NATO dan EU: Sejauh Apa Bantuan Mereka terhadap Ukraina?

Sabtu, 19 Maret 2022 - 11:09 WIB
loading...
A A A
Tidak ragu untuk "menggunakan kekuatan untuk mengubah keseimbangan kekuatan jika mereka pikir itu bisa dilakukan dengan harga yang wajar”. Rusia tidak puas atas dominasi AS yang ada saat ini, dan setelah berbagai peringatan yang diberikan terhadap Ukraina, maka kekuatan militer melalui invasi-lah yang dilakukan oleh Rusia. Namun faktanya untuk mempertahankan pengaruh di negara bekas Uni Soviet tidaklah semudah itu, sebab berbagai seri dari revolusi warna terjadi di wilayah ini.

Revolusi warna merupakan protes besar-besaran terhadap pemerintah yang dilakukan oleh negara-negara di wilayah bekas Uni Soviet yang terjadi di wilayah Eropa timur dan Balkan. Berbagai revolusi yang terjadi diantaranya, Rose Revolution di Georgia pada 2003, Orange Revolution di Ukraina pada 2003, Tulip Revolution di Kyrgyzstan pada 2004, dan terakhir Velvet Revolution di Armenia pada 2018. Jika ditarik kesamaan dalam revolusi warna ini, rakyat di negara tersebut ingin mengganti arah politik yang lebih demokratis.

Keinginan negara-negara ini kemudian disambut baik oleh pihak barat seperti NATO dan Uni Eropa. Dalam kasus Ukraina misalnya, berbagai upaya dilakukan oleh Uni Eropa agar arah politik negara ini berhaluan ke barat. Berbagai kerja sama dibentuk oleh UE dengan Ukraina seperti the Partnership and Cooperation Agreement pada 1994, lalu pada tahun 2004 Ukraina masuk dalam the European Neighborhood Program dan the Eastern Partnership pada tahun 2009, dan terakhir pada tahun 2014, The Association Agreement.

NATO sendiri telah memulai dialog dan kerja sama dengan Ukraina ketika negara yang baru berdiri pada 1991 ini bergabung dalam North Atlantic Cooperation Council pada 1991 dan The Partnership for Peace programme pada 1994. Hubungan diantaranya terus diperkuat dengan dibentuknya the NATO-Ukraine Commission (NUC). Kerja sama terus dilakukan dari waktu ke waktu di mana Ukraina secara aktif berkontribusi dalam operasi dan misi yang dipimpin oleh NATO. Hingga pada September 2020, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy semakin memperkuat hubungannya dengan NATO dengan dibentuknya Strategi Keamanan Nasional Baru/New National Security Strategy yang memiliki tujuan akhir untuk bergabung NATO.

Namun tampaknya serangan yang terjadi terhadap Ukraina oleh Rusia tidak serta merta secara otomatis membangunkan alarm bagi UE dan NATO untuk membantu Ukraina di bidang militer. Terlepas dari kerja sama yang telah dibangun oleh masing-masing kedua organisasi ini, UE maupun NATO harus menimbang cukup lama untuk membantu Ukraina setelah invasi dilancarkan Rusia. Lantas bantuan militer apa yang telah dilakukan oleh NATO dan UE secara langsung dalam krisis ini?

UE: Upaya Mewujudkan Kebijakan Pertahanan Eropa
Walau Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy mengatakan bahwa masuknya Ukraina dengan prosedur cepat ke Uni Eropa akan memberikan manfaat kepada negaranya, terutama dalam bidang pertahanan di mana para anggota UE setuju untuk berperang secara militer jika terdapat serangan luar terhadap salah satu negaranya. Maka, jika Ukraina berada di UE, Rusia sekarang akan menghadapi senjata besar-besaran dari Prancis, Jerman, dan lainnya, alih-alih militer Ukraina saja. Namun pada 11 Maret 2022, UE mengeluarkan pernyataan untuk tidak memproses dengan cepat keanggotaan Ukraina ke dalam UE.

Kebijakan pertahanan Eropa merupakan wacana yang sebenarnya sudah sejak lama digaungkan. Lebih dikenal dengan Kebijakan Keamanan dan Pertahanan Bersama sejak Perjanjian Lisbon pada 2007 merupakan kebijakan yang memiliki tujuan untuk memelihara perdamaian tidak hanya di wilayah Eropa namun di seluruh dunia. Jika ditilik balik upaya pertama dalam kebijakan pertahanan Eropa ini dilakukan di perang Korea, antara tahun 1950-1954, pada saat itu masih bernama Komunitas Pertahanan Eropa.

Namun perjanjian ini akhirnya tidak diratifikasi oleh ke enam negara yang terintegrasi dalam integrasi Eropa/ "Inner Six" : negara-negara Benelux (Belgia, Belanda, dan Luxemburg), Perancis, Italia, dan Jerman Barat. Berbagai krisis yang terjadi seperti di Kosovo, Afghanistan, dan Krimea membuat wacana untuk mewujudkan Kebijakan Pertahanan Eropa kembali muncul. Prancis dan Jerman melipatgandakan upaya politik gabungan mereka, khususnya dalam bentuk surat kepada sekutu Eropa mereka, untuk meluncurkan kembali gagasan memasukkan pertahanan dalam kerangka arsitektur Eropa.

Dengan adanya Kebijakan Pertahanan Eropa maka sejumlah 27 negara anggota UE memiliki proyek pertahanan bersama tentang visi yang sama menghadapi tantangan geopolitik dunia. Jika dibayangkan memang terlihat tidak realistis karena ke 27 negara anggota UE yang tentu tidak memiliki kepentingan yang sama atau memiliki tujuan ataupun definisi yang sama mengenai arti ancaman, dan juga memiliki doktrin pertahanan yang berbeda karena perbedaan historis negara masing-masing mencoba untuk merealisasikan proyek ini di ranah operasional.

Dalam hal ini, seperti apa yang dikatakan oleh Ursula Von der Leyen, Presiden Komisi Eropa, UE memiliki peran sebagai “security provider”. UE nantinya akan memiliki anggaran bersama, senjata bersama, pengadaan militer terpusat, dan institusi untuk mewujudkan perdamaian di dunia yang penuh dengan berbagai tantangan dan ancaman. Perlu diketahui saat ini tidak ada pengaturan tentara Uni Eropa dan domain pertahanan berada di bawah ranah negara-negara anggota dan wacana Kebijakan Pertahanan Eropa belum terealisasi hingga kini.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1647 seconds (0.1#10.140)