NATO dan EU: Sejauh Apa Bantuan Mereka terhadap Ukraina?

Sabtu, 19 Maret 2022 - 11:09 WIB
loading...
NATO dan EU: Sejauh Apa Bantuan Mereka terhadap Ukraina?
Pengamat Kebijakan Luar Negeri Rusia dan Resolusi Konflik di Post-Soviet Space dan Yaman, Revy Marlina DEA. Foto/SINDOnews
A A A
Revy Marlina DEA
Pengamat Kebijakan Luar Negeri Rusia dan Resolusi Konflik di Post-Soviet Space dan Yaman,
Lulusan Master bidang Diplomasi dan Negosiasi Strategik Universitas Paris Saclay
dan Hukum Internasional Universitas Grenoble Alpes.

MEMASUKI hari ke 23 invasi Rusia ke Ukraina, dunia bertanya-tanya apa yang dapat dilakukan Uni Eropa dan juga NATO dalam membantu Ukraina menghadapi Rusia. Di dunia di mana aksi multilateralisme terus digaungkan, semakin pula peran organisasi internasional dipertanyakan dalam krisis yang terjadi.

Ukraina, negara yang berbatasan langsung dengan Rusia dan Uni Eropa, sejak 24 Februari diserang oleh Rusia melalui darat maupun udara. Menurut Pemerintah Ukraina, sekitar 1,800-2,357 tewas sejak 24 Februari sampai 14 Maret 2022, jumlah yang tewas hanya mencakup Mariupol dan bukan seluruh Ukraina.

Memang terjadi serangan sebelumnya oleh Rusia di Mariupol dimana salah satu Rumah Sakit menjadi target penyerangan pada kamis 10 Maret 2022, setelah pihak Rusia mengklaim bahwa terdapat pihak ultra radikalis didalamnya. Selanjutnya, menurut PBB sebanyak hampir 3 juta orang pengungsi telah pergi meninggalkan Ukraina. Tiga negara penerima pengungsi terbesar dalam krisisi kali ini adalah: Polandia yang telah menyambut sebanyak sekitar 1.8 juta pengungsi per 15 Maret, disusul oleh Hungaria sebanyak 263.888 orang dan Slovakia sebanyak 213. 000 orang.

New York Times menyebutkan bahwa invasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina merupakan mobilisasi militer terbesar di Eropa sejak perang dunia ke 2. Kremlin memiliki alasan khusus atas invasi ini. Invasi yang disebut sebagai “operasi militer khusus” ini memiliki tujuan untuk melindungi Donbass, yang terdiri dari Kota Donetsk dan Luhansk, yang berada di timur Ukraina.

Kremlin mengumumkan "operasi militer khusus" untuk melindungi Donbas,-tempat etnis terbesar Rusia dan penutur terbesar bahasa Rusia-. Tujuan invasi ini, berdasar pada pemberitahuan oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin, adalah untuk mendemiliterisasi dan "de-Nazify" Ukraina, dimana berdasar klaim yang dibuat pemerintah Rusia adalah untuk melindungi etnis dan penutur bahasa Rusia yang terancam atas retorik anti-Rusia yang dilakukan oleh presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy.

Dunia seolah memperdebatkan akar masalah antara kedua negara ini. Apakah benar invasi yang dilakukan semata-mata untuk alasan mendemiliterisasi dan "de-Nazify" Ukraina atau terdapat alasan lain di mana yang telah lama diketahui banyak pihak adalah persaingan antara barat, baik Uni Eropa dan NATO atas Ukraina. Melihat sejarah yang ada, penulis melihat alasan mendemiliterisasi dan "de-Nazify", hanya merupakan pretext atau dalih yang dilakukan oleh Presiden Rusia.

Sudah sejak lama, semenjak runtuhnya Uni Soviet pada 1991, Putin selalu mengatakan bahwa perluasan NATO merupakan suatu ancaman dan Putin menggambarkan disintegrasi Soviet sebagai salah satu bencana terbesar abad ke-20. Setelah negara lain yang bekas Uni Soviet seperti Republik Baltik yang terdiri dari Lithuania, Latvia, dan Estonia bergabung ke NATO, begitu juga Polandia dan Romania.

Jika dilihat, memang Rusia memiliki alasan untuk khawatir, terlebih Ukraina yang walaupun belum secara resmi bergabung ke NATO, namun telah mendeklarasikan niatnya untuk bergabung dan disambut baik oleh NATO, semakin menambah kekhawatiran Rusia. Dua kepentingan Rusia terhadap Ukraina di antaranya adalah Ukraina merupakan negara yang memiliki populasi terbesar di wilayah bekas Uni-Soviet (populasi besar berarti pasar besar), yang memiliki total 44,9 juta penduduk, luas wilayah 603.700 km persegi (233.090 mil persegi), dan yang paling penting, Ukraina memiliki perbatasan dengan Rusia. Jika Barat berhasil melemparkan rezim demokrasi ke Ukraina, hal ini dikhawatirkan Rusia akan menyebarkan atau sengaja mengekspor revolusi ke negara-negara tetangga (dalam hal ini negara bekas Uni Soviet), termasuk Rusia.

Organisasi regional seperti CIS (Commonwealth Independent States), CSTO (Collective Security Treaty Organization), and (EEU) Eurasian Economic Union dibentuk oleh Rusia untuk mempertahankan pengaruhnya. Organisasi ini terbentang dari integrasi di sektor militer, politik hingga ekonomi. John Mearsheimer, dalam bukunya, The Tragedy of great power politics menyebutkan bahwa “Kekuatan besar jarang puas dengan distribusi kekuatan saat ini", sehingga kekuatan besar

Tidak ragu untuk "menggunakan kekuatan untuk mengubah keseimbangan kekuatan jika mereka pikir itu bisa dilakukan dengan harga yang wajar”. Rusia tidak puas atas dominasi AS yang ada saat ini, dan setelah berbagai peringatan yang diberikan terhadap Ukraina, maka kekuatan militer melalui invasi-lah yang dilakukan oleh Rusia. Namun faktanya untuk mempertahankan pengaruh di negara bekas Uni Soviet tidaklah semudah itu, sebab berbagai seri dari revolusi warna terjadi di wilayah ini.

Revolusi warna merupakan protes besar-besaran terhadap pemerintah yang dilakukan oleh negara-negara di wilayah bekas Uni Soviet yang terjadi di wilayah Eropa timur dan Balkan. Berbagai revolusi yang terjadi diantaranya, Rose Revolution di Georgia pada 2003, Orange Revolution di Ukraina pada 2003, Tulip Revolution di Kyrgyzstan pada 2004, dan terakhir Velvet Revolution di Armenia pada 2018. Jika ditarik kesamaan dalam revolusi warna ini, rakyat di negara tersebut ingin mengganti arah politik yang lebih demokratis.

Keinginan negara-negara ini kemudian disambut baik oleh pihak barat seperti NATO dan Uni Eropa. Dalam kasus Ukraina misalnya, berbagai upaya dilakukan oleh Uni Eropa agar arah politik negara ini berhaluan ke barat. Berbagai kerja sama dibentuk oleh UE dengan Ukraina seperti the Partnership and Cooperation Agreement pada 1994, lalu pada tahun 2004 Ukraina masuk dalam the European Neighborhood Program dan the Eastern Partnership pada tahun 2009, dan terakhir pada tahun 2014, The Association Agreement.

NATO sendiri telah memulai dialog dan kerja sama dengan Ukraina ketika negara yang baru berdiri pada 1991 ini bergabung dalam North Atlantic Cooperation Council pada 1991 dan The Partnership for Peace programme pada 1994. Hubungan diantaranya terus diperkuat dengan dibentuknya the NATO-Ukraine Commission (NUC). Kerja sama terus dilakukan dari waktu ke waktu di mana Ukraina secara aktif berkontribusi dalam operasi dan misi yang dipimpin oleh NATO. Hingga pada September 2020, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy semakin memperkuat hubungannya dengan NATO dengan dibentuknya Strategi Keamanan Nasional Baru/New National Security Strategy yang memiliki tujuan akhir untuk bergabung NATO.

Namun tampaknya serangan yang terjadi terhadap Ukraina oleh Rusia tidak serta merta secara otomatis membangunkan alarm bagi UE dan NATO untuk membantu Ukraina di bidang militer. Terlepas dari kerja sama yang telah dibangun oleh masing-masing kedua organisasi ini, UE maupun NATO harus menimbang cukup lama untuk membantu Ukraina setelah invasi dilancarkan Rusia. Lantas bantuan militer apa yang telah dilakukan oleh NATO dan UE secara langsung dalam krisis ini?

UE: Upaya Mewujudkan Kebijakan Pertahanan Eropa
Walau Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy mengatakan bahwa masuknya Ukraina dengan prosedur cepat ke Uni Eropa akan memberikan manfaat kepada negaranya, terutama dalam bidang pertahanan di mana para anggota UE setuju untuk berperang secara militer jika terdapat serangan luar terhadap salah satu negaranya. Maka, jika Ukraina berada di UE, Rusia sekarang akan menghadapi senjata besar-besaran dari Prancis, Jerman, dan lainnya, alih-alih militer Ukraina saja. Namun pada 11 Maret 2022, UE mengeluarkan pernyataan untuk tidak memproses dengan cepat keanggotaan Ukraina ke dalam UE.

Kebijakan pertahanan Eropa merupakan wacana yang sebenarnya sudah sejak lama digaungkan. Lebih dikenal dengan Kebijakan Keamanan dan Pertahanan Bersama sejak Perjanjian Lisbon pada 2007 merupakan kebijakan yang memiliki tujuan untuk memelihara perdamaian tidak hanya di wilayah Eropa namun di seluruh dunia. Jika ditilik balik upaya pertama dalam kebijakan pertahanan Eropa ini dilakukan di perang Korea, antara tahun 1950-1954, pada saat itu masih bernama Komunitas Pertahanan Eropa.

Namun perjanjian ini akhirnya tidak diratifikasi oleh ke enam negara yang terintegrasi dalam integrasi Eropa/ "Inner Six" : negara-negara Benelux (Belgia, Belanda, dan Luxemburg), Perancis, Italia, dan Jerman Barat. Berbagai krisis yang terjadi seperti di Kosovo, Afghanistan, dan Krimea membuat wacana untuk mewujudkan Kebijakan Pertahanan Eropa kembali muncul. Prancis dan Jerman melipatgandakan upaya politik gabungan mereka, khususnya dalam bentuk surat kepada sekutu Eropa mereka, untuk meluncurkan kembali gagasan memasukkan pertahanan dalam kerangka arsitektur Eropa.

Dengan adanya Kebijakan Pertahanan Eropa maka sejumlah 27 negara anggota UE memiliki proyek pertahanan bersama tentang visi yang sama menghadapi tantangan geopolitik dunia. Jika dibayangkan memang terlihat tidak realistis karena ke 27 negara anggota UE yang tentu tidak memiliki kepentingan yang sama atau memiliki tujuan ataupun definisi yang sama mengenai arti ancaman, dan juga memiliki doktrin pertahanan yang berbeda karena perbedaan historis negara masing-masing mencoba untuk merealisasikan proyek ini di ranah operasional.

Dalam hal ini, seperti apa yang dikatakan oleh Ursula Von der Leyen, Presiden Komisi Eropa, UE memiliki peran sebagai “security provider”. UE nantinya akan memiliki anggaran bersama, senjata bersama, pengadaan militer terpusat, dan institusi untuk mewujudkan perdamaian di dunia yang penuh dengan berbagai tantangan dan ancaman. Perlu diketahui saat ini tidak ada pengaturan tentara Uni Eropa dan domain pertahanan berada di bawah ranah negara-negara anggota dan wacana Kebijakan Pertahanan Eropa belum terealisasi hingga kini.

Dengan adanya krisis Ukraina yang saat ini terjadi UE semakin tersadar bahwa tantangan yang dihadapi di negara-negara tetangga semakin besar, dan sebagai organisasi regional yang ada di Eropa, UE sebenarnya melihat hal ini sebagai suatu kesempatan baru untuk meningkatkan pertahanan Eropa. Sejauh ini Uni Eropa melalui “European Peace Facility” telah membantu Ukraina sebesar 500 juta Euro untuk membiayai pengiriman peralatan militer ke Ukraina.

European Peace Facility merupakan instrumen di luar anggaran yang meningkatkan kemampuan UE untuk bertindak sebagai penyedia keamanan global, didirikan pada Maret 2021 untuk menjaga perdamaian, mencegah konflik, dan memperkuat keamanan internasional. Pembiayaan dan pengiriman senjata oleh UE ke negara dibawah invasi negara lain, dalam kasus ini Ukraina, merupakan aksi yang pertama kali yang dilakukan UE, di mana sebelumnya banyak pihak yang menganggap hal ini tabu, terlebih bantuan yang diberikan oleh UE hanya sekitar bantuan kemanusiaan.

Josep Borrel Fontellas, yang merupakan Perwakilan Tinggi Persatuan Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan UE, kemudian mengatakan UE telah setuju untuk memberikan senjata mematikan, bantuan mematikan kepada tentara Ukraina senilai 450 juta Euro paket dukungan dan 50 juta Euro lebih untuk pasokan tidak-mematikan, seperti bahan bakar dan peralatan pelindung. Memang terdapat upaya dari UE untuk membantu negara dalam krisis secara militer melalui pembiayaan dan pengiriman senjata, namun untuk mewujudkan Kebijakan Pertahanan Eropa, dengan perangkat yang telah dijelaskan sebelumnya tidaklah semudah yang dibayangkan terlebih perlu “political will” yang kuat dari negara-negara anggota.

NATO: Tidak Disetujuinya No Fly Zone, Alternatif Bantuan Apa yang Diberikan NATO terhadap Ukraina?
Banyak pihak berpendapat jika No Fly Zone diberlakukan maka, hal tersebut dapat membuka konfrontasi langsung antara Rusia dan Barat. Terlebih, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan jika pihak ketiga manapun yang mendeklarasikan No-Fly Zone, maka pihak tersebut dianggap ikut serta dalam perang kali ini.

NATO tahu betul bahwa No-Fly Zone merupakan pilihan teratas yang memiliki risiko tertinggi. Jika No-Fly Zone diterapkan maka dapat terbayangkan perang terbuka antara Rusia dan Barat tak dapat dihindari. Lantas apa yang dilakukan oleh NATO untuk membantu Ukraina?

Sebelumnya perlu diketahui dalam perang kali ini, bahwa aksi yang dilakukan NATO bersifat defensif, dalam hal ini bukan untuk mengekskalasi konflik melainkan menghindari konflik. Maka dari itu, mengirimkan tentara atau menerapkan No-Fly Zone tidak sesuai dengan prinsip NATO, terlebih Ukraina bukan anggota NATO. Dikutip dari laman resmi NATO, sejak Rusia menganeksasi Krimea.

Pada 2014 NATO telah membantu untuk melatih, mendanai dan mereformasi pasukan tentara Ukraina dan institusi pertahanannya. Di tahun 2016, upaya ini diperkuat lagi melalui Comprehensive Assistance Package, yang mencakup bantuan lebih luas termasuk didalamnya pertahanan siber, logistik dan menangkal perang hibrida.

Dalam kaitannya saat ini, yang dilakukan NATO sebagai organisasi aliansi militer, bukanlah membantu mengirimkan tentara atau senjata atas nama organisasi, melainkan menitik beratkan pada peran anggota NATO. NATO membantu untuk mengkoordinasikan apa yang diperlukan dan diminta oleh Ukraina, dan anggota NATO mengirimkan senjata, amunisi, bantuan medis, dan peralatan militer ke Ukraina. Sejauh ini AS, Perancis, Jerman, Belgia, Belanda, Portugal, Ceko, Romania, Kanada, Inggris, Spanyol dan Yunani yang merupakan anggota NATO telah mengirimkan bantuan militer sejak invasi dimulai 24 Februari 2022 lalu.

Pada akhirnya jika dilihat, tidaklah mudah bagi organisasi internasional untuk membantu secara langsung dalam kaitannya di bidang bantuan militer terhadap Ukraina. Tidak mudah untuk menyamakan persepsi mengenai arti ancaman dan kebijakan bersama apa yang harus dilakukan menghadapi invasi yang dilakukan oleh Rusia, terlebih terdapat prinsip-prinsip yang kadang kala bertentangan dan menahan organisasi-organisasi ini untuk tidak terlibat lebih jauh. Peran negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional-lah yang lagi-lagi dititikberatkan dalam hal ini.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5920 seconds (0.1#10.140)