Tantangan Dewan Komisioner OJK
loading...
A
A
A
Piter Abdullah
Direktur Riset CORE Indonesia
DPR sudah memilih Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) yang baru. Mereka yang terpilih adalah tokoh-tokoh yang kemampuan dan integritasnya sudah tidak diragukan lagi. Untuk terpilih, mereka harus melalui proses pemilihan yang ketat dan panjang berdasarkan rekam jejak dan juga laporan masyarakat.
Setelah lolos dari tahapan demi tahapan seleksi yang ketat oleh panitia seleksi yang diketuai Menteri Keuangan Sri Mulyani, mereka masih di-screening lagi oleh Presiden Jokowi untuk kemudian mengikuti uji kelayakan oleh DPR. Dari rangkaian proses pemilihan itu bisa dipahami kalau pada saat uji kelayakan, tidaklah sulit bagi DPR untuk menetapkan mereka yang terpilih.
Pada saat uji kelayakan, DPR tinggal memilih yang paling tepat dari calon-calon yang terbaik. Mereka yang tidak terpilih bukanlah karena mereka tidak baik. Mereka tetap yang terbaik dari semua calon yang mengikuti proses pemilihan. Tapi mereka di mata DPR bukan yang paling tepat. Seharusnya sudah tidak ada lagi keraguan akan DK OJK yang baru.
Pergantian pimpinan sebuah lembaga adalah sebuah ritual biasa. Ketika masa jabatan mereka sudah selesai, wajar saja terjadi pergantian. Demikian juga dengan pergantian DK OJK. Pergantian bukan dikarenakan DK OJK yang lama (masih menjabat hingga 20 Juli 2022) gagal dalam tugasnya. Justru mereka dapat dikatakan berhasil menjaga stabilitas sistem jasa keuangan di masa pandemi dan oleh karena itu layak mendapatkan apresiasi.
Modal Awal
Keberhasilan menjaga stabilitas sistem jasa keuangan di masa pandemi harus diakui adalah sebuah prestasi. Tanpa kebijakan yang tepat dalam mengantisipasi dampak pandemi, sistem jasa keuangan bisa dipastikan terganggu dan perekonomian akan jatuh ke jurang krisis yang berkepanjangan.
OJK memang tidak sendiri dalam menanggulangi dampak pandemi. Mereka bahu membahu dengan otoritas lainnya, yaitu Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Tapi tanpa dukungan kebijakan yang cepat dan tepat dari OJK, Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia akan sulit menjaga perekonomian di awal pandemi. Peran DK OJK dalam pengambilan kebijakan OJK di masa pandemi tentunya sangat menentukan.
Terjaganya stabilitas sistem jasa keuangan di masa pandemi ditunjukkan oleh berbagai indikator, mulai dari profil risiko yang cenderung membaik hingga likuiditas dan permodalan yang tetap terjaga. Profil risiko industri keuangan ditandai oleh rendahnya non-performing loan (NPL) perbankan dan non-performing financing (NPF) perusahaan pembiayaan. Selama pandemi, NPL perbankan dan NPF perusahaan pembiayaan senantiasa terjaga di kisaran 3%. Pada Februari 2022 NPL perbankan (gross) berada di level 3,08%, sementara NPF perusahaan pembiayaan di level 3,25%.
NPL dan NPF yang terjaga rendah membantu perbankan dan Industri keuangan nonbank (IKNB) mempertahankan permodalannya di level yang sehat. Rasio permodalan perbankan pada Februari 2022 tercatat sebesar 25,82%. Sementara risk based capital (RBC) industri asuransi jiwa berada di level 535,72% dan RBC industri asuransi umum di level 323,11%. Artinya permodalan baik perbankan maupun industri asuransi semuanya aman di atas threshold.
Indikator stabilitas sistem jasa keuangan lainnya adalah likuiditas. Likuiditas perbankan ditunjukkan oleh rasio alat likuid terhadap non-care deposit yang pada Februari 2022 terjaga di level 147,33%. Cukup jauh di atas threshold 50%. Selain itu ditunjukkan juga oleh rasio alat likuid terhadap DPK yang berada di level 32,72% (threshold 10%). Artinya likuiditas perbankan juga terjaga aman.
Direktur Riset CORE Indonesia
DPR sudah memilih Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) yang baru. Mereka yang terpilih adalah tokoh-tokoh yang kemampuan dan integritasnya sudah tidak diragukan lagi. Untuk terpilih, mereka harus melalui proses pemilihan yang ketat dan panjang berdasarkan rekam jejak dan juga laporan masyarakat.
Setelah lolos dari tahapan demi tahapan seleksi yang ketat oleh panitia seleksi yang diketuai Menteri Keuangan Sri Mulyani, mereka masih di-screening lagi oleh Presiden Jokowi untuk kemudian mengikuti uji kelayakan oleh DPR. Dari rangkaian proses pemilihan itu bisa dipahami kalau pada saat uji kelayakan, tidaklah sulit bagi DPR untuk menetapkan mereka yang terpilih.
Pada saat uji kelayakan, DPR tinggal memilih yang paling tepat dari calon-calon yang terbaik. Mereka yang tidak terpilih bukanlah karena mereka tidak baik. Mereka tetap yang terbaik dari semua calon yang mengikuti proses pemilihan. Tapi mereka di mata DPR bukan yang paling tepat. Seharusnya sudah tidak ada lagi keraguan akan DK OJK yang baru.
Pergantian pimpinan sebuah lembaga adalah sebuah ritual biasa. Ketika masa jabatan mereka sudah selesai, wajar saja terjadi pergantian. Demikian juga dengan pergantian DK OJK. Pergantian bukan dikarenakan DK OJK yang lama (masih menjabat hingga 20 Juli 2022) gagal dalam tugasnya. Justru mereka dapat dikatakan berhasil menjaga stabilitas sistem jasa keuangan di masa pandemi dan oleh karena itu layak mendapatkan apresiasi.
Modal Awal
Keberhasilan menjaga stabilitas sistem jasa keuangan di masa pandemi harus diakui adalah sebuah prestasi. Tanpa kebijakan yang tepat dalam mengantisipasi dampak pandemi, sistem jasa keuangan bisa dipastikan terganggu dan perekonomian akan jatuh ke jurang krisis yang berkepanjangan.
OJK memang tidak sendiri dalam menanggulangi dampak pandemi. Mereka bahu membahu dengan otoritas lainnya, yaitu Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Tapi tanpa dukungan kebijakan yang cepat dan tepat dari OJK, Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia akan sulit menjaga perekonomian di awal pandemi. Peran DK OJK dalam pengambilan kebijakan OJK di masa pandemi tentunya sangat menentukan.
Terjaganya stabilitas sistem jasa keuangan di masa pandemi ditunjukkan oleh berbagai indikator, mulai dari profil risiko yang cenderung membaik hingga likuiditas dan permodalan yang tetap terjaga. Profil risiko industri keuangan ditandai oleh rendahnya non-performing loan (NPL) perbankan dan non-performing financing (NPF) perusahaan pembiayaan. Selama pandemi, NPL perbankan dan NPF perusahaan pembiayaan senantiasa terjaga di kisaran 3%. Pada Februari 2022 NPL perbankan (gross) berada di level 3,08%, sementara NPF perusahaan pembiayaan di level 3,25%.
NPL dan NPF yang terjaga rendah membantu perbankan dan Industri keuangan nonbank (IKNB) mempertahankan permodalannya di level yang sehat. Rasio permodalan perbankan pada Februari 2022 tercatat sebesar 25,82%. Sementara risk based capital (RBC) industri asuransi jiwa berada di level 535,72% dan RBC industri asuransi umum di level 323,11%. Artinya permodalan baik perbankan maupun industri asuransi semuanya aman di atas threshold.
Indikator stabilitas sistem jasa keuangan lainnya adalah likuiditas. Likuiditas perbankan ditunjukkan oleh rasio alat likuid terhadap non-care deposit yang pada Februari 2022 terjaga di level 147,33%. Cukup jauh di atas threshold 50%. Selain itu ditunjukkan juga oleh rasio alat likuid terhadap DPK yang berada di level 32,72% (threshold 10%). Artinya likuiditas perbankan juga terjaga aman.