Pemberantasan Korupsi di Periode Kedua Pemerintahan Jokowi Kian Letoi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pekan ini sungguh menjadi hari-hari kelabu bagi upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Hanya selisih tiga hari setelah mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin mendapatkan cuti menjelang bebas dari Kementerian Hukum dan HAM, Rabu pekan lalu muncul kabar Mahkamah Agung (MA) membebaskan mantan Dirut PLN Sofyan Basir. Putusan kasasi itu menambah panjang daftar kekalahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di MA.
Bagaimana tidak? Sulit disangkal, baik Nazaruddin maupun Sofyan sama-sama kontroversial dalam mendapatkan “bonus” tersebut.
Nazaruddin oleh Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Barat awalnya disebutkan mendapatkan hak cuti menjelang bebas berkat perannya sebagai justice collaborator untuk sejumlah perkara korupsi. Namun KPK membantah telah memberikan dan menetapkan status tersebut bagi bos Permai Grup itu.
Demikian halnya dengan remisi selama 49 bulan yang dikantunginya. Berkat korting masa tahanan 4 tahun 1 bulan itu hukumannya yang 13 tahun penjara tinggal 9 tahun. Alhasil masa tahanan yang sudah dijalaninya selama enam tahun sama dengan dua pertiga masa hukuman. Dan ia pun memenuhi syarat untuk mendapat hak cuti menjelang bebas.
Kok bisa koruptor kasus Wisma Atlet yang merugikan keuangan negara Rp 54,7 miliar mengantungi remisi sebanyak itu. Sekadar mengingatkan, ia divonis dalam dua kasus berbeda. Dalam kasus suap, pada 20 April 2012, divonis 4 tahun 10 bulan penjara dan denda Rp200 juta oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. MA kemudian memperberat hukuman Nazaruddin, dari 4 tahun 10 bulan penjara dan denda Rp200 juta menjadi 7 tahun penjara dan Rp300 juta.
Lalu pada 15 Juni 2016 dalam kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang dia divonis 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan penjara.
Lebih dari itu, pada akhir tahun 2019 yang lalu Ombudsman Republik Indonesia sempat menemukan ruangan yang ditempati Nazaruddin di Lapas Sukamiskin lebih luas dibanding sel terpidana lainnya.
Mengacu pada fakta-fakta itu apa pantas seorang Nazaruddin memperoleh remisi sebanyak itu? Kalau ukurannya rasa keadilan masyarakat, jelas tidak.
Kejanggalan di balik kekalahan KPK di MA dalam perkara Sofyan Basir juga sangat transparan. Benteng peradilan terakhir entah mengapa tidak mempertimbangkan sanksi hukum berkekuatan tetap yang telah dijatuhkan untuk tiga orang yang terlibat dalam perkara yang sama dengan mantan Dirut PLN itu.
Mereka terdiri dari pemberi suap Rp4,75 miliar pemilik dan pemegang saham BlackGold Natural Resources (BNR) Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (divonis 4 tahun 6 bulan penjara), terpidana penerima suap Rp4,75 miliar Eni Maulani Saragih (divonis 6 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 3 tahun) selaku Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, dan terpidana mantan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar sekaligus mantan plt Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Menteri Sosial era Kabinet Kerja kurun 17 Januari-24 Agustus 2018 Idrus Marham (divonis 2 tahun oleh MA di tahap kasasi).
Bagaimana tidak? Sulit disangkal, baik Nazaruddin maupun Sofyan sama-sama kontroversial dalam mendapatkan “bonus” tersebut.
Nazaruddin oleh Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Barat awalnya disebutkan mendapatkan hak cuti menjelang bebas berkat perannya sebagai justice collaborator untuk sejumlah perkara korupsi. Namun KPK membantah telah memberikan dan menetapkan status tersebut bagi bos Permai Grup itu.
Demikian halnya dengan remisi selama 49 bulan yang dikantunginya. Berkat korting masa tahanan 4 tahun 1 bulan itu hukumannya yang 13 tahun penjara tinggal 9 tahun. Alhasil masa tahanan yang sudah dijalaninya selama enam tahun sama dengan dua pertiga masa hukuman. Dan ia pun memenuhi syarat untuk mendapat hak cuti menjelang bebas.
Kok bisa koruptor kasus Wisma Atlet yang merugikan keuangan negara Rp 54,7 miliar mengantungi remisi sebanyak itu. Sekadar mengingatkan, ia divonis dalam dua kasus berbeda. Dalam kasus suap, pada 20 April 2012, divonis 4 tahun 10 bulan penjara dan denda Rp200 juta oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. MA kemudian memperberat hukuman Nazaruddin, dari 4 tahun 10 bulan penjara dan denda Rp200 juta menjadi 7 tahun penjara dan Rp300 juta.
Lalu pada 15 Juni 2016 dalam kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang dia divonis 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan penjara.
Lebih dari itu, pada akhir tahun 2019 yang lalu Ombudsman Republik Indonesia sempat menemukan ruangan yang ditempati Nazaruddin di Lapas Sukamiskin lebih luas dibanding sel terpidana lainnya.
Mengacu pada fakta-fakta itu apa pantas seorang Nazaruddin memperoleh remisi sebanyak itu? Kalau ukurannya rasa keadilan masyarakat, jelas tidak.
Kejanggalan di balik kekalahan KPK di MA dalam perkara Sofyan Basir juga sangat transparan. Benteng peradilan terakhir entah mengapa tidak mempertimbangkan sanksi hukum berkekuatan tetap yang telah dijatuhkan untuk tiga orang yang terlibat dalam perkara yang sama dengan mantan Dirut PLN itu.
Mereka terdiri dari pemberi suap Rp4,75 miliar pemilik dan pemegang saham BlackGold Natural Resources (BNR) Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (divonis 4 tahun 6 bulan penjara), terpidana penerima suap Rp4,75 miliar Eni Maulani Saragih (divonis 6 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 3 tahun) selaku Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, dan terpidana mantan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar sekaligus mantan plt Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Menteri Sosial era Kabinet Kerja kurun 17 Januari-24 Agustus 2018 Idrus Marham (divonis 2 tahun oleh MA di tahap kasasi).