Bahas Penundaan RUU HIP, Pemerintah Undang NU, Muhammadiyah dan MUI
loading...
A
A
A
"RUU HIP dapat menguak kembali konflik ideologi yang bisa mengarah kepada krisis politik. Anyaman kebangsaan yang sudah dengan susah payah dirajut oleh founding fathers bisa koyak kembali dengan rumusan-rumusan pasal RUU HIP yang polemis," tuturnya.
Menurut Said Aqil, tidak ada urgensi dan kebutuhan sama sekali untuk memperluas tafsir Pancasila dalam undang-undang khusus. Di tengah situasi bangsa yang sedang menghadapi krisis kesehatan dan keterpurukan ekonomi akibat pandemi COVID-19, kata Said Aqil, Indonesia tidak perlu menambah beban sosial dengan memercikkan riak-riak politik yang dapat menimbulkan krisis politik, memecah belah keutuhan bangsa, dan mengoyak persatuan nasional.
"Sebaiknya proses legislasi RUU HIP dihentikan dan seluruh komponen bangsa memusatkan energinya untuk keluar dari pandemi dan berjuang memulihkan perekonomian nasional," tandasnya.
Selaras dengan PBNU, PP Muhammadiyah juga mengeluarkan sikap senada. Muhammadiyah menilai materi RUU HIP yang sekarang ada di meja Badan Legislatif DPR banyak yang bertentangan dengan UUD 1945 dan sejumlah UU, terutama UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Penilaian tersebut berdasarkan pengkajian tahap pertama Tim Pimpinan Pusat Muhammadiyah. "Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahapan berikutnya untuk disahkan menjadi Undang-undang," ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam jumpa pers di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Senin (15/6/2020). )
Mu'ti mengatakan, secara hukum kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai Dasar Negara sudah sangat kuat. Landasan Perundang-undangan tentang Pancasila telah diatur di dalam TAP MPRS nomor XX/1966 juncto TAP MPR nomor V/1973, TAP MPR nomor IX/1978, dan TAP MPR nomor III/2000 beserta beberapa undang-undang turunannya sudah sangat memadai.
Menurut Said Aqil, tidak ada urgensi dan kebutuhan sama sekali untuk memperluas tafsir Pancasila dalam undang-undang khusus. Di tengah situasi bangsa yang sedang menghadapi krisis kesehatan dan keterpurukan ekonomi akibat pandemi COVID-19, kata Said Aqil, Indonesia tidak perlu menambah beban sosial dengan memercikkan riak-riak politik yang dapat menimbulkan krisis politik, memecah belah keutuhan bangsa, dan mengoyak persatuan nasional.
"Sebaiknya proses legislasi RUU HIP dihentikan dan seluruh komponen bangsa memusatkan energinya untuk keluar dari pandemi dan berjuang memulihkan perekonomian nasional," tandasnya.
Selaras dengan PBNU, PP Muhammadiyah juga mengeluarkan sikap senada. Muhammadiyah menilai materi RUU HIP yang sekarang ada di meja Badan Legislatif DPR banyak yang bertentangan dengan UUD 1945 dan sejumlah UU, terutama UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Penilaian tersebut berdasarkan pengkajian tahap pertama Tim Pimpinan Pusat Muhammadiyah. "Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahapan berikutnya untuk disahkan menjadi Undang-undang," ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam jumpa pers di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Senin (15/6/2020). )
Mu'ti mengatakan, secara hukum kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai Dasar Negara sudah sangat kuat. Landasan Perundang-undangan tentang Pancasila telah diatur di dalam TAP MPRS nomor XX/1966 juncto TAP MPR nomor V/1973, TAP MPR nomor IX/1978, dan TAP MPR nomor III/2000 beserta beberapa undang-undang turunannya sudah sangat memadai.
(kri)