Muhammadiyah Nilai RUU HIP Tabrak UUD 1945
loading...
A
A
A
JAKARTA - Polemik Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasial (HIP) terus berlanjut. Bahkan poin-poin RUU HIP dinilai banyak yang bertabrakan dengan UUD 1945 dan sejumlah UU, terutama UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Penilaian tersebut berdasarkan pengkajian tahap pertama Tim Pimpinan Pusat Muhammadiyah. "Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahapan berikutnya untuk disahkan menjadi Undang-undang," ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam jumpa pers di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, kemarin.
Mu'ti mengatakan, secara hukum kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai Dasar Negara sudah sangat kuat. Landasan Perundang-undangan tentang Pancasila telah diatur di dalam TAP MPRS nomor XX/1966 juncto TAP MPR nomor V/1973, TAP MPR nomor IX/1978, dan TAP MPR nomor III/2000 beserta beberapa Undang-undang turunannya sudah sangat memadai. Dalam pasal 5 (e) UU 12/2011 dan penjelasannya disebutkan bahwa pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas kedayagunaan dan kehasilgunaan: Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. "Meniadakan atau tidak mencantumkan TAP MPRS No XXV/1966 dalam salah satu pertimbangan RUU HIP juga termasuk masalah serius, padahal dalam TAP MPRS tersebut pada poin (a) tentang menimbang secara jelas dinyatakan "Bahwa paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti hakekatnya bertentangan dengan Pancasila"," tuturnya.
Dikatakan Mu'ti, rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945. Di dalam UU 12/2011 disebutkan bahwa Pancasila adalah sumber segala sumber hukum (pasal 2) dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal 3 ayat 1). "Pancasila dengan sila-sila yang ada di dalamnya mengandung nilai-nilai fundamental yang tidak dapat dan tidak seharusnya diubah atau ditafsirkan ulang karena berpotensi menyimpang dari maksud dan pengertian yang sebenarnya serta melemahkan kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara," urainya. (Baca: Inisiator Masyumi Reborn Tolak RUU HIP)
Menurutnya, memasukkan Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang berkebudayaan ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis pidato Soekarno 1 Juni 1945 sama dengan mereduksi Pancasila rumusan final pada 18 Agustus 1945, serta mengundang kontroversi dengan mengabaikan Piagam Jakarta 22 Juni 1955 sebagai satu kesatuan rangkaian proses kesejarahan. "Kontroversi akan berkembang jika Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang berkebudayaan dimasukkan dengan alasan historis, maka 7 kata dalam Piagam Jakarta juga dapat dimasukkan ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis yang sama," paparnya.
Di dalam RUU HIP terdapat materi-materi tentang Pancasila yang bertentangan dengan rumusan Pancasila sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya pada Bab III (Pasal 5, 6, dan 7). Selain itu, terdapat banyak materi yang menyiratkan adanya satu sila yang ditempatkan lebih tinggi dari sila yang lainnya, termasuk yang mempersempit dan mengesampingkan rumusan final sila Ketuhanan Yang Maha Esa. "Materi-materi yang bermasalah tersebut secara substantif bertentangan dengan Pancasila yang setiap silanya merupakan satu kesatuan yang utuh," urainya.
Hal tersebut juga bertentangan dengan asas kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan sebagaimana diatur dalam pasal 5 (c) UU 12/2011 yang di dalam penjelasannya disebutkan bahwa pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan.
Dikatakan Mu'ti, RUU HIP mendapatkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Jika pembahasan dipaksakan untuk dilanjutkan berpotensi menimbulkan kontroversi yang kontra produktif dan membuka kembali perdebatan dan polemik ideologis dalam sejarah perumusan Pancasila yang sudah berakhir dan harus diakhiri setelah tercapai kesepakatan luhur, arif dan bijaksana dari para pendiri bangsa. "Kontroversi RUU HIP akan menguras energi bangsa dan bisa memecah belah persatuan, lebih-lebih di tengah negara dan bangsa Indonesia menghadapi pandemi Covid-19 yang sangat berat dengan segala dampaknya," katanya.
Menurutnya, tujuan Undang-undang adalah untuk menciptakan tertib sosial, kedamaian, kesejahteraan, perlindungan dan kepastian bagi setiap warga negara bukan sebaliknya. "Kedudukan Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 7/2018 sudah sangat kuat," katanya.
Karena itu, Muhammadiyah mendesak DPR untuk lebih sensitif dan akomodatif terhadap arus aspirasi terbesar masyarakat Indonesia yang menolak RUU HIP dengan tidak memaksakan diri melanjutkan pembahasan RUU HIP untuk kepentingan kelompok tertentu dan hendaknya mengutamakan persatuan dan kemajuan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. DPR maupun pemerintah dengan kewenangan yang dimilikinya memang secara politik dapat menetapkan atau memutuskan apapun dengan mengabaikan aspirasi publik. "Tetapi politik demokrasi juga meniscayakan checks and balances serta agregasi aspirasi dan kepentingan rakyat sebagai perwujudan jiwa dan semangat gotong royong dan permusyawaratan," papar Mu’ti. (Baca juga: PPP Tetap Minta Tap MPRS Larangan Komunisme Masuk di HIP)
Sementara itu Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) Fathan Subchi menilai RUU HIP memang banyak sekali kekurangan. Pihaknya siap menampung berbagai masukan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan RUU tersebut. “Kami mendengar ragam tanggapan dari publik terkait RUU HIP. Kami mengakui jika dalam RUU HIP masih banyak kekurangan untuk disempurnakan pada tahap pembahasan selanjutnya,” ujarnya.
Fathan mengatakan PKB sendiri memberikan catatan sebelum memberikan persetujuan pembahasan lanjutan RUU HIP. PKB meminta agar Rumusan UUD 1945 menjadi konsideran atau landasan dari RUU HIP karena memandang bahwa rumusan Pancasila yang dimaksud dalam RUU HIP adalah yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. “Catatan-catatan lain juga diberikan partai lain seperti dimasukannya TAP MPRS Nomor 25/1965 sebagai konsideran RUU HIP. Artinya RUU ini masih sangat dinamis untuk diperbaiki bersama pada tahapan pembahasan bersama pemerintah,” ujarnya.
Legislator dari Jawa Tengah ini berharap berbagai tanggapan di kalangan masyarakat tetap dalam koridor akal sehat. Dirinya berharap tidak ada politisasi atas RUU HIP misalnya dengan melabeli RUU ini dimaksudkan untuk membangkitkan ajaran atau orde tertentu. “Proses legislasi adalah proses alamiah dalam demokrasi. Banyak dinamika dalam tahapannya. Kami juga sangat terbuka terhadap berbagai masukan dari publik. Proses legislasi ini bisa dilanjutkan, ditunda, atau bahkan dicabut kembali oleh DPR,” katanya. (Baca juga: RUU HIP, Mahfud MD: Komunisme Dilarang di Indonesia Sudah Bersifat Final)
Wakil Ketua Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay menilai bahwa RUU HIP yang merupakan turunan dari ideologi Pancasila ini sangat riskan dilanjutkan pembahasannya karena, sampai hari ini tidak ada masalah apapun terkait Pancasila. “Pertama soal RUU HIP . Beberapa waktu yang lalu kan RUU HIP sudah disahkan untuk menjadi inisiatif DPR. Dan kalau tidak salah kan ini sudah berproses sebagaimana mekanisme yang berlaku. Namun demikian Fraksi PAN memandang masyarakat banyak yang melakukan kritik dan katakanlah semacam penolakan terhadap RUU HIP ini. Argumennya banyak sekali dan saya kira sudah banyak juga dimuat oleh media,” katanya.
“Karena menyangkut masalah ini tentu Fraksi PAN harus juga mendengar seluruh masyarakat. Pada awalnya posisi kami itu adalah akan mencabut diri atau menarik diri jika Tap MPRS 25 tahun 1966 itu tidak dimasukan ke dalam konsiderans,” ujarnya. (Abdul Rochim/Kiswondari)
Penilaian tersebut berdasarkan pengkajian tahap pertama Tim Pimpinan Pusat Muhammadiyah. "Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahapan berikutnya untuk disahkan menjadi Undang-undang," ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam jumpa pers di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, kemarin.
Mu'ti mengatakan, secara hukum kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai Dasar Negara sudah sangat kuat. Landasan Perundang-undangan tentang Pancasila telah diatur di dalam TAP MPRS nomor XX/1966 juncto TAP MPR nomor V/1973, TAP MPR nomor IX/1978, dan TAP MPR nomor III/2000 beserta beberapa Undang-undang turunannya sudah sangat memadai. Dalam pasal 5 (e) UU 12/2011 dan penjelasannya disebutkan bahwa pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas kedayagunaan dan kehasilgunaan: Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. "Meniadakan atau tidak mencantumkan TAP MPRS No XXV/1966 dalam salah satu pertimbangan RUU HIP juga termasuk masalah serius, padahal dalam TAP MPRS tersebut pada poin (a) tentang menimbang secara jelas dinyatakan "Bahwa paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti hakekatnya bertentangan dengan Pancasila"," tuturnya.
Dikatakan Mu'ti, rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945. Di dalam UU 12/2011 disebutkan bahwa Pancasila adalah sumber segala sumber hukum (pasal 2) dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal 3 ayat 1). "Pancasila dengan sila-sila yang ada di dalamnya mengandung nilai-nilai fundamental yang tidak dapat dan tidak seharusnya diubah atau ditafsirkan ulang karena berpotensi menyimpang dari maksud dan pengertian yang sebenarnya serta melemahkan kedudukan Pancasila sebagai Dasar Negara," urainya. (Baca: Inisiator Masyumi Reborn Tolak RUU HIP)
Menurutnya, memasukkan Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang berkebudayaan ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis pidato Soekarno 1 Juni 1945 sama dengan mereduksi Pancasila rumusan final pada 18 Agustus 1945, serta mengundang kontroversi dengan mengabaikan Piagam Jakarta 22 Juni 1955 sebagai satu kesatuan rangkaian proses kesejarahan. "Kontroversi akan berkembang jika Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang berkebudayaan dimasukkan dengan alasan historis, maka 7 kata dalam Piagam Jakarta juga dapat dimasukkan ke dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis yang sama," paparnya.
Di dalam RUU HIP terdapat materi-materi tentang Pancasila yang bertentangan dengan rumusan Pancasila sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya pada Bab III (Pasal 5, 6, dan 7). Selain itu, terdapat banyak materi yang menyiratkan adanya satu sila yang ditempatkan lebih tinggi dari sila yang lainnya, termasuk yang mempersempit dan mengesampingkan rumusan final sila Ketuhanan Yang Maha Esa. "Materi-materi yang bermasalah tersebut secara substantif bertentangan dengan Pancasila yang setiap silanya merupakan satu kesatuan yang utuh," urainya.
Hal tersebut juga bertentangan dengan asas kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan sebagaimana diatur dalam pasal 5 (c) UU 12/2011 yang di dalam penjelasannya disebutkan bahwa pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan.
Dikatakan Mu'ti, RUU HIP mendapatkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Jika pembahasan dipaksakan untuk dilanjutkan berpotensi menimbulkan kontroversi yang kontra produktif dan membuka kembali perdebatan dan polemik ideologis dalam sejarah perumusan Pancasila yang sudah berakhir dan harus diakhiri setelah tercapai kesepakatan luhur, arif dan bijaksana dari para pendiri bangsa. "Kontroversi RUU HIP akan menguras energi bangsa dan bisa memecah belah persatuan, lebih-lebih di tengah negara dan bangsa Indonesia menghadapi pandemi Covid-19 yang sangat berat dengan segala dampaknya," katanya.
Menurutnya, tujuan Undang-undang adalah untuk menciptakan tertib sosial, kedamaian, kesejahteraan, perlindungan dan kepastian bagi setiap warga negara bukan sebaliknya. "Kedudukan Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 7/2018 sudah sangat kuat," katanya.
Karena itu, Muhammadiyah mendesak DPR untuk lebih sensitif dan akomodatif terhadap arus aspirasi terbesar masyarakat Indonesia yang menolak RUU HIP dengan tidak memaksakan diri melanjutkan pembahasan RUU HIP untuk kepentingan kelompok tertentu dan hendaknya mengutamakan persatuan dan kemajuan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. DPR maupun pemerintah dengan kewenangan yang dimilikinya memang secara politik dapat menetapkan atau memutuskan apapun dengan mengabaikan aspirasi publik. "Tetapi politik demokrasi juga meniscayakan checks and balances serta agregasi aspirasi dan kepentingan rakyat sebagai perwujudan jiwa dan semangat gotong royong dan permusyawaratan," papar Mu’ti. (Baca juga: PPP Tetap Minta Tap MPRS Larangan Komunisme Masuk di HIP)
Sementara itu Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) Fathan Subchi menilai RUU HIP memang banyak sekali kekurangan. Pihaknya siap menampung berbagai masukan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan RUU tersebut. “Kami mendengar ragam tanggapan dari publik terkait RUU HIP. Kami mengakui jika dalam RUU HIP masih banyak kekurangan untuk disempurnakan pada tahap pembahasan selanjutnya,” ujarnya.
Fathan mengatakan PKB sendiri memberikan catatan sebelum memberikan persetujuan pembahasan lanjutan RUU HIP. PKB meminta agar Rumusan UUD 1945 menjadi konsideran atau landasan dari RUU HIP karena memandang bahwa rumusan Pancasila yang dimaksud dalam RUU HIP adalah yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. “Catatan-catatan lain juga diberikan partai lain seperti dimasukannya TAP MPRS Nomor 25/1965 sebagai konsideran RUU HIP. Artinya RUU ini masih sangat dinamis untuk diperbaiki bersama pada tahapan pembahasan bersama pemerintah,” ujarnya.
Legislator dari Jawa Tengah ini berharap berbagai tanggapan di kalangan masyarakat tetap dalam koridor akal sehat. Dirinya berharap tidak ada politisasi atas RUU HIP misalnya dengan melabeli RUU ini dimaksudkan untuk membangkitkan ajaran atau orde tertentu. “Proses legislasi adalah proses alamiah dalam demokrasi. Banyak dinamika dalam tahapannya. Kami juga sangat terbuka terhadap berbagai masukan dari publik. Proses legislasi ini bisa dilanjutkan, ditunda, atau bahkan dicabut kembali oleh DPR,” katanya. (Baca juga: RUU HIP, Mahfud MD: Komunisme Dilarang di Indonesia Sudah Bersifat Final)
Wakil Ketua Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay menilai bahwa RUU HIP yang merupakan turunan dari ideologi Pancasila ini sangat riskan dilanjutkan pembahasannya karena, sampai hari ini tidak ada masalah apapun terkait Pancasila. “Pertama soal RUU HIP . Beberapa waktu yang lalu kan RUU HIP sudah disahkan untuk menjadi inisiatif DPR. Dan kalau tidak salah kan ini sudah berproses sebagaimana mekanisme yang berlaku. Namun demikian Fraksi PAN memandang masyarakat banyak yang melakukan kritik dan katakanlah semacam penolakan terhadap RUU HIP ini. Argumennya banyak sekali dan saya kira sudah banyak juga dimuat oleh media,” katanya.
“Karena menyangkut masalah ini tentu Fraksi PAN harus juga mendengar seluruh masyarakat. Pada awalnya posisi kami itu adalah akan mencabut diri atau menarik diri jika Tap MPRS 25 tahun 1966 itu tidak dimasukan ke dalam konsiderans,” ujarnya. (Abdul Rochim/Kiswondari)
(ysw)