Pandemi yang Tak Cukup Mengubah Budaya Pergi Kerja
loading...
A
A
A
Tantan Hermansah
Pengajar Sosiologi Perkotaan di UIN Jakarta
PANDEMI yang berlangsung selama dua tahun lebih ini ternyata tidak cukup membekas dan menghasilkan budaya baru dalam sistem kehidupan kita. Ada memang yang berubah, tetapi kalau bisa dikatakan belum terlalu signifikan. Contoh kesadaran orang yang menggunakan masker sekarang jauh lebih banyak dibanding sebelumnya. Begitu juga kesadaran untuk mencuci tangan jauh lebih masif ketimbang sebelum pandemi.
Artikel ini ingin menyoroti satu budaya yang sejatinya bisa berubah signifikan ketika datang dengan sebelum pandemi. Budaya yang disoroti dalam tulisan ini adalah budaya pergi kerja dan budaya bekerja itu sendiri.
Apa yang dimaksud dengan budaya pergi kerja adalah kegiatan yang dilakukan oleh sebagian dari kita untuk pergi ke tempat kerja dan melakukan pekerjaan seperti sehari-hari mereka bekerja. Alasan bahwa hal ini penting kita diskusikan karena selama pandemi pergi ke tempat kerja itu demikian terbatas. Pemerintah hanya mengizinkan sektor-sektor yang terkategorisasi esensial yang tidak mungkin dikerjakan dari rumah yang harus tetap menerapkan budaya pergi kerja ini.
Sedangkan pandemi juga telah menunjukkan kepada kita bahwa ada sebagian tata dan sistem kerja yang bisa dilakukan tidak di ruang atau di tempat kerja seperti biasanya. Selain itu, banyak sektor yang bisa dikerjakan tidak di tempat kerja—dengan jumlah yang tidak sedikit. Ternyata banyak sektor yang dikategorikan sebagai nonesensial tetap bisa bergerak, meskipun melakukan sejumlah transformasi yang signifikan, seperti dengan mengurangi jumlah karyawan atau mengurangi jumlah jam kerja. Sektor-sektor ini tetap berproduksi seperti biasa walaupun ada yang mengalami penurunan kinerja, yang itu terjadi secara umum memang di masa pandemi.
Namun, sampai saat ini sebagian sektor bisa beradaptasi dengan cukup baik di mana kantor hanya diisi dengan beberapa puluh persen dari kapasitas maksimumnya. Selain itu jadwal kehadiran juga diatur sedemikian rupa, yang kemudian dibantu dengan model bauran dan sebagainya.
Dengan fenomena ini dampaknya adalah budaya pergi kerja sejatinya berkurang atau setidaknya berkurang dengan cukup signifikan. Mengapa budaya pergi kerja ini penting dipersoalkan dalam konteks ini, karena budaya pergi kerja inilah yang menyebabkan kita mengalami loosing energy. Kehilangan energi di jalanan ini, bisa kita lihat misalnya ketika pembelajaran tatap muka (PTM) sudah mulai diberlakukan dan kantor sudah bisa mengoptimalkan kembali kapasitasnya, jalanan kembali macet dan akhirnya kita kembali menghabiskan berjam-jam energi di jalanan.
Padahal sejatinya pandemi kemarin telah mengubah budaya kerja itu. Di mana dengan budaya kerja yang baru, yang tidak perlu hadir langsung di kantor, tetapi output produktifnya tetap bisa dilakukan. Apa yang kemarin dikenal dengan memberlakukan model work from home (WFH) atau bekerja dari rumah itu, jika bisa dilakukan dengan efektif maka kantor-kantor itu akan berkontribusi kepada pengurangan kemacetan. Contoh, jika sebuah kantor memberlakukan kewajiban kehadiran di kantor itu hanya 50% saja untuk para pekerjaannya, maka kemudian akan menyebabkan dampak yang signifikan kepada pengurangan jumlah pengguna kendaraan di jalanan. Hal ini tentunya nanti akan berakibat kepada menurunnya volume kendaraan itu sendiri.
Bisa jadi ada beberapa persoalan yang menyebabkan budaya pergi kerja ini sulit berubah, meskipun sudah diuji coba secara alami melalui peristiwa wabah atau covid-19. Pertama, pergi bekerja itu bukan hanya sekadar bepergian untuk bekerja. Namun lebih dari itu, ada hal-hal nonbekerja yang kemudian memberikan pengaruh kepada keindahan pergi bekerja. Misalnya berkumpul dengan teman-teman atau mengerjakan sesuatu yang terkait dengan pekerjaan, atau bukan pekerjaan di tempat kerja itu sendiri. Kadang-kadang proyek sampingan itu bisa dikerjakan di tempat nongkrong seperti kafe dan lain-lain, bersama teman-teman yang berbeda.
Kedua, budaya pergi kerja sulit dihilangkan karena sudah terbiasa bahwa yang disebut bekerja itu adalah pergi bekerja. Padahal pergi untuk bekerja dengan bekerja itu sendiri merupakan dua entitas yang berbeda signifikan. Sehingga keduanya tidak perlu dianggap dua dalam satu, atau satu dalam dua. Bekerja bisa dilakukan di mana saja. Serta berproduksi bisa dilakukan dengan menggunakan apa saja. Tetapi pergi kerja adalah proses bagaimana menuju ke tempat kerja yang bisa jadi beberapa orang malah pergi ke tempat kerja tidak untuk bekerja, tetapi justru untuk tidak bekerja. Maka kemudian di sinilah kita akan susah melakukan transformasi budaya pergi bekerja.
Ketiga, mungkin saja ada persoalan di rumahnya. Persoalan ini tidak selalu harus dilihat negatif. Sebab bisa jadi hanya jenuh saja karena rutinitas yang berlangsung pada keadaan yang itu-itu saja, pun bisa memberikan pengaruh besar kepada produktivitas. Sehingga pergi ke tempat kerja bisa jadi merupakan upaya pemenuhan kerinduan berkumpul bersama yang lain. Semacam rekreasi mental yang kemudian, ketika kembali ke rumah, akan terasa segar kembali.
Arah Baru
Lalu bagaimana mempertemukan antara budaya pergi kerja agar bisa berdampak kepada pengurangan kemacetan ini?
Pertama, peran pemerintah penting dalam mengatur jam pergi kerja untuk sektor-sektor tertentu ini. Misalnya sektor pendidikan dan penunjangnya seperti kampus dan sekolah jam perginya bisa lebih pagi. Sementara kantor-kantor bisa diatur lebih siang. Atau bisa juga sebaliknya. Dengan mengatur ini saja, maka penumpukan kendaraan bisa berkurang signifikan.
Kedua, sektor-sektor yang memungkinkan bisa dikerjakan di rumah dengan pendekatan WFH bisa diberlakukan sistem shift. Misalnya 50% pekerja hadir dari hari Senin sampai Rabu; lalu 50% lagi hadir pada sisa harinya sehingga setiap orang tetap merasakan budaya pergi ke kantor tersebut.
Ketiga, penghargaan bagi institusi yang konsisten melakukan kebijakan tersebut. Sebab, lembaga-lembaga yang bisa mengatur kebijakan pengaturan budaya pergi kerja ini, akan memberikan kontribusi signifikan pada berbagai persoalan lingkungan, seperti penghematan sumber daya energi, pengurangan polusi dan tentu mengurangi kemacetan.
Pengajar Sosiologi Perkotaan di UIN Jakarta
PANDEMI yang berlangsung selama dua tahun lebih ini ternyata tidak cukup membekas dan menghasilkan budaya baru dalam sistem kehidupan kita. Ada memang yang berubah, tetapi kalau bisa dikatakan belum terlalu signifikan. Contoh kesadaran orang yang menggunakan masker sekarang jauh lebih banyak dibanding sebelumnya. Begitu juga kesadaran untuk mencuci tangan jauh lebih masif ketimbang sebelum pandemi.
Artikel ini ingin menyoroti satu budaya yang sejatinya bisa berubah signifikan ketika datang dengan sebelum pandemi. Budaya yang disoroti dalam tulisan ini adalah budaya pergi kerja dan budaya bekerja itu sendiri.
Apa yang dimaksud dengan budaya pergi kerja adalah kegiatan yang dilakukan oleh sebagian dari kita untuk pergi ke tempat kerja dan melakukan pekerjaan seperti sehari-hari mereka bekerja. Alasan bahwa hal ini penting kita diskusikan karena selama pandemi pergi ke tempat kerja itu demikian terbatas. Pemerintah hanya mengizinkan sektor-sektor yang terkategorisasi esensial yang tidak mungkin dikerjakan dari rumah yang harus tetap menerapkan budaya pergi kerja ini.
Sedangkan pandemi juga telah menunjukkan kepada kita bahwa ada sebagian tata dan sistem kerja yang bisa dilakukan tidak di ruang atau di tempat kerja seperti biasanya. Selain itu, banyak sektor yang bisa dikerjakan tidak di tempat kerja—dengan jumlah yang tidak sedikit. Ternyata banyak sektor yang dikategorikan sebagai nonesensial tetap bisa bergerak, meskipun melakukan sejumlah transformasi yang signifikan, seperti dengan mengurangi jumlah karyawan atau mengurangi jumlah jam kerja. Sektor-sektor ini tetap berproduksi seperti biasa walaupun ada yang mengalami penurunan kinerja, yang itu terjadi secara umum memang di masa pandemi.
Namun, sampai saat ini sebagian sektor bisa beradaptasi dengan cukup baik di mana kantor hanya diisi dengan beberapa puluh persen dari kapasitas maksimumnya. Selain itu jadwal kehadiran juga diatur sedemikian rupa, yang kemudian dibantu dengan model bauran dan sebagainya.
Dengan fenomena ini dampaknya adalah budaya pergi kerja sejatinya berkurang atau setidaknya berkurang dengan cukup signifikan. Mengapa budaya pergi kerja ini penting dipersoalkan dalam konteks ini, karena budaya pergi kerja inilah yang menyebabkan kita mengalami loosing energy. Kehilangan energi di jalanan ini, bisa kita lihat misalnya ketika pembelajaran tatap muka (PTM) sudah mulai diberlakukan dan kantor sudah bisa mengoptimalkan kembali kapasitasnya, jalanan kembali macet dan akhirnya kita kembali menghabiskan berjam-jam energi di jalanan.
Padahal sejatinya pandemi kemarin telah mengubah budaya kerja itu. Di mana dengan budaya kerja yang baru, yang tidak perlu hadir langsung di kantor, tetapi output produktifnya tetap bisa dilakukan. Apa yang kemarin dikenal dengan memberlakukan model work from home (WFH) atau bekerja dari rumah itu, jika bisa dilakukan dengan efektif maka kantor-kantor itu akan berkontribusi kepada pengurangan kemacetan. Contoh, jika sebuah kantor memberlakukan kewajiban kehadiran di kantor itu hanya 50% saja untuk para pekerjaannya, maka kemudian akan menyebabkan dampak yang signifikan kepada pengurangan jumlah pengguna kendaraan di jalanan. Hal ini tentunya nanti akan berakibat kepada menurunnya volume kendaraan itu sendiri.
Bisa jadi ada beberapa persoalan yang menyebabkan budaya pergi kerja ini sulit berubah, meskipun sudah diuji coba secara alami melalui peristiwa wabah atau covid-19. Pertama, pergi bekerja itu bukan hanya sekadar bepergian untuk bekerja. Namun lebih dari itu, ada hal-hal nonbekerja yang kemudian memberikan pengaruh kepada keindahan pergi bekerja. Misalnya berkumpul dengan teman-teman atau mengerjakan sesuatu yang terkait dengan pekerjaan, atau bukan pekerjaan di tempat kerja itu sendiri. Kadang-kadang proyek sampingan itu bisa dikerjakan di tempat nongkrong seperti kafe dan lain-lain, bersama teman-teman yang berbeda.
Kedua, budaya pergi kerja sulit dihilangkan karena sudah terbiasa bahwa yang disebut bekerja itu adalah pergi bekerja. Padahal pergi untuk bekerja dengan bekerja itu sendiri merupakan dua entitas yang berbeda signifikan. Sehingga keduanya tidak perlu dianggap dua dalam satu, atau satu dalam dua. Bekerja bisa dilakukan di mana saja. Serta berproduksi bisa dilakukan dengan menggunakan apa saja. Tetapi pergi kerja adalah proses bagaimana menuju ke tempat kerja yang bisa jadi beberapa orang malah pergi ke tempat kerja tidak untuk bekerja, tetapi justru untuk tidak bekerja. Maka kemudian di sinilah kita akan susah melakukan transformasi budaya pergi bekerja.
Ketiga, mungkin saja ada persoalan di rumahnya. Persoalan ini tidak selalu harus dilihat negatif. Sebab bisa jadi hanya jenuh saja karena rutinitas yang berlangsung pada keadaan yang itu-itu saja, pun bisa memberikan pengaruh besar kepada produktivitas. Sehingga pergi ke tempat kerja bisa jadi merupakan upaya pemenuhan kerinduan berkumpul bersama yang lain. Semacam rekreasi mental yang kemudian, ketika kembali ke rumah, akan terasa segar kembali.
Arah Baru
Lalu bagaimana mempertemukan antara budaya pergi kerja agar bisa berdampak kepada pengurangan kemacetan ini?
Pertama, peran pemerintah penting dalam mengatur jam pergi kerja untuk sektor-sektor tertentu ini. Misalnya sektor pendidikan dan penunjangnya seperti kampus dan sekolah jam perginya bisa lebih pagi. Sementara kantor-kantor bisa diatur lebih siang. Atau bisa juga sebaliknya. Dengan mengatur ini saja, maka penumpukan kendaraan bisa berkurang signifikan.
Kedua, sektor-sektor yang memungkinkan bisa dikerjakan di rumah dengan pendekatan WFH bisa diberlakukan sistem shift. Misalnya 50% pekerja hadir dari hari Senin sampai Rabu; lalu 50% lagi hadir pada sisa harinya sehingga setiap orang tetap merasakan budaya pergi ke kantor tersebut.
Ketiga, penghargaan bagi institusi yang konsisten melakukan kebijakan tersebut. Sebab, lembaga-lembaga yang bisa mengatur kebijakan pengaturan budaya pergi kerja ini, akan memberikan kontribusi signifikan pada berbagai persoalan lingkungan, seperti penghematan sumber daya energi, pengurangan polusi dan tentu mengurangi kemacetan.
(bmm)