Puasa Tanpa Tekanan
loading...
A
A
A
Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUDAH tiga kali Ramadhan ini, sejak menjalarnya Covid-19, publik Indonesia menjadi tenang, namun tercekam marabahaya karena wabah. Tenang karena hiruk pikuk berkurang.
Tanpa ada berita penutupan warung dengan paksa, tanpa ada sweeping minuman keras, tanpa ada operasi siapa yang tidak puasa; Ramadhan jadi lebih damai. Publik tidak lagi memberitakan hal-hal yang sifatnya pemaksaan.
Rasakanlah, Ramadhan dengan khusuk, rukun, dan guyup memang lebih nyaman. Ketenangan terjadi karena tidak ada berita yang mengkhawatirkan. Ketenangan kadangkala dipengaruhi hal-hal di luar kita. Ketenangan kita rasakan secara nasional.
Dalam waktu dua dekade ini publik sering dikontrol oleh sekelompok kecil yang ingin mengatur dan mencuri perhatian khalayak. Mereka memaksakan standar kekhusukan dan ketaatan beragama dengan caranya. Sayangnya, orang lain dipaksa untuk menerima itu. Gaya baju, tingkah pidato, intonasi khutbah, dan parade demi parade.
Jika semua tekanan publik dibiarkan, beberapa kolega dari daerah rawan konflik seperti Afghanistan, Irak, dan Suriah sudah lama memberi peringatan pada warga Indonesia.
Indonesia masih terkontrol. Konflik tidak meningkat. Semua pihak masih menahan diri. Namun, jika sekelompok kecil diberi keleluasaan mengatur ukuran celana, panjangnya rambut di wajah pria, rapatnya tutup badan wanita, jenis ujaran yang kelihatan khusuk tetapi menekan, maka sedikit demi sedikit kita mengarah pada penyeragaman kekhusukan publik.
Peristiwa Monas di Jakarta yang mempraktikkan ibadah di ruang publik beberapa tahun lalu, melahirkan banyak kegiatan setelahnya. Beberapa hari yang lalu di Malioboro Yogyakarta kita jumpai beberapa mengaji di ruang terbuka untuk umum. Ini akan membawa sejumlah konsekwensi. Mungkin beberapa sudah menebak akibat dari kekhusukan di ruang umum ini.
Ruang terbuka idealnya dipelihara untuk semua warna. Ruang terbuka hendaknya tidak didominasi oleh pandangan tertentu. Ruang terbuka jangan sampai tidak memberi keleluasaan ekspresi beragam. Ruang terbuka untuk semua kreasi, hendaknya kita tidak menghalangi watak dasar keragaman, keanekaragaman, kebhinekaan, dan kreatifitas seni dan olahraga.
Jika ruang-ruang netral dipenuhi oleh kelompok yang monolithik, maka kebebasan publik taruhannya. Semoga betul harapan publik terkabul, kita berpuasa tanpa ada yang merasa ketakutan dan tanpa pemaksaan.
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUDAH tiga kali Ramadhan ini, sejak menjalarnya Covid-19, publik Indonesia menjadi tenang, namun tercekam marabahaya karena wabah. Tenang karena hiruk pikuk berkurang.
Tanpa ada berita penutupan warung dengan paksa, tanpa ada sweeping minuman keras, tanpa ada operasi siapa yang tidak puasa; Ramadhan jadi lebih damai. Publik tidak lagi memberitakan hal-hal yang sifatnya pemaksaan.
Rasakanlah, Ramadhan dengan khusuk, rukun, dan guyup memang lebih nyaman. Ketenangan terjadi karena tidak ada berita yang mengkhawatirkan. Ketenangan kadangkala dipengaruhi hal-hal di luar kita. Ketenangan kita rasakan secara nasional.
Dalam waktu dua dekade ini publik sering dikontrol oleh sekelompok kecil yang ingin mengatur dan mencuri perhatian khalayak. Mereka memaksakan standar kekhusukan dan ketaatan beragama dengan caranya. Sayangnya, orang lain dipaksa untuk menerima itu. Gaya baju, tingkah pidato, intonasi khutbah, dan parade demi parade.
Jika semua tekanan publik dibiarkan, beberapa kolega dari daerah rawan konflik seperti Afghanistan, Irak, dan Suriah sudah lama memberi peringatan pada warga Indonesia.
Indonesia masih terkontrol. Konflik tidak meningkat. Semua pihak masih menahan diri. Namun, jika sekelompok kecil diberi keleluasaan mengatur ukuran celana, panjangnya rambut di wajah pria, rapatnya tutup badan wanita, jenis ujaran yang kelihatan khusuk tetapi menekan, maka sedikit demi sedikit kita mengarah pada penyeragaman kekhusukan publik.
Peristiwa Monas di Jakarta yang mempraktikkan ibadah di ruang publik beberapa tahun lalu, melahirkan banyak kegiatan setelahnya. Beberapa hari yang lalu di Malioboro Yogyakarta kita jumpai beberapa mengaji di ruang terbuka untuk umum. Ini akan membawa sejumlah konsekwensi. Mungkin beberapa sudah menebak akibat dari kekhusukan di ruang umum ini.
Ruang terbuka idealnya dipelihara untuk semua warna. Ruang terbuka hendaknya tidak didominasi oleh pandangan tertentu. Ruang terbuka jangan sampai tidak memberi keleluasaan ekspresi beragam. Ruang terbuka untuk semua kreasi, hendaknya kita tidak menghalangi watak dasar keragaman, keanekaragaman, kebhinekaan, dan kreatifitas seni dan olahraga.
Jika ruang-ruang netral dipenuhi oleh kelompok yang monolithik, maka kebebasan publik taruhannya. Semoga betul harapan publik terkabul, kita berpuasa tanpa ada yang merasa ketakutan dan tanpa pemaksaan.