaku mengatasi pandemi ini, seperti China dan Amerika Serikat. Bahkan di Sanghai, aturan pembatasan ketat (lockdown) saat ini masih diberlakukan karena munculnya kasus kematian. Ini artinya, virus korona belum benar-benar lenyap.
Tentu semuanya tidak ingin mimpi buruk pengetatan aktivitas warga seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) atau apapun istilahnya kembali diberlakukan lagi. Berangkat dari pengalaman pahit bangsa ini dalam menghadapi pandemi tersebut, maka mudik Lebaran 2022 harus menjadi momentum untuk saling menguatkan, bukan ajang melemahkan.
Komitmen ini tentu tidak enteng. Pemerintah sendiri selain sibuk merekayasa lalu lintas mudik, juga telah mengatur rinci bagaimana masyarakat berinteraksi saat Ramadan hingga Lebaran. Agar terhindar dari potensi terpapar Covid-19 misalnya, program vaksinasi booster tak henti digencarkan. Bahkan Presiden Joko Widodo pun mewanti-wanti agar ketika masyarakat menggelar halal bi halal berskala besar, maka acara makan dan minum diminta ditiadakan.
Demikian juga terkait ibadah, Menteri Agama melalui Surat Edaran No 8/2022 telah rinci mengatur bagaimana umat beraktivitas saat Ramadan dan Idul Fitri. Banyak hal diatur di regulasi ini seperti jamaah tarawih, pengumpulan zakat, hingga salat Idulfitri.
Namun semua regulasi di atas tak akan banyak berarti jika masyarakat sendiri tidak memiliki kesadaran bersama untuk saling menjaga dan menguatkan. Kesadaran ini harus saatnya dikokohkan dan berangkat dari ketulusan pribadi, bukan karena faktor pengawasan, adanya sanksi dan lain sebagainya.
Mudik Lebaran tahun ini saatnya dijadikan laboratorium bangsa. Jika bangsa ini sukses melewati ujian mudik Lebaran ini, maka diyakini akan kian mudah menapaki tantangan kebangkitan dari pandemi. Mudik tahun ini juga tercatat sebagai pergerakan besar manusia. Keberhasilan Indonesia dalam mengelola tradisi luhur ini tentu akan menjadi pijakan bangsa lain menghadapi pandemi secara arif.
Mayoritas masyarakat pun lega dan senang dengan kebijakan pemerintah tahun ini. Bayangan kampung halaman kian di depan mata. Apalagi bagi mereka yang benar-benar belum pernah pulang kampung selama dua tahun. Rasa ingin bertemu orang tua atau sanak saudara tentu tak terbendung lagi.
Pemerintah pun sudah bersiap kuda-kuda imbas kebijakan yang terbilang berani ini. Hitung-hitungan matang telah disiapkan. Antara lain memprediksi jumlah pemudik akan mencapai 80 juta orang lebih. Ini bukan sekadar angka asal-asalan. Kementerian Perhubungan mengaku telah melakukan survei hingga tiga kali untuk mendapat angka yang dinilai mendekati presisi tersebut.
Kendati berbasis survei, pemerintah jangan sampai menganggap prediksi di atas final. Sangat mungkin jumlah pemudik akan melonjak tinggi di atas penelitian lapangan tersebut. Sinyalemen ini tidak berlebihan. Sebab mudik adalah tradisi lama bangsa ini. Mudik pun tidak terbatasi dengan embel-embel agama, wilayah, ekonomi atau suku. Semua menikmati tradisi mudik.
Namun demikian, pada saat yang sama, sejatinya mudik tahun ini juga menghadirkan tantangan tersendiri. Tantangan besar ini bukan soal teknis pengaturan lalu lintas yang selalu menjadi perhatian utama, namun justru risiko melonjaknya kasus sebaran Covid-19 yang tak henti mengintai.
Pemerintah sah-sah saja merasa lega karena secara statistik, tren kasus baru Covid-19, keterisian tempat tidur di rumah sakit (BOR) atau kematian menunjukkan data yang terus menurun dalam beberapa pekan terakhir. Namun data itu sejatinya masih labil. Artinya, kasus baru sangat mungkin bisa naik drastis dalam tempo cepat jika semua abai dan tak waspada.
Kita tahuh, di saat Indonesia kian melakukan pelonggaran aktivitas warga, pada saat yang sama ada beberapa negara lain yang tengah berjibaku mengatasi pandemi ini, seperti China dan Amerika Serikat. Bahkan di Sanghai, aturan pembatasan ketat (lockdown) saat ini masih diberlakukan karena munculnya kasus kematian. Ini artinya, virus korona belum benar-benar lenyap.
Tentu semuanya tidak ingin mimpi buruk pengetatan aktivitas warga seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) atau apapun istilahnya kembali diberlakukan lagi. Berangkat dari pengalaman pahit bangsa ini dalam menghadapi pandemi tersebut, maka mudik Lebaran 2022 harus menjadi momentum untuk saling menguatkan, bukan ajang melemahkan.
Komitmen ini tentu tidak enteng. Pemerintah sendiri selain sibuk merekayasa lalu lintas mudik, juga telah mengatur rinci bagaimana masyarakat berinteraksi saat Ramadan hingga Lebaran. Agar terhindar dari potensi terpapar Covid-19 misalnya, program vaksinasi booster tak henti digencarkan. Bahkan Presiden Joko Widodo pun mewanti-wanti agar ketika masyarakat menggelar halal bi halal berskala besar, maka acara makan dan minum diminta ditiadakan.
Demikian juga terkait ibadah, Menteri Agama melalui Surat Edaran No 8/2022 telah rinci mengatur bagaimana umat beraktivitas saat Ramadan dan Idul Fitri. Banyak hal diatur di regulasi ini seperti jamaah tarawih, pengumpulan zakat, hingga salat Idulfitri.
Namun semua regulasi di atas tak akan banyak berarti jika masyarakat sendiri tidak memiliki kesadaran bersama untuk saling menjaga dan menguatkan. Kesadaran ini harus saatnya dikokohkan dan berangkat dari ketulusan pribadi, bukan karena faktor pengawasan, adanya sanksi dan lain sebagainya.
Mudik Lebaran tahun ini saatnya dijadikan laboratorium bangsa. Jika bangsa ini sukses melewati ujian mudik Lebaran ini, maka diyakini akan kian mudah menapaki tantangan kebangkitan dari pandemi. Mudik tahun ini juga tercatat sebagai pergerakan besar manusia. Keberhasilan Indonesia dalam mengelola tradisi luhur ini tentu akan menjadi pijakan bangsa lain menghadapi pandemi secara arif.
(bmm)