Urgensi Penguatan Literasi Digital Counter Terorism

Selasa, 22 Maret 2022 - 15:12 WIB
loading...
Urgensi Penguatan Literasi Digital Counter Terorism
Koordinator Jaringan Aktivis Nusantara, Romadhon JASN. Foto/SINDOnews
A A A
Romadhon JASN
Koordinator Jaringan Aktivis Nusantara


SEBAGAIMANA
rencana pemerintah, tahun 2022 direncanakan menjadi tahun toleransi. Hal itu ditandai dengan keberhasilan Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus) dalam melacak, mendeteksi, membongkar, dan mengungkap jaringan terorisme. Yang mengagetkan publik ketika aparat penegak hukum dalam hal ini Densus 88 berhasil menangkap terduga terorisme yang selama ini "bersarang" di institusi pemerintahan termasuk juga di beberapa kementerian.

Ironis menyaksikan realitas itu karena ternyata jaringan terorisme diam-diam telah "menyusup" yang sewaktu-waktu berpotensi "menguasai" pelbagai sektor kekuasaan. Tentu hal itu tak bisa dibiarkan begitu saja. Sebelum terlambat, pemerintah harus mengambil langkah taktis yang terukur serta strategi jitu untuk membungkam dan melawan pergerakan dari aksi-aksi intoleran kelompok teroris.

Untuk itu, hemat penulis jangan sampai menyediakan ruang sedikit pun bagi kelompok terorisme termasuk juga paham radikalisme maupun ekstremisme yang sudah terbukti melegalkan kekerasan (violance ekstremism). Berdasarkan hasil riset ilmiah dan identifikasi menyeluruh tentang dampak buruk paham radikalisme ekstremisme, dan terorisme menunjukkan bahwa ideologi thoghut itu bukan saja mengancam integrasi dan keutuhan negara, tetapi juga mengancam agama.

Itu sebabnya mengapa ideologi takfiri transnasional itu "wajib" diperangi dan harus "dimusnahkan" dari bumi Indonesia. Memulai perlawanan dan perang terhadap ideologi takfiri itu setidaknya dimulai dengan strategi pencegahan terhadap radikalisme yang menguasai jagat digital (medsos), karena radikalisme melahirkan terorisme.
Sementara radikalisme disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang sempit (puritanisme) dalam menginterpretasikan teks-teks agama dan menganggap pihak lain sebagai musuh yang harus diperangi (intolerans). Puncaknya melahirkan terorisme yang melegalkan kekerasan (violance ekstremism).

Pelbagai tindakan teror yang kerap memakan korban jiwa diyakini sebagai sebuah cara (jihad) di jalan Allah. Atas nama jihad, kelompok radikalis-teroris membunuh sesama manusia. Seolah agama melegitimasi perbuatan kekerasan yang dibungkus dengan jihad. Semua itu tak lepas dari kedangkalan mereka dalam menafsirkan dan memahami teks agama secara 'kaku' dan sempit. Yang sangat menyedihkan, mereka yang terpengaruh dan terpapar paham radikalis teroris justru dari kelangan yang rasanya mustahil terpengaruh atau pun terpapar.

Seperti di pelbagai kementerian termasuk di beberapa BUMN dan instansi lain. Sementara dari kalangan agamawan konservatif seperti ustaz penceramah yang sebenarnya memiliki basic pemahaman agama mumpuni juga terpapar doktrin radikal teroris. Data terbaru menunjukkan sebanya 50 penceramah serta pengelola di 41 masjid di beberapa kementerian, dan lembaga hingga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terindikasi terpapar radikalisme alias calon teroris.

Demikian juga di institusi pendidikan beberapa perguruan tinggi negeri di Indonesia yang terindikasi terpapar radikalisme. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga melaporkan hasil survei terkait radikalisme. Menurut data BNPT, sebanyak 39% mahasiswa di 15 provinsi di Indonesia yang menjadi responden terindikasi tertarik kepada paham radikal.

Pada titik inilah, upaya mencegah, menanggulangi, melawan, serta memerangi radikalisme dan terorisme dari bumi Indonesia adalah keniscayaan bahkan 'wajib' hukumnya. Meski saat ini telah dilakukan upaya preventif dan penanggulangan yang maksimal oleh pemerintah dalam hal ini BNPT, sejatinya semua elemen bangsa dan negara tanpa terkecuali memiliki tanggung jawab moral untuk ikut serta mencegah dan menghentikan aksi-aksi radikalisme dan terorisme.

Sejauh ini, pemerintah telah melakukan upaya preventif dan strategi kontra narasi dan kontra propaganda dalam rangka menandingi dan menyeimbangi propaganda kelompok radikal teroris yang menguasai jagat digital.

Radikalisme dan Terorisme di Jagat Digital
Terorisme adalah paham dan ideologi takfiri transnasional. Itu sebabnya kelompok teroris-radikal memanfaatkan media sosial internet menjadi media efektif dalam peningkatan propaganda, pembangunan jaringan, dan sarana rekrutmen baru. Catatan BNPT, Per 12 Maret 2021, terdapat 321 grup maupun kanal media sosial yang terindikasi menyebarkan propaganda radikal terorisme di mana 145 grup atau kanal di antaranya berasal dari platform Telegram.

Sedangkan sepanjang tahun 2020, terdapat 341 konten siber yang terpantau menyebarkan propaganda radikal terorisme di mana sebagian besar merupakan akun underbow organisasi yang telah resmi dilarang seperti HTI.

Artinya, penyebaran radikalisme dilakukan melalui medium teknologi digital seperti internet sudah pasti akan berdampak buruk terutama bagi millenial yang belum melek literasi digital dan tak memiliki basic pemahaman agama. Sampai tahun 2020 pengguna aktif media sosial di dunia mencapai angka 3,5 milyar orang, sementara di Indonesia mencapai 132 juta orang.

Data lain menunjukkan, ada 4,5 miliar penduduk dunia saat ini yang menjadi pengguna internet aktif berdasarkan data weareSocial tahun 2020. Sedang di Indonesia, ada 171,17 juta penduduk dari total 265 juta yang menjadi pengguna internet aktif (data APJII tahun 2020).

Dalam konteks ini, media sosial sangat berbahaya ketika digunakan teroris radikal dalam mempropaganda dan menyebarkan paham takfiri mereka dalam rangka mempengaruhi dan mencuci otak milenial. Termasuk juga menjadi agamawan yang toleran dan radikal bisa dibentuk melalui media sosial. Pengaruh internet sangat berbahaya terutama bagi generasi muda yang potensial dan rentan terprovokasi doktrin radikalis-teroris. Kenyataan bahwa pengguna internet terutama dari kalangan generasi milenial banyak yang terpengaruh sehingga dengan mudah mengambil kesimpulan merasa paling benar.

Inilah realitas buruk ketika belajar dan memahami sumber-sumber agama dari internet digital. Mereka tak lagi belajar agama melalui media cetak, seperti buku, majalah dan jurnal, serta pengajian-pengajian dari ustaz atau mubaligh. Sebaliknya, mereka mayoritas lebih tertarik belajar agama secara instan melalui kanal media.

Penguatan Literasi Digital
Literasi digital adalah memahami informasi dari berbagai sumber yang diakses melalui media komputer. Pentingnya literasi digital agar pikiran jernih, rasional, serta dapat memahami inti atau maksud dari setiap informasi dari dunia digital, sehingga tidak mudah dipengaruhi informasi yang disebarkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dan pastinya menyesatkan. Pada titik ini, memperkuat literasi digital adalah bagian dari upaya penguatan kontra narasi radikal terorisme.

Perangkat media nampaknya menjadi instrumen paling efektif untuk melawan dan menandingi propaganda terorisme radikal di sosial media. Penguatan kontra narasi di ruang maya setidaknya dapat dilakukan dengan membangun narasi kebangsaan yang berorientasi nasionalisme, narasi perdamaian berlandaskan moderasi beragama anti kekerasan (violance ekstremisme), serta narasi kemanusiaan dengan memperkuat sikap toleran. Karena itu, mencegah dan melawan propaganda terorisme-radikalis terutama di jagat digital harus diperkuat dengan membangun narasi kebangsaan yang berorientasi pada penguatan nasionalisme.

Kontra propaganda dan kontra narasi akan sangat efektif setidaknya meminimalisir dan mempersempit ruang gerak teroris-radikalis dalam menyampaikan fikiran-fikiran buruknya. Konkretnya adalah menyajikan dan menyampaikan konten digital di platform media sosial yang berisi tentang nilai-nilai luhur Pancasila yang mengajarkan tentang pentingnya membangun hidup toleransi harmonis, dan saling menghargai satu sama lain.

Dengan begitu, kita memang perlu menguasai ruang digital, semaksimal mungkin memanfaatkan platform digital. Kontra narasi dan propaganda semacam ini jauh lebih efektif apalagi jika diviralkan ke seluruh kanal jejaring sosial media.

Selain itu, upaya kontra radikalisasi dan kontra narasi-wacana melalui penyebaran narasi-narasi perdamaian dan toleransi di media sosial idealnya melibatkan kelompok pemuda sebagai garda utama dan dosen, tokoh agama serta organisasi keagamaan untuk menyebarkan pesan damai di dunia maya.

Yang juga penting sebagai masukan, adalah dibuatkan platform media online yang secara khusus memproduksi konten-konten yang bernuansa kebangsaan sebagai conuter atas narasi-narasi negatif kelompok radikal terorisme. Karena dalam konteks pencegahan tetap harus melibatkan stakeholder dan suruh elemen masyarakat. Upaya lain yang dapat dilakukan dalam konteks pencegahan paham radikalisme dan terorisme di jagat digital adalah dengan penguatan moderasi beragama sebagai strategi pencegahan terorisme.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1869 seconds (0.1#10.140)