Bahas Penundaan RUU HIP, Pemerintah Undang NU, Muhammadiyah dan MUI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah memutuskan untuk menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Penundaan tersebut merupakan respons pemerintah atas aspirasi berbagai kalangan yang menolak adanya RUU tersebut.
Pada Selasa malam (16/6/2020), pemerintah pun mengundang Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan juga Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sebelumnya satu suara menyampaikan penolakan terhadap adanya RUU tersebut. (Baca juga: PAN: Kalau Ada yang Mau Ubah Pancasila, Kita Lawan!)
"Alhamdulillah pemerintah merespon cepat aspirasi masyarakat. Bersama NU, Muhammadiyah dan MUI, Wakil Presiden didampingi Menko Polhukum, pemerintah menyampaikan penundaan pembahasan RUU HIP dan fokus untuk menanggulangi Covid-19," ujar Ketua Harian Tahfidziyah PBNU Robikin Emhas.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan bahwa RUU tersebut merupakan usul dan inisiatif DPR yang kemudian disampaikan kepada presiden. Setelah presiden berbicara dengan banyak kalangan dan meminta masukan dari mereka, pemerintah kemudian memutuskan untuk menunda pembahasan.
"Meminta kepada DPR untuk berdialog dan menyerap aspirasi lebih banyak lagi dengan seluruh kekuatan atau elemen-elemen masyarakat," tandas Mahfud saat jumpa pers bersama Menkumham di Jakarta, Selasa (16/6/2020).
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam pernyataan tertulisnya menyatakan bahwa Pancasila merupakan titik temu (kalimatun sawa’) yang disepakati sebagai dasar negara adalah hasil dari satu kesatuan proses yang dimulai sejak Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang dihasilkan oleh Tim Sembilan, dan rumusan final yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.
"Secara historis, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara yang disahkan pada 18 Agustus 1945 adalah hasil dari moderasi aspirasi Islam dan kebangsaan. Dengan rumusan final Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, Indonesia tidak menjelma sebagai negara Islam, juga bukan negara sekuler, tetapi negara nasionalis-religius," ujar Said Aqil, Selasa (16/6/2020).
Menurutnya, rumusan final Pancasila merupakan legacy terbesar yang diwariskan para pendiri bangsa yang terdiri dari banyak golongan. Karena itu, menonjolkan kesejarahan Pancasila 1 Juni dengan mengabaikan kesejarahan 22 Juni dan 18 Agustus berpotensi merusak persatuan, membenturkan agama dengan negara, dan menguak kembali konflik ideologis yang akan menguras energi bangsa.
"Tindakan apapun yang dapat menimbulkan mafsadah bagi persatuan nasional wajib dihindari, karena Pancasila dirajut oleh para founding fathers justru untuk mencegah perpecahan dan mempersatukan seluruh elemen bangsa dalam sebuah tenda besar," katanya.
Menurutnya, Pancasila sebagai kesepakatan final tidak membutuhkan penafsiran lebih luas atau lebih sempit dari penjabaran yang sudah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 beserta situasi batin yang menyertai rumusan finalnya pada 18 Agustus 1945.
"RUU HIP dapat menguak kembali konflik ideologi yang bisa mengarah kepada krisis politik. Anyaman kebangsaan yang sudah dengan susah payah dirajut oleh founding fathers bisa koyak kembali dengan rumusan-rumusan pasal RUU HIP yang polemis," tuturnya.
Menurut Said Aqil, tidak ada urgensi dan kebutuhan sama sekali untuk memperluas tafsir Pancasila dalam undang-undang khusus. Di tengah situasi bangsa yang sedang menghadapi krisis kesehatan dan keterpurukan ekonomi akibat pandemi COVID-19, kata Said Aqil, Indonesia tidak perlu menambah beban sosial dengan memercikkan riak-riak politik yang dapat menimbulkan krisis politik, memecah belah keutuhan bangsa, dan mengoyak persatuan nasional.
"Sebaiknya proses legislasi RUU HIP dihentikan dan seluruh komponen bangsa memusatkan energinya untuk keluar dari pandemi dan berjuang memulihkan perekonomian nasional," tandasnya.
Selaras dengan PBNU, PP Muhammadiyah juga mengeluarkan sikap senada. Muhammadiyah menilai materi RUU HIP yang sekarang ada di meja Badan Legislatif DPR banyak yang bertentangan dengan UUD 1945 dan sejumlah UU, terutama UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Penilaian tersebut berdasarkan pengkajian tahap pertama Tim Pimpinan Pusat Muhammadiyah. "Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahapan berikutnya untuk disahkan menjadi Undang-undang," ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam jumpa pers di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Senin (15/6/2020). )
Mu'ti mengatakan, secara hukum kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai Dasar Negara sudah sangat kuat. Landasan Perundang-undangan tentang Pancasila telah diatur di dalam TAP MPRS nomor XX/1966 juncto TAP MPR nomor V/1973, TAP MPR nomor IX/1978, dan TAP MPR nomor III/2000 beserta beberapa undang-undang turunannya sudah sangat memadai.
Pada Selasa malam (16/6/2020), pemerintah pun mengundang Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan juga Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sebelumnya satu suara menyampaikan penolakan terhadap adanya RUU tersebut. (Baca juga: PAN: Kalau Ada yang Mau Ubah Pancasila, Kita Lawan!)
"Alhamdulillah pemerintah merespon cepat aspirasi masyarakat. Bersama NU, Muhammadiyah dan MUI, Wakil Presiden didampingi Menko Polhukum, pemerintah menyampaikan penundaan pembahasan RUU HIP dan fokus untuk menanggulangi Covid-19," ujar Ketua Harian Tahfidziyah PBNU Robikin Emhas.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan bahwa RUU tersebut merupakan usul dan inisiatif DPR yang kemudian disampaikan kepada presiden. Setelah presiden berbicara dengan banyak kalangan dan meminta masukan dari mereka, pemerintah kemudian memutuskan untuk menunda pembahasan.
"Meminta kepada DPR untuk berdialog dan menyerap aspirasi lebih banyak lagi dengan seluruh kekuatan atau elemen-elemen masyarakat," tandas Mahfud saat jumpa pers bersama Menkumham di Jakarta, Selasa (16/6/2020).
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam pernyataan tertulisnya menyatakan bahwa Pancasila merupakan titik temu (kalimatun sawa’) yang disepakati sebagai dasar negara adalah hasil dari satu kesatuan proses yang dimulai sejak Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang dihasilkan oleh Tim Sembilan, dan rumusan final yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.
"Secara historis, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara yang disahkan pada 18 Agustus 1945 adalah hasil dari moderasi aspirasi Islam dan kebangsaan. Dengan rumusan final Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, Indonesia tidak menjelma sebagai negara Islam, juga bukan negara sekuler, tetapi negara nasionalis-religius," ujar Said Aqil, Selasa (16/6/2020).
Menurutnya, rumusan final Pancasila merupakan legacy terbesar yang diwariskan para pendiri bangsa yang terdiri dari banyak golongan. Karena itu, menonjolkan kesejarahan Pancasila 1 Juni dengan mengabaikan kesejarahan 22 Juni dan 18 Agustus berpotensi merusak persatuan, membenturkan agama dengan negara, dan menguak kembali konflik ideologis yang akan menguras energi bangsa.
"Tindakan apapun yang dapat menimbulkan mafsadah bagi persatuan nasional wajib dihindari, karena Pancasila dirajut oleh para founding fathers justru untuk mencegah perpecahan dan mempersatukan seluruh elemen bangsa dalam sebuah tenda besar," katanya.
Menurutnya, Pancasila sebagai kesepakatan final tidak membutuhkan penafsiran lebih luas atau lebih sempit dari penjabaran yang sudah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 beserta situasi batin yang menyertai rumusan finalnya pada 18 Agustus 1945.
"RUU HIP dapat menguak kembali konflik ideologi yang bisa mengarah kepada krisis politik. Anyaman kebangsaan yang sudah dengan susah payah dirajut oleh founding fathers bisa koyak kembali dengan rumusan-rumusan pasal RUU HIP yang polemis," tuturnya.
Menurut Said Aqil, tidak ada urgensi dan kebutuhan sama sekali untuk memperluas tafsir Pancasila dalam undang-undang khusus. Di tengah situasi bangsa yang sedang menghadapi krisis kesehatan dan keterpurukan ekonomi akibat pandemi COVID-19, kata Said Aqil, Indonesia tidak perlu menambah beban sosial dengan memercikkan riak-riak politik yang dapat menimbulkan krisis politik, memecah belah keutuhan bangsa, dan mengoyak persatuan nasional.
"Sebaiknya proses legislasi RUU HIP dihentikan dan seluruh komponen bangsa memusatkan energinya untuk keluar dari pandemi dan berjuang memulihkan perekonomian nasional," tandasnya.
Selaras dengan PBNU, PP Muhammadiyah juga mengeluarkan sikap senada. Muhammadiyah menilai materi RUU HIP yang sekarang ada di meja Badan Legislatif DPR banyak yang bertentangan dengan UUD 1945 dan sejumlah UU, terutama UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Penilaian tersebut berdasarkan pengkajian tahap pertama Tim Pimpinan Pusat Muhammadiyah. "Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahapan berikutnya untuk disahkan menjadi Undang-undang," ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam jumpa pers di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Senin (15/6/2020). )
Mu'ti mengatakan, secara hukum kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai Dasar Negara sudah sangat kuat. Landasan Perundang-undangan tentang Pancasila telah diatur di dalam TAP MPRS nomor XX/1966 juncto TAP MPR nomor V/1973, TAP MPR nomor IX/1978, dan TAP MPR nomor III/2000 beserta beberapa undang-undang turunannya sudah sangat memadai.
(kri)