Pemberantasan Korupsi di Periode Kedua Pemerintahan Jokowi Kian Letoi
loading...
A
A
A
Jerat UU Pencucian Uang Jarang Digunakan
Seperti sudah disebutkan sepanjang tahun 2019 kerugian negara yang timbul akibat praktik korupsi sebanyak Rp 12.002.548.977.762. Sedangkan putusan hakim yang menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti hanya Rp 748.163.509.055. Praktis kurang dari 10 persen keuangan negara yang hanya mampu dikembalikan melalui putusan di berbagai tingkat Pengadilan.
Sebenarnya tidak terlalu sulit menggenjot pengembalian uang negara yang dicoleng koruptor. Caranya dengan menerapkan UU Pencucian Uang. Nyatanya yang dijerat oleh UU No. 8 Tahun 2010 sepanjang tahun lalu hanya 8 terdakwa. Salah satunya adalah Zainudin Hasan, mantan Bupati Lampung Selatan.
Pengenaan UU Anti Pencucian Uang kepada terdakwa terbukti dapat menghasilkan putusan yang beriorientasi pada pemiskinan pelaku korupsi dan tentu saja memberi efek jera. Misalnya pada perkara yang menjerat mantan Bupati Lampung Selatan, Zainudin Hasan, pada putusannya majelis hakim mewajibkan yang bersangkutan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 66,7 miliar.
Serius atau tidaknya negara dalam memberantas korupsi juga bisa dilihat dari tinggi rendahnya tuntutan jaksa. ICW membagi penilaian atas tuntutan Jaksa, baik asal Kejaksaan ataupun KPK ke dalam 3 (tiga) bagian, yakni: ringan (0-4 tahun), sedang (>4–10 tahun), dan berat (>10 tahun). Sepanjang tahun 2019 setidaknya 1.125 terdakwa disidangkan di berbagai tingat pengadilan, yang terbagi atas: 137 terdakwa dituntut oleh KPK dan 911 terdakwa dituntut oleh Kejaksaan.
Rata-rata tuntutan yang penuntutnya berasal dari KPK adalah 5 tahun 2 bulan penjara, sedangkan dari Kejaksaan adalah 3 tahun 4 bulan penjara. Sepanjang tahun 2019 KPK menuntut ringan 51 terdakwa, menuntut sedang 72 terdakwa, dan hanya menuntut berat 6 terdakwa. Kejaksaan sendiri, 604 terdakwa dituntut ringan, 276 dituntut sedang, dan 13 dituntut berat.
MA selaku benteng peradilan terakhir nyatanya juga belum bisa diandalkan dalam memberi efek jera buat koruptor. Ini tampak dari putusan Peninjauan Kembali sepanjang tahun lalu, MA mengkorting hukuman 6 terpidana kasus korupsi. Mulai dari pengurangan hukuman penjara, atau pun penghapusan uang pengganti.
Kuat dugaan maraknya terpidana kasus korupsi mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali lantaran telah purna tugasnya Artidjo Alkostar. Seakan momen ini dimanfaatkan para terpidana untuk mencari celah agar mendapatkan pengurangan hukuman.
Mereka yang mendapat diskon dari MA adalah bekas Ketua DPD Irman Gusman (hukuman 4 tahun 6 bulan didiskon jadi 3 tahun), adik mantan Menpora, Choel Mallarangeng (3 tahun 6 bulan jadi 3 tahun), bekas Direktur Pengolahan PT Pertamina Suroso Atmomartoyo (hukuman 7 tahun plus uang pengganti Rp 2,6 miliar jadi 7 tahun saja), mantan Panitera Pengganti PN Jakarta Selatan Tarmizi (4 tahun dan uang pengganti Rp 425.000.000 jadi 3 tahun), mantan Hakim MK Patrialis Akbar 8 tahun plus Rp425 juta jadi 3 tahun), bekas anggota DPRD DKI M. Sanusi (10 tahun plus Rp 10 miliar jadi 7 tahun).
Tahun 2019 juga ditandai dengan dua putusan kontroversial. Pertama, vonis Lepas Syafruddin Arsyad Tumenggung. MA memutus lepas terdakwa kasus korupsi, Syafruddin Arsyad Tumenggung, dalam perkara penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun.
Seperti sudah disebutkan sepanjang tahun 2019 kerugian negara yang timbul akibat praktik korupsi sebanyak Rp 12.002.548.977.762. Sedangkan putusan hakim yang menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti hanya Rp 748.163.509.055. Praktis kurang dari 10 persen keuangan negara yang hanya mampu dikembalikan melalui putusan di berbagai tingkat Pengadilan.
Sebenarnya tidak terlalu sulit menggenjot pengembalian uang negara yang dicoleng koruptor. Caranya dengan menerapkan UU Pencucian Uang. Nyatanya yang dijerat oleh UU No. 8 Tahun 2010 sepanjang tahun lalu hanya 8 terdakwa. Salah satunya adalah Zainudin Hasan, mantan Bupati Lampung Selatan.
Pengenaan UU Anti Pencucian Uang kepada terdakwa terbukti dapat menghasilkan putusan yang beriorientasi pada pemiskinan pelaku korupsi dan tentu saja memberi efek jera. Misalnya pada perkara yang menjerat mantan Bupati Lampung Selatan, Zainudin Hasan, pada putusannya majelis hakim mewajibkan yang bersangkutan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 66,7 miliar.
Serius atau tidaknya negara dalam memberantas korupsi juga bisa dilihat dari tinggi rendahnya tuntutan jaksa. ICW membagi penilaian atas tuntutan Jaksa, baik asal Kejaksaan ataupun KPK ke dalam 3 (tiga) bagian, yakni: ringan (0-4 tahun), sedang (>4–10 tahun), dan berat (>10 tahun). Sepanjang tahun 2019 setidaknya 1.125 terdakwa disidangkan di berbagai tingat pengadilan, yang terbagi atas: 137 terdakwa dituntut oleh KPK dan 911 terdakwa dituntut oleh Kejaksaan.
Rata-rata tuntutan yang penuntutnya berasal dari KPK adalah 5 tahun 2 bulan penjara, sedangkan dari Kejaksaan adalah 3 tahun 4 bulan penjara. Sepanjang tahun 2019 KPK menuntut ringan 51 terdakwa, menuntut sedang 72 terdakwa, dan hanya menuntut berat 6 terdakwa. Kejaksaan sendiri, 604 terdakwa dituntut ringan, 276 dituntut sedang, dan 13 dituntut berat.
MA selaku benteng peradilan terakhir nyatanya juga belum bisa diandalkan dalam memberi efek jera buat koruptor. Ini tampak dari putusan Peninjauan Kembali sepanjang tahun lalu, MA mengkorting hukuman 6 terpidana kasus korupsi. Mulai dari pengurangan hukuman penjara, atau pun penghapusan uang pengganti.
Kuat dugaan maraknya terpidana kasus korupsi mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali lantaran telah purna tugasnya Artidjo Alkostar. Seakan momen ini dimanfaatkan para terpidana untuk mencari celah agar mendapatkan pengurangan hukuman.
Mereka yang mendapat diskon dari MA adalah bekas Ketua DPD Irman Gusman (hukuman 4 tahun 6 bulan didiskon jadi 3 tahun), adik mantan Menpora, Choel Mallarangeng (3 tahun 6 bulan jadi 3 tahun), bekas Direktur Pengolahan PT Pertamina Suroso Atmomartoyo (hukuman 7 tahun plus uang pengganti Rp 2,6 miliar jadi 7 tahun saja), mantan Panitera Pengganti PN Jakarta Selatan Tarmizi (4 tahun dan uang pengganti Rp 425.000.000 jadi 3 tahun), mantan Hakim MK Patrialis Akbar 8 tahun plus Rp425 juta jadi 3 tahun), bekas anggota DPRD DKI M. Sanusi (10 tahun plus Rp 10 miliar jadi 7 tahun).
Tahun 2019 juga ditandai dengan dua putusan kontroversial. Pertama, vonis Lepas Syafruddin Arsyad Tumenggung. MA memutus lepas terdakwa kasus korupsi, Syafruddin Arsyad Tumenggung, dalam perkara penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun.