NATO dan EU: Sejauh Apa Bantuan Mereka terhadap Ukraina?
loading...
A
A
A
Revy Marlina DEA
Pengamat Kebijakan Luar Negeri Rusia dan Resolusi Konflik di Post-Soviet Space dan Yaman,
Lulusan Master bidang Diplomasi dan Negosiasi Strategik Universitas Paris Saclay
dan Hukum Internasional Universitas Grenoble Alpes.
MEMASUKI hari ke 23 invasi Rusia ke Ukraina, dunia bertanya-tanya apa yang dapat dilakukan Uni Eropa dan juga NATO dalam membantu Ukraina menghadapi Rusia. Di dunia di mana aksi multilateralisme terus digaungkan, semakin pula peran organisasi internasional dipertanyakan dalam krisis yang terjadi.
Ukraina, negara yang berbatasan langsung dengan Rusia dan Uni Eropa, sejak 24 Februari diserang oleh Rusia melalui darat maupun udara. Menurut Pemerintah Ukraina, sekitar 1,800-2,357 tewas sejak 24 Februari sampai 14 Maret 2022, jumlah yang tewas hanya mencakup Mariupol dan bukan seluruh Ukraina.
Memang terjadi serangan sebelumnya oleh Rusia di Mariupol dimana salah satu Rumah Sakit menjadi target penyerangan pada kamis 10 Maret 2022, setelah pihak Rusia mengklaim bahwa terdapat pihak ultra radikalis didalamnya. Selanjutnya, menurut PBB sebanyak hampir 3 juta orang pengungsi telah pergi meninggalkan Ukraina. Tiga negara penerima pengungsi terbesar dalam krisisi kali ini adalah: Polandia yang telah menyambut sebanyak sekitar 1.8 juta pengungsi per 15 Maret, disusul oleh Hungaria sebanyak 263.888 orang dan Slovakia sebanyak 213. 000 orang.
New York Times menyebutkan bahwa invasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina merupakan mobilisasi militer terbesar di Eropa sejak perang dunia ke 2. Kremlin memiliki alasan khusus atas invasi ini. Invasi yang disebut sebagai “operasi militer khusus” ini memiliki tujuan untuk melindungi Donbass, yang terdiri dari Kota Donetsk dan Luhansk, yang berada di timur Ukraina.
Kremlin mengumumkan "operasi militer khusus" untuk melindungi Donbas,-tempat etnis terbesar Rusia dan penutur terbesar bahasa Rusia-. Tujuan invasi ini, berdasar pada pemberitahuan oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin, adalah untuk mendemiliterisasi dan "de-Nazify" Ukraina, dimana berdasar klaim yang dibuat pemerintah Rusia adalah untuk melindungi etnis dan penutur bahasa Rusia yang terancam atas retorik anti-Rusia yang dilakukan oleh presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy.
Dunia seolah memperdebatkan akar masalah antara kedua negara ini. Apakah benar invasi yang dilakukan semata-mata untuk alasan mendemiliterisasi dan "de-Nazify" Ukraina atau terdapat alasan lain di mana yang telah lama diketahui banyak pihak adalah persaingan antara barat, baik Uni Eropa dan NATO atas Ukraina. Melihat sejarah yang ada, penulis melihat alasan mendemiliterisasi dan "de-Nazify", hanya merupakan pretext atau dalih yang dilakukan oleh Presiden Rusia.
Sudah sejak lama, semenjak runtuhnya Uni Soviet pada 1991, Putin selalu mengatakan bahwa perluasan NATO merupakan suatu ancaman dan Putin menggambarkan disintegrasi Soviet sebagai salah satu bencana terbesar abad ke-20. Setelah negara lain yang bekas Uni Soviet seperti Republik Baltik yang terdiri dari Lithuania, Latvia, dan Estonia bergabung ke NATO, begitu juga Polandia dan Romania.
Jika dilihat, memang Rusia memiliki alasan untuk khawatir, terlebih Ukraina yang walaupun belum secara resmi bergabung ke NATO, namun telah mendeklarasikan niatnya untuk bergabung dan disambut baik oleh NATO, semakin menambah kekhawatiran Rusia. Dua kepentingan Rusia terhadap Ukraina di antaranya adalah Ukraina merupakan negara yang memiliki populasi terbesar di wilayah bekas Uni-Soviet (populasi besar berarti pasar besar), yang memiliki total 44,9 juta penduduk, luas wilayah 603.700 km persegi (233.090 mil persegi), dan yang paling penting, Ukraina memiliki perbatasan dengan Rusia. Jika Barat berhasil melemparkan rezim demokrasi ke Ukraina, hal ini dikhawatirkan Rusia akan menyebarkan atau sengaja mengekspor revolusi ke negara-negara tetangga (dalam hal ini negara bekas Uni Soviet), termasuk Rusia.
Organisasi regional seperti CIS (Commonwealth Independent States), CSTO (Collective Security Treaty Organization), and (EEU) Eurasian Economic Union dibentuk oleh Rusia untuk mempertahankan pengaruhnya. Organisasi ini terbentang dari integrasi di sektor militer, politik hingga ekonomi. John Mearsheimer, dalam bukunya, The Tragedy of great power politics menyebutkan bahwa “Kekuatan besar jarang puas dengan distribusi kekuatan saat ini", sehingga kekuatan besar
Pengamat Kebijakan Luar Negeri Rusia dan Resolusi Konflik di Post-Soviet Space dan Yaman,
Lulusan Master bidang Diplomasi dan Negosiasi Strategik Universitas Paris Saclay
dan Hukum Internasional Universitas Grenoble Alpes.
MEMASUKI hari ke 23 invasi Rusia ke Ukraina, dunia bertanya-tanya apa yang dapat dilakukan Uni Eropa dan juga NATO dalam membantu Ukraina menghadapi Rusia. Di dunia di mana aksi multilateralisme terus digaungkan, semakin pula peran organisasi internasional dipertanyakan dalam krisis yang terjadi.
Ukraina, negara yang berbatasan langsung dengan Rusia dan Uni Eropa, sejak 24 Februari diserang oleh Rusia melalui darat maupun udara. Menurut Pemerintah Ukraina, sekitar 1,800-2,357 tewas sejak 24 Februari sampai 14 Maret 2022, jumlah yang tewas hanya mencakup Mariupol dan bukan seluruh Ukraina.
Memang terjadi serangan sebelumnya oleh Rusia di Mariupol dimana salah satu Rumah Sakit menjadi target penyerangan pada kamis 10 Maret 2022, setelah pihak Rusia mengklaim bahwa terdapat pihak ultra radikalis didalamnya. Selanjutnya, menurut PBB sebanyak hampir 3 juta orang pengungsi telah pergi meninggalkan Ukraina. Tiga negara penerima pengungsi terbesar dalam krisisi kali ini adalah: Polandia yang telah menyambut sebanyak sekitar 1.8 juta pengungsi per 15 Maret, disusul oleh Hungaria sebanyak 263.888 orang dan Slovakia sebanyak 213. 000 orang.
New York Times menyebutkan bahwa invasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina merupakan mobilisasi militer terbesar di Eropa sejak perang dunia ke 2. Kremlin memiliki alasan khusus atas invasi ini. Invasi yang disebut sebagai “operasi militer khusus” ini memiliki tujuan untuk melindungi Donbass, yang terdiri dari Kota Donetsk dan Luhansk, yang berada di timur Ukraina.
Kremlin mengumumkan "operasi militer khusus" untuk melindungi Donbas,-tempat etnis terbesar Rusia dan penutur terbesar bahasa Rusia-. Tujuan invasi ini, berdasar pada pemberitahuan oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin, adalah untuk mendemiliterisasi dan "de-Nazify" Ukraina, dimana berdasar klaim yang dibuat pemerintah Rusia adalah untuk melindungi etnis dan penutur bahasa Rusia yang terancam atas retorik anti-Rusia yang dilakukan oleh presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy.
Dunia seolah memperdebatkan akar masalah antara kedua negara ini. Apakah benar invasi yang dilakukan semata-mata untuk alasan mendemiliterisasi dan "de-Nazify" Ukraina atau terdapat alasan lain di mana yang telah lama diketahui banyak pihak adalah persaingan antara barat, baik Uni Eropa dan NATO atas Ukraina. Melihat sejarah yang ada, penulis melihat alasan mendemiliterisasi dan "de-Nazify", hanya merupakan pretext atau dalih yang dilakukan oleh Presiden Rusia.
Sudah sejak lama, semenjak runtuhnya Uni Soviet pada 1991, Putin selalu mengatakan bahwa perluasan NATO merupakan suatu ancaman dan Putin menggambarkan disintegrasi Soviet sebagai salah satu bencana terbesar abad ke-20. Setelah negara lain yang bekas Uni Soviet seperti Republik Baltik yang terdiri dari Lithuania, Latvia, dan Estonia bergabung ke NATO, begitu juga Polandia dan Romania.
Jika dilihat, memang Rusia memiliki alasan untuk khawatir, terlebih Ukraina yang walaupun belum secara resmi bergabung ke NATO, namun telah mendeklarasikan niatnya untuk bergabung dan disambut baik oleh NATO, semakin menambah kekhawatiran Rusia. Dua kepentingan Rusia terhadap Ukraina di antaranya adalah Ukraina merupakan negara yang memiliki populasi terbesar di wilayah bekas Uni-Soviet (populasi besar berarti pasar besar), yang memiliki total 44,9 juta penduduk, luas wilayah 603.700 km persegi (233.090 mil persegi), dan yang paling penting, Ukraina memiliki perbatasan dengan Rusia. Jika Barat berhasil melemparkan rezim demokrasi ke Ukraina, hal ini dikhawatirkan Rusia akan menyebarkan atau sengaja mengekspor revolusi ke negara-negara tetangga (dalam hal ini negara bekas Uni Soviet), termasuk Rusia.
Organisasi regional seperti CIS (Commonwealth Independent States), CSTO (Collective Security Treaty Organization), and (EEU) Eurasian Economic Union dibentuk oleh Rusia untuk mempertahankan pengaruhnya. Organisasi ini terbentang dari integrasi di sektor militer, politik hingga ekonomi. John Mearsheimer, dalam bukunya, The Tragedy of great power politics menyebutkan bahwa “Kekuatan besar jarang puas dengan distribusi kekuatan saat ini", sehingga kekuatan besar