Pemberantasan Korupsi di Periode Kedua Pemerintahan Jokowi Kian Letoi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pekan ini sungguh menjadi hari-hari kelabu bagi upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Hanya selisih tiga hari setelah mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin mendapatkan cuti menjelang bebas dari Kementerian Hukum dan HAM, Rabu pekan lalu muncul kabar Mahkamah Agung (MA) membebaskan mantan Dirut PLN Sofyan Basir. Putusan kasasi itu menambah panjang daftar kekalahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di MA.
Bagaimana tidak? Sulit disangkal, baik Nazaruddin maupun Sofyan sama-sama kontroversial dalam mendapatkan “bonus” tersebut.
Nazaruddin oleh Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Barat awalnya disebutkan mendapatkan hak cuti menjelang bebas berkat perannya sebagai justice collaborator untuk sejumlah perkara korupsi. Namun KPK membantah telah memberikan dan menetapkan status tersebut bagi bos Permai Grup itu.
Demikian halnya dengan remisi selama 49 bulan yang dikantunginya. Berkat korting masa tahanan 4 tahun 1 bulan itu hukumannya yang 13 tahun penjara tinggal 9 tahun. Alhasil masa tahanan yang sudah dijalaninya selama enam tahun sama dengan dua pertiga masa hukuman. Dan ia pun memenuhi syarat untuk mendapat hak cuti menjelang bebas.
Kok bisa koruptor kasus Wisma Atlet yang merugikan keuangan negara Rp 54,7 miliar mengantungi remisi sebanyak itu. Sekadar mengingatkan, ia divonis dalam dua kasus berbeda. Dalam kasus suap, pada 20 April 2012, divonis 4 tahun 10 bulan penjara dan denda Rp200 juta oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. MA kemudian memperberat hukuman Nazaruddin, dari 4 tahun 10 bulan penjara dan denda Rp200 juta menjadi 7 tahun penjara dan Rp300 juta.
Lalu pada 15 Juni 2016 dalam kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang dia divonis 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan penjara.
Lebih dari itu, pada akhir tahun 2019 yang lalu Ombudsman Republik Indonesia sempat menemukan ruangan yang ditempati Nazaruddin di Lapas Sukamiskin lebih luas dibanding sel terpidana lainnya.
Mengacu pada fakta-fakta itu apa pantas seorang Nazaruddin memperoleh remisi sebanyak itu? Kalau ukurannya rasa keadilan masyarakat, jelas tidak.
Kejanggalan di balik kekalahan KPK di MA dalam perkara Sofyan Basir juga sangat transparan. Benteng peradilan terakhir entah mengapa tidak mempertimbangkan sanksi hukum berkekuatan tetap yang telah dijatuhkan untuk tiga orang yang terlibat dalam perkara yang sama dengan mantan Dirut PLN itu.
Mereka terdiri dari pemberi suap Rp4,75 miliar pemilik dan pemegang saham BlackGold Natural Resources (BNR) Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (divonis 4 tahun 6 bulan penjara), terpidana penerima suap Rp4,75 miliar Eni Maulani Saragih (divonis 6 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 3 tahun) selaku Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, dan terpidana mantan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar sekaligus mantan plt Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Menteri Sosial era Kabinet Kerja kurun 17 Januari-24 Agustus 2018 Idrus Marham (divonis 2 tahun oleh MA di tahap kasasi).
Begitulah, pemberian hak cuti menjelang bebas bagi Nazaruddin dan penolakan kasasi KPK dalam kasus Sofyan Basir semakin menunjukkan letoinya pemberantasan korupsi di periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Ini tentu bertentangan dengan janji yang disampaikannnya di masa kampanye, yang antara lain berbunyi akan membangun penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
“Bonus” bagi Nazaruddin dan Sofyan kian memperkuat sinyalemen tiadanya efek jera dalam pemberantasan korupsi. Hasil penelitian yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) bulan April silam menunjukkan sepanjang tahun 2019 ada 1.019 perkara korupsi dengan 1.125 orang terdakwa. Temuan ini tidak terlalu berbeda dengan tahun sebelumnya, total perkara sebanyak 1.053 dengan terdakwa sejumlah 1.162 orang.
Temuan di atas terbagi dalam 3 ranah pengadilan, yakni: 941 perkara disidangkan di Pengadilan tingkat pertama, sedangkan 56 perkara tingkat banding, dan 22 perkara lainnya pada tingkat kasasi maupun peninjauan kembali di MA.
Adapun rata-rata vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 2 tahun 6 bulan, Pengadilan Tinggi (Banding) 3 tahun 8 bulan, dan Mahkamah Agung (Kasasi/Peninjauan Kembali) 3 tahun 8 bulan. Alhasil. rata-rata vonis penjara bagi para penggangsir uang rakyat hanya 2 tahun 7 bulan
Sedangkan untuk denda sebesar Rp 116,483 miliar. Lalu untuk pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp 748.163 miliar. Angka tersebut sangat tak sebanding dengan jumlah kerugian negara yang mencapai Rp 12 triliun. Praktis kurang dari 10 persen nilai aset yang dapat dikembalikan ke kas negara.
Padahal sesuai UU No. 20 Tahun 2001 yang memuat perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dalam Pasal 2 ayat 1 disebutkan koruptor dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun serta denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.
Pasal 2 ayat 2 UU tersebut bahkan membuka peluang bagi dijatuhkannya hukuman mati untuk koruptor. Namun penerapan hukuman mati itu tidak sembarangan. Hukuman tersebut hanya dapat diterapkan dalam keadaan tertentu. Umpamanya, tindak pidana korupsi dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, seperti pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Nah, mengacu pada pasal itu, dalam kondisi saat ini (wabah Covid-19) semestinya pejabat yang berani menyelewengkan dana bantuan sosial bisa diganjar hukuman mati. Namun dengan diberlakukannnya UU No 2 Tahun 2020 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemic Corona Disease 2019 (Covid-19) para pencoleng bisa lolos dari jerat hukum.
Jangan salah, dalam Pasal 27 ayat 1 UU itu tertulis bahwa biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan Perppu mengenai pandemi Covid-19 bukan merupakan kerugian keuangan negara. Ayat 2 pasal itu memberikan imunitas bagi pejabat pemerintah pelaksana Perppu. Bahkan, Ayat 3 berbunyi segala tindakan yang diambil berdasarkan Perppu bukanlah obyek gugatan yang bisa diajukan ke pengadilan.
Sejak berlakunya UU Tipikor hanya segelintir koruptor yang dijatuhi hukuman maksimal. Dalam catatan SINDOnews hanya enam terpidana yang “ketiban sial” dijatuhi hukuman berat. Mereka adalah para pelaku pembobolan BNI tahun 2004, yakni Dicky Iskandar Di Nata dan John Hamenda, serta Jaksa Urip Tri Gunawan yang dihukum 20 tahun. Tiga lagi dijatuhi hukuman seumur hidup, yakni Adrian Waworuntu (pembobolan BNI), mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar (manipulasi suara pilkada) dan Brigjen Teddy Hernayadi (korupsi pengadaan alutsista 2012-2014).
Adapun pelaku korupsi sepanjang 2019 didominasi oleh pegawai pemerintah daerah, baik level provinsi, kota, maupun Kabupeten sebanyak 334 orang, lalu perangkat desa sebanyak 228 orang, dan sektor swasta sebanyak 183 orang. Sedangkan dari wilayah politik setidaknya anggota legislatif baik pusat maupun daerah sebanyak 58 orang dan level kepala daerah sebanyak 20 orang.
Maraknya praktik korupsi di sektor pemerintah daerah menunjukkan reformasi birokrasi yang selama ini digaungkan oleh pemerintah masih banyak belum menuai hasil maksimal. Selain itu fungsi inspektorat pun mesti diperkuat agar dapat menjadi bagian utama pencegahan korupsi. Ditambah lagi dengan sektor pengadaan barang dan jasa yang kerap dijadikan bancakan korupsi.
Pada level perangkat desa praktik korupsi yang paling sering menyangkut alokasi dana desa. Hal ini kemungkinan disebabkan karena minimnya pengawasan dari otoritas terkait dan rendahnya partisipasi masyarakat. Jumlah pada tahun ini meningkat drastis dibanding tahun sebelumnya yang hanya 158 perangkat desa.
Dalam temuan sepanjang tahun 2019 diketahui sebanyak 842 terdakwa divonis ringan oleh Pengadilan di berbagai tingkatan. Secara persentase dibandingkan dengan total keseluruhan perkara, vonis ringan mencapai 82,2 persen. Angka ini cukup meningkat dibanding dengan tahun sebelumnya yang hanya sekitar 79 persen.
Untuk vonis sedang (4-10 tahun), Pengadilan di berbagai tingkatan hanya memvonis 173 Terdakwa. Presentasenya pun rendah, yakni hanya 16,9 persen. Sedangkan yang divonis berat (di atas 10 tahun) tercatat 9 orang dengan presentase 0,8 persen.
Vonis Bebas Naik Tajam
Satu hal yang sungguh memprihatinkan dalam isu pemberantasan korupsi sepanjang tahun 2019 adalah vonis bebas naik tajam dibanding dengan tahun 2018 yang mencapai 41 terdakwa. Tahun sebelumnya hanya 26 terdakwa.
Dan vonis lepas untuk putusan berupa dakwaan terbukti tapi dipandang bukan merupakan tindak pidana sebanyak 13 terdakwa.
Bila dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya, vonis ringan pada tahun 2019 juga meningkat. Tahun 2016 ada 479 perkara (72,1%) yang divonis ringan, lantas tahun 2017 tercatat 1.127 (81.6%), tahun 2018 (918 kasus atau 79%). Nah pada tahun 2019 persentase vonis ringan mencapai 82,2% (842
“Dari data itu dapat dikatakan bahwa vonis ringan pada tahun 2019 terbilang paling banyak dibanding dengan tiga tahun sebelumnya. Tentu ini menandakan bahwa lembaga pengadilan tidak berpihak pada isu pemberantasan korupsi,” ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada SINDOnews.
Vonis Bebas dan Lepas Koruptor Sepanjang tahun 2019 pengadilan di berbagai tingkatan telah membebaskan 41 terdakwa dan menjatuhkan putusan lepas kepada 13 terdakwa. Jika dipresentasekan sekitar 5,2% dari total keseluruhan putusan yang dijatuhkan oleh majelis Hakim. Jumlah ini merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan tahun 2018 sebanyak 27 terdakwa dan tahun 2017 sebanyak 35 terdakwa.
Sedangkan yang dijatuhi sanksi berat pada tahun 2019 terbilang sangat sedikit, hanya 0,8 persen. Terdiri dari 9 terdakwa, masing-masing: Lie Eng Jun bin Lie Sing Kiat (diajtuhi 12 tahun penjara oleh MA), Syahran Umasugi (11 tahun oleh Pengadilan Negeri/PN Ambon), La Masikamba (15 tahun oleh Pengadilan Tinggi Maluku), Pieter Wandik (15 tahun oleh PN Jayapura), Victor Aries Efendy (15 tahun oleh PN Jayapura), Antonius Aris Saputro (16 tahun oleh PN Surabaya), Suharno bin Sadinu (11 tahun oleh PN Semarang), Riyanto bin Hadi sumarto (9 tahun oleh PN Semarang), dan Zainudin Hasan (12 tahun oleh PN Tanjung Karang).
Jerat UU Pencucian Uang Jarang Digunakan
Seperti sudah disebutkan sepanjang tahun 2019 kerugian negara yang timbul akibat praktik korupsi sebanyak Rp 12.002.548.977.762. Sedangkan putusan hakim yang menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti hanya Rp 748.163.509.055. Praktis kurang dari 10 persen keuangan negara yang hanya mampu dikembalikan melalui putusan di berbagai tingkat Pengadilan.
Sebenarnya tidak terlalu sulit menggenjot pengembalian uang negara yang dicoleng koruptor. Caranya dengan menerapkan UU Pencucian Uang. Nyatanya yang dijerat oleh UU No. 8 Tahun 2010 sepanjang tahun lalu hanya 8 terdakwa. Salah satunya adalah Zainudin Hasan, mantan Bupati Lampung Selatan.
Pengenaan UU Anti Pencucian Uang kepada terdakwa terbukti dapat menghasilkan putusan yang beriorientasi pada pemiskinan pelaku korupsi dan tentu saja memberi efek jera. Misalnya pada perkara yang menjerat mantan Bupati Lampung Selatan, Zainudin Hasan, pada putusannya majelis hakim mewajibkan yang bersangkutan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 66,7 miliar.
Serius atau tidaknya negara dalam memberantas korupsi juga bisa dilihat dari tinggi rendahnya tuntutan jaksa. ICW membagi penilaian atas tuntutan Jaksa, baik asal Kejaksaan ataupun KPK ke dalam 3 (tiga) bagian, yakni: ringan (0-4 tahun), sedang (>4–10 tahun), dan berat (>10 tahun). Sepanjang tahun 2019 setidaknya 1.125 terdakwa disidangkan di berbagai tingat pengadilan, yang terbagi atas: 137 terdakwa dituntut oleh KPK dan 911 terdakwa dituntut oleh Kejaksaan.
Rata-rata tuntutan yang penuntutnya berasal dari KPK adalah 5 tahun 2 bulan penjara, sedangkan dari Kejaksaan adalah 3 tahun 4 bulan penjara. Sepanjang tahun 2019 KPK menuntut ringan 51 terdakwa, menuntut sedang 72 terdakwa, dan hanya menuntut berat 6 terdakwa. Kejaksaan sendiri, 604 terdakwa dituntut ringan, 276 dituntut sedang, dan 13 dituntut berat.
MA selaku benteng peradilan terakhir nyatanya juga belum bisa diandalkan dalam memberi efek jera buat koruptor. Ini tampak dari putusan Peninjauan Kembali sepanjang tahun lalu, MA mengkorting hukuman 6 terpidana kasus korupsi. Mulai dari pengurangan hukuman penjara, atau pun penghapusan uang pengganti.
Kuat dugaan maraknya terpidana kasus korupsi mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali lantaran telah purna tugasnya Artidjo Alkostar. Seakan momen ini dimanfaatkan para terpidana untuk mencari celah agar mendapatkan pengurangan hukuman.
Mereka yang mendapat diskon dari MA adalah bekas Ketua DPD Irman Gusman (hukuman 4 tahun 6 bulan didiskon jadi 3 tahun), adik mantan Menpora, Choel Mallarangeng (3 tahun 6 bulan jadi 3 tahun), bekas Direktur Pengolahan PT Pertamina Suroso Atmomartoyo (hukuman 7 tahun plus uang pengganti Rp 2,6 miliar jadi 7 tahun saja), mantan Panitera Pengganti PN Jakarta Selatan Tarmizi (4 tahun dan uang pengganti Rp 425.000.000 jadi 3 tahun), mantan Hakim MK Patrialis Akbar 8 tahun plus Rp425 juta jadi 3 tahun), bekas anggota DPRD DKI M. Sanusi (10 tahun plus Rp 10 miliar jadi 7 tahun).
Tahun 2019 juga ditandai dengan dua putusan kontroversial. Pertama, vonis Lepas Syafruddin Arsyad Tumenggung. MA memutus lepas terdakwa kasus korupsi, Syafruddin Arsyad Tumenggung, dalam perkara penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun.
Majelis kasasi berpandangan bahwa perbuatan Tumenggung dalam menerbitkan SKL bukan merupakan tindak pidana, sehingga mesti dijatuhkan vonis lepas (ontslag van allerechtsvervolging).
Kala itu majelis kasasi tidak berpandangan sama melihat perkara tersebut, ada yang menyebutkan masuk pada ranah pidana, perdata, maupun administrasi. Ada beberapa catatan krusial terkait dengan putusan lepas Tumenggung ini. Pertama, perdebatan lingkup perkara ini dipandang sudah selesai ketika tersangka Tumenggung mengajukan praperadilan. Putusan praperadilan telah menegaskan bahwa perkara penerbitan SKL untuk obligor BLBI ini masuk pada ranah pidana.
Ketiga, salah satu diantara majelis kasasi yang memeriksa perkara ini dijatuhi sanksi etik oleh Badan Pengawas MA. Sebab, hakim itu terbukti melakukan pertemuan dengan kuasa hukum saat perkara ini sedang berjalan di MA.
Putusan kontroversial kedua, tak lain vonis bebas Sofyan Basir Mantan Direktur PLN itu , Sofyan Basir, divonis bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada awal November 2019 yang lalu.
Vonis ini banyak menuai kritik oleh masyarakat. Sebab, bukti keterlibatan Sofyan Basir sebenarnya sudah kerap disebut dalam berbagai persidangan dengan terdakwa lainnya.
Mantan Dirut Bank Bukopin dan BRI saat itu diduga turut membantu kelancaran proses tindak pidana suap yang dilakukan oleh Eni M Saragih dan Idrus Marham. Fakta yang terungkap di persidangan antara lain: (1) Sofyan turut mengetahui perihal fee yang didapatkan oleh Eni dalam proyek tersebut; (2) Sofyan menginginkan agar jatah fee yang didapatkan dari proyek tersebut dibagi sama rata kepada tiga orang, dua lainnya adalah Eni dan Idrus; (3) Sofyan mengikuti 9 kali pertemuan antara mantan anggota DPR RI tersebut bersama dengan Johannes Kotjo (pihak swasta).
Belakangan, seperti sudah disebut di awal tulisan ini, upaya KPK mengajukan kasasi akhirnya ditolak MA.
Putusan ini sekaligus menambah deretan vonis bebas yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terhadap perkara yang diusut oleh KPK. Setelah sebelumnya Mochtar Mohammad (mantan Walikota Bekasi) dan Suparman (mantan Bupati Rokan Hulu).
Singkat cerita, kini sudah waktunya pemerintahan Joko Widodo-Ma-ruf Amin bekerja serius mewujudkan salah satu janjinya saat kampanye. Jika tidak, perlahan tapi pasti niscaya kepercayaan rakyat yang memilihnya akan luntur. Demikian halnya bagi Ketua MA baru, hendaknya jabatan anyar yang disandangnya menjadi momentum untuk memulihkan lembaga tinggi negara itu sebagai institusi yang dipercaya dan disegani.
Bagaimana tidak? Sulit disangkal, baik Nazaruddin maupun Sofyan sama-sama kontroversial dalam mendapatkan “bonus” tersebut.
Nazaruddin oleh Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Barat awalnya disebutkan mendapatkan hak cuti menjelang bebas berkat perannya sebagai justice collaborator untuk sejumlah perkara korupsi. Namun KPK membantah telah memberikan dan menetapkan status tersebut bagi bos Permai Grup itu.
Demikian halnya dengan remisi selama 49 bulan yang dikantunginya. Berkat korting masa tahanan 4 tahun 1 bulan itu hukumannya yang 13 tahun penjara tinggal 9 tahun. Alhasil masa tahanan yang sudah dijalaninya selama enam tahun sama dengan dua pertiga masa hukuman. Dan ia pun memenuhi syarat untuk mendapat hak cuti menjelang bebas.
Kok bisa koruptor kasus Wisma Atlet yang merugikan keuangan negara Rp 54,7 miliar mengantungi remisi sebanyak itu. Sekadar mengingatkan, ia divonis dalam dua kasus berbeda. Dalam kasus suap, pada 20 April 2012, divonis 4 tahun 10 bulan penjara dan denda Rp200 juta oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. MA kemudian memperberat hukuman Nazaruddin, dari 4 tahun 10 bulan penjara dan denda Rp200 juta menjadi 7 tahun penjara dan Rp300 juta.
Lalu pada 15 Juni 2016 dalam kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang dia divonis 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan penjara.
Lebih dari itu, pada akhir tahun 2019 yang lalu Ombudsman Republik Indonesia sempat menemukan ruangan yang ditempati Nazaruddin di Lapas Sukamiskin lebih luas dibanding sel terpidana lainnya.
Mengacu pada fakta-fakta itu apa pantas seorang Nazaruddin memperoleh remisi sebanyak itu? Kalau ukurannya rasa keadilan masyarakat, jelas tidak.
Kejanggalan di balik kekalahan KPK di MA dalam perkara Sofyan Basir juga sangat transparan. Benteng peradilan terakhir entah mengapa tidak mempertimbangkan sanksi hukum berkekuatan tetap yang telah dijatuhkan untuk tiga orang yang terlibat dalam perkara yang sama dengan mantan Dirut PLN itu.
Mereka terdiri dari pemberi suap Rp4,75 miliar pemilik dan pemegang saham BlackGold Natural Resources (BNR) Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (divonis 4 tahun 6 bulan penjara), terpidana penerima suap Rp4,75 miliar Eni Maulani Saragih (divonis 6 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 3 tahun) selaku Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, dan terpidana mantan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar sekaligus mantan plt Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Menteri Sosial era Kabinet Kerja kurun 17 Januari-24 Agustus 2018 Idrus Marham (divonis 2 tahun oleh MA di tahap kasasi).
Begitulah, pemberian hak cuti menjelang bebas bagi Nazaruddin dan penolakan kasasi KPK dalam kasus Sofyan Basir semakin menunjukkan letoinya pemberantasan korupsi di periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Ini tentu bertentangan dengan janji yang disampaikannnya di masa kampanye, yang antara lain berbunyi akan membangun penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
“Bonus” bagi Nazaruddin dan Sofyan kian memperkuat sinyalemen tiadanya efek jera dalam pemberantasan korupsi. Hasil penelitian yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) bulan April silam menunjukkan sepanjang tahun 2019 ada 1.019 perkara korupsi dengan 1.125 orang terdakwa. Temuan ini tidak terlalu berbeda dengan tahun sebelumnya, total perkara sebanyak 1.053 dengan terdakwa sejumlah 1.162 orang.
Temuan di atas terbagi dalam 3 ranah pengadilan, yakni: 941 perkara disidangkan di Pengadilan tingkat pertama, sedangkan 56 perkara tingkat banding, dan 22 perkara lainnya pada tingkat kasasi maupun peninjauan kembali di MA.
Adapun rata-rata vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 2 tahun 6 bulan, Pengadilan Tinggi (Banding) 3 tahun 8 bulan, dan Mahkamah Agung (Kasasi/Peninjauan Kembali) 3 tahun 8 bulan. Alhasil. rata-rata vonis penjara bagi para penggangsir uang rakyat hanya 2 tahun 7 bulan
Sedangkan untuk denda sebesar Rp 116,483 miliar. Lalu untuk pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp 748.163 miliar. Angka tersebut sangat tak sebanding dengan jumlah kerugian negara yang mencapai Rp 12 triliun. Praktis kurang dari 10 persen nilai aset yang dapat dikembalikan ke kas negara.
Padahal sesuai UU No. 20 Tahun 2001 yang memuat perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dalam Pasal 2 ayat 1 disebutkan koruptor dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun serta denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.
Pasal 2 ayat 2 UU tersebut bahkan membuka peluang bagi dijatuhkannya hukuman mati untuk koruptor. Namun penerapan hukuman mati itu tidak sembarangan. Hukuman tersebut hanya dapat diterapkan dalam keadaan tertentu. Umpamanya, tindak pidana korupsi dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, seperti pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Nah, mengacu pada pasal itu, dalam kondisi saat ini (wabah Covid-19) semestinya pejabat yang berani menyelewengkan dana bantuan sosial bisa diganjar hukuman mati. Namun dengan diberlakukannnya UU No 2 Tahun 2020 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemic Corona Disease 2019 (Covid-19) para pencoleng bisa lolos dari jerat hukum.
Jangan salah, dalam Pasal 27 ayat 1 UU itu tertulis bahwa biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan Perppu mengenai pandemi Covid-19 bukan merupakan kerugian keuangan negara. Ayat 2 pasal itu memberikan imunitas bagi pejabat pemerintah pelaksana Perppu. Bahkan, Ayat 3 berbunyi segala tindakan yang diambil berdasarkan Perppu bukanlah obyek gugatan yang bisa diajukan ke pengadilan.
Sejak berlakunya UU Tipikor hanya segelintir koruptor yang dijatuhi hukuman maksimal. Dalam catatan SINDOnews hanya enam terpidana yang “ketiban sial” dijatuhi hukuman berat. Mereka adalah para pelaku pembobolan BNI tahun 2004, yakni Dicky Iskandar Di Nata dan John Hamenda, serta Jaksa Urip Tri Gunawan yang dihukum 20 tahun. Tiga lagi dijatuhi hukuman seumur hidup, yakni Adrian Waworuntu (pembobolan BNI), mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar (manipulasi suara pilkada) dan Brigjen Teddy Hernayadi (korupsi pengadaan alutsista 2012-2014).
Adapun pelaku korupsi sepanjang 2019 didominasi oleh pegawai pemerintah daerah, baik level provinsi, kota, maupun Kabupeten sebanyak 334 orang, lalu perangkat desa sebanyak 228 orang, dan sektor swasta sebanyak 183 orang. Sedangkan dari wilayah politik setidaknya anggota legislatif baik pusat maupun daerah sebanyak 58 orang dan level kepala daerah sebanyak 20 orang.
Maraknya praktik korupsi di sektor pemerintah daerah menunjukkan reformasi birokrasi yang selama ini digaungkan oleh pemerintah masih banyak belum menuai hasil maksimal. Selain itu fungsi inspektorat pun mesti diperkuat agar dapat menjadi bagian utama pencegahan korupsi. Ditambah lagi dengan sektor pengadaan barang dan jasa yang kerap dijadikan bancakan korupsi.
Pada level perangkat desa praktik korupsi yang paling sering menyangkut alokasi dana desa. Hal ini kemungkinan disebabkan karena minimnya pengawasan dari otoritas terkait dan rendahnya partisipasi masyarakat. Jumlah pada tahun ini meningkat drastis dibanding tahun sebelumnya yang hanya 158 perangkat desa.
Dalam temuan sepanjang tahun 2019 diketahui sebanyak 842 terdakwa divonis ringan oleh Pengadilan di berbagai tingkatan. Secara persentase dibandingkan dengan total keseluruhan perkara, vonis ringan mencapai 82,2 persen. Angka ini cukup meningkat dibanding dengan tahun sebelumnya yang hanya sekitar 79 persen.
Untuk vonis sedang (4-10 tahun), Pengadilan di berbagai tingkatan hanya memvonis 173 Terdakwa. Presentasenya pun rendah, yakni hanya 16,9 persen. Sedangkan yang divonis berat (di atas 10 tahun) tercatat 9 orang dengan presentase 0,8 persen.
Vonis Bebas Naik Tajam
Satu hal yang sungguh memprihatinkan dalam isu pemberantasan korupsi sepanjang tahun 2019 adalah vonis bebas naik tajam dibanding dengan tahun 2018 yang mencapai 41 terdakwa. Tahun sebelumnya hanya 26 terdakwa.
Dan vonis lepas untuk putusan berupa dakwaan terbukti tapi dipandang bukan merupakan tindak pidana sebanyak 13 terdakwa.
Bila dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya, vonis ringan pada tahun 2019 juga meningkat. Tahun 2016 ada 479 perkara (72,1%) yang divonis ringan, lantas tahun 2017 tercatat 1.127 (81.6%), tahun 2018 (918 kasus atau 79%). Nah pada tahun 2019 persentase vonis ringan mencapai 82,2% (842
“Dari data itu dapat dikatakan bahwa vonis ringan pada tahun 2019 terbilang paling banyak dibanding dengan tiga tahun sebelumnya. Tentu ini menandakan bahwa lembaga pengadilan tidak berpihak pada isu pemberantasan korupsi,” ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada SINDOnews.
Vonis Bebas dan Lepas Koruptor Sepanjang tahun 2019 pengadilan di berbagai tingkatan telah membebaskan 41 terdakwa dan menjatuhkan putusan lepas kepada 13 terdakwa. Jika dipresentasekan sekitar 5,2% dari total keseluruhan putusan yang dijatuhkan oleh majelis Hakim. Jumlah ini merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan tahun 2018 sebanyak 27 terdakwa dan tahun 2017 sebanyak 35 terdakwa.
Sedangkan yang dijatuhi sanksi berat pada tahun 2019 terbilang sangat sedikit, hanya 0,8 persen. Terdiri dari 9 terdakwa, masing-masing: Lie Eng Jun bin Lie Sing Kiat (diajtuhi 12 tahun penjara oleh MA), Syahran Umasugi (11 tahun oleh Pengadilan Negeri/PN Ambon), La Masikamba (15 tahun oleh Pengadilan Tinggi Maluku), Pieter Wandik (15 tahun oleh PN Jayapura), Victor Aries Efendy (15 tahun oleh PN Jayapura), Antonius Aris Saputro (16 tahun oleh PN Surabaya), Suharno bin Sadinu (11 tahun oleh PN Semarang), Riyanto bin Hadi sumarto (9 tahun oleh PN Semarang), dan Zainudin Hasan (12 tahun oleh PN Tanjung Karang).
Jerat UU Pencucian Uang Jarang Digunakan
Seperti sudah disebutkan sepanjang tahun 2019 kerugian negara yang timbul akibat praktik korupsi sebanyak Rp 12.002.548.977.762. Sedangkan putusan hakim yang menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti hanya Rp 748.163.509.055. Praktis kurang dari 10 persen keuangan negara yang hanya mampu dikembalikan melalui putusan di berbagai tingkat Pengadilan.
Sebenarnya tidak terlalu sulit menggenjot pengembalian uang negara yang dicoleng koruptor. Caranya dengan menerapkan UU Pencucian Uang. Nyatanya yang dijerat oleh UU No. 8 Tahun 2010 sepanjang tahun lalu hanya 8 terdakwa. Salah satunya adalah Zainudin Hasan, mantan Bupati Lampung Selatan.
Pengenaan UU Anti Pencucian Uang kepada terdakwa terbukti dapat menghasilkan putusan yang beriorientasi pada pemiskinan pelaku korupsi dan tentu saja memberi efek jera. Misalnya pada perkara yang menjerat mantan Bupati Lampung Selatan, Zainudin Hasan, pada putusannya majelis hakim mewajibkan yang bersangkutan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 66,7 miliar.
Serius atau tidaknya negara dalam memberantas korupsi juga bisa dilihat dari tinggi rendahnya tuntutan jaksa. ICW membagi penilaian atas tuntutan Jaksa, baik asal Kejaksaan ataupun KPK ke dalam 3 (tiga) bagian, yakni: ringan (0-4 tahun), sedang (>4–10 tahun), dan berat (>10 tahun). Sepanjang tahun 2019 setidaknya 1.125 terdakwa disidangkan di berbagai tingat pengadilan, yang terbagi atas: 137 terdakwa dituntut oleh KPK dan 911 terdakwa dituntut oleh Kejaksaan.
Rata-rata tuntutan yang penuntutnya berasal dari KPK adalah 5 tahun 2 bulan penjara, sedangkan dari Kejaksaan adalah 3 tahun 4 bulan penjara. Sepanjang tahun 2019 KPK menuntut ringan 51 terdakwa, menuntut sedang 72 terdakwa, dan hanya menuntut berat 6 terdakwa. Kejaksaan sendiri, 604 terdakwa dituntut ringan, 276 dituntut sedang, dan 13 dituntut berat.
MA selaku benteng peradilan terakhir nyatanya juga belum bisa diandalkan dalam memberi efek jera buat koruptor. Ini tampak dari putusan Peninjauan Kembali sepanjang tahun lalu, MA mengkorting hukuman 6 terpidana kasus korupsi. Mulai dari pengurangan hukuman penjara, atau pun penghapusan uang pengganti.
Kuat dugaan maraknya terpidana kasus korupsi mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali lantaran telah purna tugasnya Artidjo Alkostar. Seakan momen ini dimanfaatkan para terpidana untuk mencari celah agar mendapatkan pengurangan hukuman.
Mereka yang mendapat diskon dari MA adalah bekas Ketua DPD Irman Gusman (hukuman 4 tahun 6 bulan didiskon jadi 3 tahun), adik mantan Menpora, Choel Mallarangeng (3 tahun 6 bulan jadi 3 tahun), bekas Direktur Pengolahan PT Pertamina Suroso Atmomartoyo (hukuman 7 tahun plus uang pengganti Rp 2,6 miliar jadi 7 tahun saja), mantan Panitera Pengganti PN Jakarta Selatan Tarmizi (4 tahun dan uang pengganti Rp 425.000.000 jadi 3 tahun), mantan Hakim MK Patrialis Akbar 8 tahun plus Rp425 juta jadi 3 tahun), bekas anggota DPRD DKI M. Sanusi (10 tahun plus Rp 10 miliar jadi 7 tahun).
Tahun 2019 juga ditandai dengan dua putusan kontroversial. Pertama, vonis Lepas Syafruddin Arsyad Tumenggung. MA memutus lepas terdakwa kasus korupsi, Syafruddin Arsyad Tumenggung, dalam perkara penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun.
Majelis kasasi berpandangan bahwa perbuatan Tumenggung dalam menerbitkan SKL bukan merupakan tindak pidana, sehingga mesti dijatuhkan vonis lepas (ontslag van allerechtsvervolging).
Kala itu majelis kasasi tidak berpandangan sama melihat perkara tersebut, ada yang menyebutkan masuk pada ranah pidana, perdata, maupun administrasi. Ada beberapa catatan krusial terkait dengan putusan lepas Tumenggung ini. Pertama, perdebatan lingkup perkara ini dipandang sudah selesai ketika tersangka Tumenggung mengajukan praperadilan. Putusan praperadilan telah menegaskan bahwa perkara penerbitan SKL untuk obligor BLBI ini masuk pada ranah pidana.
Ketiga, salah satu diantara majelis kasasi yang memeriksa perkara ini dijatuhi sanksi etik oleh Badan Pengawas MA. Sebab, hakim itu terbukti melakukan pertemuan dengan kuasa hukum saat perkara ini sedang berjalan di MA.
Putusan kontroversial kedua, tak lain vonis bebas Sofyan Basir Mantan Direktur PLN itu , Sofyan Basir, divonis bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada awal November 2019 yang lalu.
Vonis ini banyak menuai kritik oleh masyarakat. Sebab, bukti keterlibatan Sofyan Basir sebenarnya sudah kerap disebut dalam berbagai persidangan dengan terdakwa lainnya.
Mantan Dirut Bank Bukopin dan BRI saat itu diduga turut membantu kelancaran proses tindak pidana suap yang dilakukan oleh Eni M Saragih dan Idrus Marham. Fakta yang terungkap di persidangan antara lain: (1) Sofyan turut mengetahui perihal fee yang didapatkan oleh Eni dalam proyek tersebut; (2) Sofyan menginginkan agar jatah fee yang didapatkan dari proyek tersebut dibagi sama rata kepada tiga orang, dua lainnya adalah Eni dan Idrus; (3) Sofyan mengikuti 9 kali pertemuan antara mantan anggota DPR RI tersebut bersama dengan Johannes Kotjo (pihak swasta).
Belakangan, seperti sudah disebut di awal tulisan ini, upaya KPK mengajukan kasasi akhirnya ditolak MA.
Putusan ini sekaligus menambah deretan vonis bebas yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terhadap perkara yang diusut oleh KPK. Setelah sebelumnya Mochtar Mohammad (mantan Walikota Bekasi) dan Suparman (mantan Bupati Rokan Hulu).
Singkat cerita, kini sudah waktunya pemerintahan Joko Widodo-Ma-ruf Amin bekerja serius mewujudkan salah satu janjinya saat kampanye. Jika tidak, perlahan tapi pasti niscaya kepercayaan rakyat yang memilihnya akan luntur. Demikian halnya bagi Ketua MA baru, hendaknya jabatan anyar yang disandangnya menjadi momentum untuk memulihkan lembaga tinggi negara itu sebagai institusi yang dipercaya dan disegani.
(rza)