Pemberantasan Korupsi di Periode Kedua Pemerintahan Jokowi Kian Letoi

Jum'at, 19 Juni 2020 - 08:00 WIB
loading...
A A A
Begitulah, pemberian hak cuti menjelang bebas bagi Nazaruddin dan penolakan kasasi KPK dalam kasus Sofyan Basir semakin menunjukkan letoinya pemberantasan korupsi di periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Ini tentu bertentangan dengan janji yang disampaikannnya di masa kampanye, yang antara lain berbunyi akan membangun penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

“Bonus” bagi Nazaruddin dan Sofyan kian memperkuat sinyalemen tiadanya efek jera dalam pemberantasan korupsi. Hasil penelitian yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) bulan April silam menunjukkan sepanjang tahun 2019 ada 1.019 perkara korupsi dengan 1.125 orang terdakwa. Temuan ini tidak terlalu berbeda dengan tahun sebelumnya, total perkara sebanyak 1.053 dengan terdakwa sejumlah 1.162 orang.

Temuan di atas terbagi dalam 3 ranah pengadilan, yakni: 941 perkara disidangkan di Pengadilan tingkat pertama, sedangkan 56 perkara tingkat banding, dan 22 perkara lainnya pada tingkat kasasi maupun peninjauan kembali di MA.

Adapun rata-rata vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 2 tahun 6 bulan, Pengadilan Tinggi (Banding) 3 tahun 8 bulan, dan Mahkamah Agung (Kasasi/Peninjauan Kembali) 3 tahun 8 bulan. Alhasil. rata-rata vonis penjara bagi para penggangsir uang rakyat hanya 2 tahun 7 bulan
Sedangkan untuk denda sebesar Rp 116,483 miliar. Lalu untuk pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp 748.163 miliar. Angka tersebut sangat tak sebanding dengan jumlah kerugian negara yang mencapai Rp 12 triliun. Praktis kurang dari 10 persen nilai aset yang dapat dikembalikan ke kas negara.

Padahal sesuai UU No. 20 Tahun 2001 yang memuat perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dalam Pasal 2 ayat 1 disebutkan koruptor dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun serta denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.

Pasal 2 ayat 2 UU tersebut bahkan membuka peluang bagi dijatuhkannya hukuman mati untuk koruptor. Namun penerapan hukuman mati itu tidak sembarangan. Hukuman tersebut hanya dapat diterapkan dalam keadaan tertentu. Umpamanya, tindak pidana korupsi dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, seperti pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Nah, mengacu pada pasal itu, dalam kondisi saat ini (wabah Covid-19) semestinya pejabat yang berani menyelewengkan dana bantuan sosial bisa diganjar hukuman mati. Namun dengan diberlakukannnya UU No 2 Tahun 2020 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemic Corona Disease 2019 (Covid-19) para pencoleng bisa lolos dari jerat hukum.

Jangan salah, dalam Pasal 27 ayat 1 UU itu tertulis bahwa biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan Perppu mengenai pandemi Covid-19 bukan merupakan kerugian keuangan negara. Ayat 2 pasal itu memberikan imunitas bagi pejabat pemerintah pelaksana Perppu. Bahkan, Ayat 3 berbunyi segala tindakan yang diambil berdasarkan Perppu bukanlah obyek gugatan yang bisa diajukan ke pengadilan.

Sejak berlakunya UU Tipikor hanya segelintir koruptor yang dijatuhi hukuman maksimal. Dalam catatan SINDOnews hanya enam terpidana yang “ketiban sial” dijatuhi hukuman berat. Mereka adalah para pelaku pembobolan BNI tahun 2004, yakni Dicky Iskandar Di Nata dan John Hamenda, serta Jaksa Urip Tri Gunawan yang dihukum 20 tahun. Tiga lagi dijatuhi hukuman seumur hidup, yakni Adrian Waworuntu (pembobolan BNI), mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar (manipulasi suara pilkada) dan Brigjen Teddy Hernayadi (korupsi pengadaan alutsista 2012-2014).

Adapun pelaku korupsi sepanjang 2019 didominasi oleh pegawai pemerintah daerah, baik level provinsi, kota, maupun Kabupeten sebanyak 334 orang, lalu perangkat desa sebanyak 228 orang, dan sektor swasta sebanyak 183 orang. Sedangkan dari wilayah politik setidaknya anggota legislatif baik pusat maupun daerah sebanyak 58 orang dan level kepala daerah sebanyak 20 orang.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1004 seconds (0.1#10.140)