Puasa Tanpa Tekanan

Jum'at, 08 April 2022 - 10:25 WIB
loading...
Puasa Tanpa Tekanan
Al Makin, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

SUDAH tiga kali Ramadhan ini, sejak menjalarnya Covid-19, publik Indonesia menjadi tenang, namun tercekam marabahaya karena wabah. Tenang karena hiruk pikuk berkurang.

Tanpa ada berita penutupan warung dengan paksa, tanpa ada sweeping minuman keras, tanpa ada operasi siapa yang tidak puasa; Ramadhan jadi lebih damai. Publik tidak lagi memberitakan hal-hal yang sifatnya pemaksaan.

Rasakanlah, Ramadhan dengan khusuk, rukun, dan guyup memang lebih nyaman. Ketenangan terjadi karena tidak ada berita yang mengkhawatirkan. Ketenangan kadangkala dipengaruhi hal-hal di luar kita. Ketenangan kita rasakan secara nasional.

Dalam waktu dua dekade ini publik sering dikontrol oleh sekelompok kecil yang ingin mengatur dan mencuri perhatian khalayak. Mereka memaksakan standar kekhusukan dan ketaatan beragama dengan caranya. Sayangnya, orang lain dipaksa untuk menerima itu. Gaya baju, tingkah pidato, intonasi khutbah, dan parade demi parade.

Jika semua tekanan publik dibiarkan, beberapa kolega dari daerah rawan konflik seperti Afghanistan, Irak, dan Suriah sudah lama memberi peringatan pada warga Indonesia.

Indonesia masih terkontrol. Konflik tidak meningkat. Semua pihak masih menahan diri. Namun, jika sekelompok kecil diberi keleluasaan mengatur ukuran celana, panjangnya rambut di wajah pria, rapatnya tutup badan wanita, jenis ujaran yang kelihatan khusuk tetapi menekan, maka sedikit demi sedikit kita mengarah pada penyeragaman kekhusukan publik.

Peristiwa Monas di Jakarta yang mempraktikkan ibadah di ruang publik beberapa tahun lalu, melahirkan banyak kegiatan setelahnya. Beberapa hari yang lalu di Malioboro Yogyakarta kita jumpai beberapa mengaji di ruang terbuka untuk umum. Ini akan membawa sejumlah konsekwensi. Mungkin beberapa sudah menebak akibat dari kekhusukan di ruang umum ini.

Ruang terbuka idealnya dipelihara untuk semua warna. Ruang terbuka hendaknya tidak didominasi oleh pandangan tertentu. Ruang terbuka jangan sampai tidak memberi keleluasaan ekspresi beragam. Ruang terbuka untuk semua kreasi, hendaknya kita tidak menghalangi watak dasar keragaman, keanekaragaman, kebhinekaan, dan kreatifitas seni dan olahraga.

Jika ruang-ruang netral dipenuhi oleh kelompok yang monolithik, maka kebebasan publik taruhannya. Semoga betul harapan publik terkabul, kita berpuasa tanpa ada yang merasa ketakutan dan tanpa pemaksaan.

Kita berpuasa dengan tenang. Mereka yang berpuasa, dan mereka yang tidak berpuasa, mempunyai ketenangan dan hak yang sama untuk damai dalam hidup yang singkat ini.

Berpuasa itu seharusnya damai, ketenangan jiwa yang dicari. Puasa itu ibadah individu sebetulnya. Setiap orang yang beragama Islam, sudah mencapai akil baligh, tidak kehilangan akal, tidak sedang bepergian, tidak sakit, tidak kedatangan datang bulan, tidak tua renta, tidak dalam kondisi yang darurat yang menghalangi diperintah tidak makan dan minum seharian, diajarkan berpuasa. Berpuasa itu menahan diri dari makanan, minuman, dan menahan diri dari emosi.

Dalam beberapa riwayat, menahan diri dari makan dan minum itu ketrampilan dasar dan anak-anak belum dewasa pun bisa menjalaninya. Tetapi menahan diri, mengatur emosi, dan memberi kenyamanan pada orang lain, perlu latihan banyak.

Coba bayangkan, sejak matahari sebelum muncul hingga matahari tenggelam tidak makan dan minum tentu perut lapar. Dalam kondisi lapar, emosi cepat tersulut. Dalam kondisi dahaga, mudah sekali sentimen mengemuka.

Maka menahan diri saat puasa lebih berat. Tetapi itulah hakikat puasa. Kita dilatih tenang dalam kondisi sulit.

Puasa adalah ibadah orang per orang. Makna dan rasanya juga hendaknya dirasakan orang-perorang. Ketika sahur masih mengantuk, kurang selera makan, masih harus menghangatkan makanan.

Sebetulnya zaman saat ini sudah dengan teknologi kompor gas, bukan menyalakan api dengan gas atau kayu bakar, maka mempersiapkan sahur lebih nyaman. Perkembangan teknologi meringankan puasa.

Penderitaan menyalakan kayu bakar tidak lagi terjadi seperti lima puluh tahun lalu. Penderitaan membersihkan sumbu kompor minyak tanah itu era yang sudah berlalu. Sekarang di seluruh penjuru tanah air saat sahur, ibu-ibu atau bapak-bapak hanya memutar knop kompor gas elpiji. Menyiapkan sahur untuk keluarga lebih ringan.

Sore hari berbuka dengan delivery food. Begini bisa dilakukan dengan jasa aplikasi di telepon genggam. Pesan makanan tradisional atau makanan cepat saji Amerika, Jepang, Korea, atau masak sendiri, semua lebih mudah.

Masak sendiri pun bahan-bahan sudah ada. Mungkin makna puasa dengan penuh perjuangan sudah tidak lagi relevan dalam era IT 4.0 ini. Puasa penuh dengan kemudahan.

Di siang hari, mereka yang bekerja di kantor juga dengan suhu yang bisa diatur. Ruangan kantor penuh dengan AC. Pepergian dengan mobil atau motor. Itu jauh lebih ringan.

Bayangkan zaman seribu lima ratus tahun yang lalu, orang berpuasa di padang pasir berjalan kaki, naik kuda, atau onta. Dua ratus tahun lalu saja di Nusantara, orang-orang berjalan kaki atau naik kuda, walaupun panasnya suhu tropis tidak sekejam Jazirah Arab atau provinsi Hijaz. Berpuasa di udara tropis lebih ringan.

Dengan kondisi ini, maka puasa kita tanpa tekanan. Tanpa halangan yang berat berarti puasa lebih tenang. Tanpa tekanan publik, kehidupan nasional juga lebih kondusif untuk perkembangan ekonomi, politik, sosial, budaya, seni dan pendidikan. Mari berpuasa yang nyaman dan menyamankan semuanya.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2110 seconds (0.1#10.140)