Meneguhkan Indonesia Berdasarkan Pancasila yang Asli
loading...
A
A
A
M Cholil Nafis
Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah, Depok
RANCANGAN UU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menuai polemik tak kalah seru dari masalah pandemi Covid-19 . Masyarakat seakan lupa tentang penyakit mematikan sehingga lebih banyak fokus pada soal RUU yang akan mematikan dasar negara Indonesia.
Semua ormas Islam sepakat bahwa RUU HIP cacat hukum dan cacat interpretasi. Bahwa RUU HIP perspektifnya dan tafsirnya tak sesuai dengan dasar negara Indonesia. Ia punya haluan sendiri yang berbeda dengan polok-pokok haluan Pancasila yang original. Ada tiga hal pokok dan mendasar yang fatal dari RUU tersebut. (Baca juga: Maklumat MUI: Tolak RUU HIP, Waspada Penyebaran Paham Komunis)
Pertama, konsiderang itu tak memuat TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme. Padahal inilah dasar utama dalam membicarakan bagaimana pancasila menjaga titik persatuan dan menolak kekejamam.
Tak mungkin akan bicara ideologi Pancasila tanpa berpijak pada sejarah dimana Pancasila pernah dicoba untuk diganti dengan komunisme. Peristiwa itulah yang melahirkan peringatan hari kesaktian Pancasila. Itulah sejarah bangsa yang mempertahankan ideologi Pancasila sebaga titik temu (kalimatu sawa’) para anak bangsa.
Kedua, RUU HIP pada pasal 7 ayat 2 berbunyi, “.... ketuhanan yang berkebudayaan”. Frase ini sungguh dilematis karena mengganti nilai-nilai ilahiyah dan fundamental keyakinan masyarakat yang transenden dan sakral dengan nilai kebudayaan manusia yang relatif dan provan.
Frase itu pasti tak akan berujung polemiknya. Sebab umat Islam yang telah rela menghapus Piagam Jakarta saat pendirian bangsa ini tak akan rela melepaskan kata sakral di sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab frase pasal 7 RUU HIP itu berpotensi mengubah negara ini berputar haluan jadi negara sekuler.
Ketiga, memeras Pancasila menjadi tri atau ekasila menjadi bertentangan dengan Pancasila yang seutuhnya. Sebab negara ini hanya bertitik tekan pada masalah sosial dan politik. Bahkan hanya fokus pada soal gotong royong.
Padahal negara ini meliputi banyak hal untuk dijiwai oleh Pancasila, bhineka dari aspek keagamaan, kesukuan, dan kemasyarakat menjadi tunggal ika. Aspek pertahanan dan keamanan harus dijawai oleh Pancasila. Bahwa tak sejengkal pun negeri ini tak boleh dicaplok dan dikuasai oleh negara lain. Kedaulatan negara dan seisi alam kekayaannya harus dikuasai oleh negara.
Akibat ketidakcakapan drafting RUU HIP dalam melihat dan merasakan denyut nadi kebangsaan Indonesia dan pokok-pokok isi Pancasila maka telah memancing gejolak umat dan ormas Islam. Semua ormas mendeklarasikan penolakan darft RUU HIP ini dengan berbagai argumentasinya. Bahkan pemerintah melalui suara Menkopolhukam punya persepsi yang sama utk mengubah dan mungkin bahkan menolaknya jika RUU itu hendak akan diteruskan dalam pembahasan.
Saya pribadi berpendapat, bahwa yang namanya RUU itu pasti tidak sempurna dan pada saat pembahasannya pasti akan mengalami banyak perubahan. Sekarang saja yang masih dalam pembahan RUU telah mendapat tanggapan dari pihak DPR yang berinisiatif mengajukan RUU HIP ini sudah membuka diri untuk memasukan TAP XXV/MPRS/1966 ke dalam konsideran RUU HIP, menghapus pasal 7 dan mengubah pasal-pasal lain yang perlu diseauaikan.
Namun RUU HIP ini sudah memancing kecurigaan antaranak bangsa sehingga berpotensi jadi perpecahan. Urgensinya pun belum pada taraf darurat karena kita sudah punya perangkat konstitusi dan beberapa TAP MPR yang bisa menjadi acuan hidup berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila. Maka RUU HIP ini seharusnya ditunda pembahasannya atau sama sekali dihapuskan pembahasannya di masa yang akan datang.
Perlu langkah konsolidasi antar anak bangsa untuk bersama menjaga NKRI berdasarkan Pancasila dan menolak ideologi lain seperti komunis dan marxisme. Dalam waktu dekat seluruh komponen bangsa perlu melakukan pertemuan. Seperti NU, Muhammadiyah dan antara ormas Islam denga pemerintah untuk membangun soliditas menjaga persatuan dan merawat negara bwrdasarkan Pancasila.
Lihat Juga: Menelaah Perlawanan Warga Dago Elos Bandung dalam Perspektif Teori Manajemen Konflik Komunikasi
Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah, Depok
RANCANGAN UU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menuai polemik tak kalah seru dari masalah pandemi Covid-19 . Masyarakat seakan lupa tentang penyakit mematikan sehingga lebih banyak fokus pada soal RUU yang akan mematikan dasar negara Indonesia.
Semua ormas Islam sepakat bahwa RUU HIP cacat hukum dan cacat interpretasi. Bahwa RUU HIP perspektifnya dan tafsirnya tak sesuai dengan dasar negara Indonesia. Ia punya haluan sendiri yang berbeda dengan polok-pokok haluan Pancasila yang original. Ada tiga hal pokok dan mendasar yang fatal dari RUU tersebut. (Baca juga: Maklumat MUI: Tolak RUU HIP, Waspada Penyebaran Paham Komunis)
Pertama, konsiderang itu tak memuat TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme. Padahal inilah dasar utama dalam membicarakan bagaimana pancasila menjaga titik persatuan dan menolak kekejamam.
Tak mungkin akan bicara ideologi Pancasila tanpa berpijak pada sejarah dimana Pancasila pernah dicoba untuk diganti dengan komunisme. Peristiwa itulah yang melahirkan peringatan hari kesaktian Pancasila. Itulah sejarah bangsa yang mempertahankan ideologi Pancasila sebaga titik temu (kalimatu sawa’) para anak bangsa.
Kedua, RUU HIP pada pasal 7 ayat 2 berbunyi, “.... ketuhanan yang berkebudayaan”. Frase ini sungguh dilematis karena mengganti nilai-nilai ilahiyah dan fundamental keyakinan masyarakat yang transenden dan sakral dengan nilai kebudayaan manusia yang relatif dan provan.
Frase itu pasti tak akan berujung polemiknya. Sebab umat Islam yang telah rela menghapus Piagam Jakarta saat pendirian bangsa ini tak akan rela melepaskan kata sakral di sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab frase pasal 7 RUU HIP itu berpotensi mengubah negara ini berputar haluan jadi negara sekuler.
Ketiga, memeras Pancasila menjadi tri atau ekasila menjadi bertentangan dengan Pancasila yang seutuhnya. Sebab negara ini hanya bertitik tekan pada masalah sosial dan politik. Bahkan hanya fokus pada soal gotong royong.
Padahal negara ini meliputi banyak hal untuk dijiwai oleh Pancasila, bhineka dari aspek keagamaan, kesukuan, dan kemasyarakat menjadi tunggal ika. Aspek pertahanan dan keamanan harus dijawai oleh Pancasila. Bahwa tak sejengkal pun negeri ini tak boleh dicaplok dan dikuasai oleh negara lain. Kedaulatan negara dan seisi alam kekayaannya harus dikuasai oleh negara.
Akibat ketidakcakapan drafting RUU HIP dalam melihat dan merasakan denyut nadi kebangsaan Indonesia dan pokok-pokok isi Pancasila maka telah memancing gejolak umat dan ormas Islam. Semua ormas mendeklarasikan penolakan darft RUU HIP ini dengan berbagai argumentasinya. Bahkan pemerintah melalui suara Menkopolhukam punya persepsi yang sama utk mengubah dan mungkin bahkan menolaknya jika RUU itu hendak akan diteruskan dalam pembahasan.
Saya pribadi berpendapat, bahwa yang namanya RUU itu pasti tidak sempurna dan pada saat pembahasannya pasti akan mengalami banyak perubahan. Sekarang saja yang masih dalam pembahan RUU telah mendapat tanggapan dari pihak DPR yang berinisiatif mengajukan RUU HIP ini sudah membuka diri untuk memasukan TAP XXV/MPRS/1966 ke dalam konsideran RUU HIP, menghapus pasal 7 dan mengubah pasal-pasal lain yang perlu diseauaikan.
Namun RUU HIP ini sudah memancing kecurigaan antaranak bangsa sehingga berpotensi jadi perpecahan. Urgensinya pun belum pada taraf darurat karena kita sudah punya perangkat konstitusi dan beberapa TAP MPR yang bisa menjadi acuan hidup berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila. Maka RUU HIP ini seharusnya ditunda pembahasannya atau sama sekali dihapuskan pembahasannya di masa yang akan datang.
Perlu langkah konsolidasi antar anak bangsa untuk bersama menjaga NKRI berdasarkan Pancasila dan menolak ideologi lain seperti komunis dan marxisme. Dalam waktu dekat seluruh komponen bangsa perlu melakukan pertemuan. Seperti NU, Muhammadiyah dan antara ormas Islam denga pemerintah untuk membangun soliditas menjaga persatuan dan merawat negara bwrdasarkan Pancasila.
Lihat Juga: Menelaah Perlawanan Warga Dago Elos Bandung dalam Perspektif Teori Manajemen Konflik Komunikasi
(poe)