Antisipasi Meluasnya Instabilitas Global
loading...
A
A
A
Pertama, pentingnya mengelola fungsi diplomasi dan komunikasi politik, dalam konteks bilateral maupun multilateral antar-negara, utamanya dalam konteks relasi yang telah memiliki akar sejarah konflik masa lalu yang panjang.
Dalam perspektif paradigma konstruktivisme dalam studi hubungan internasional, konflik dan perang tidak jarang yang dipicu oleh akar komunikasi yang tidak selesai, sehingga mengokohkan ide, persepsi, hingga stereotype atas “identitas” kepentingan sosial, ekonomi dan politik masa lalu, yang akhirnya bisa menyulut konflik dan perang dalam skala besar.
Artinya, ketika fungsi diplomasi dan komunikasi politik publik tidak tergarap secara optimal, maka garis konflik masa lalu antara Rusia dan Ukraina akan jauh lebih mudah tersulut oleh percikan kalkulasi kepentingan nasional masing-masing negara, yang barangkali sudah tidak lagi rasional.
Akibatnya, keuntungan yang diperoleh dari jalan perang dianggap lebih besar daripada harga yang harus dikeluarkan, terlepas pihak mana yang nanti menjadi pemenangnya. Dalam ruang konfliktual, manusia dan negara tidak lagi menjadi aktor yang rasional.
Kedua, lebih berhati-hati agar tidak terjebak dalam bias kalkulasi kepentingan strategis. Dalam konteks ini, kejernihan menimbang dan mengkalkulasikan strategi pencapaian kepentingan nasional, sangat ditentukan oleh kompleksitas aktor yang terlibat. Artinya, tingginya kepercayaan diri Ukraina dalam menghadapi Rusia tentu tidak lepas dari ekosistem kekuatan yang mengelilinginya, khususnya keterlibatan NATO dan juga Amerika Serikat sendiri yang menjanjikan aliansi dukungan pertahanan yang kuat sebagai back up kekuatan.
Akibat kompleksitas aktor, sikap saling tuding terkait “siapa yang memulai”, “benarkah penarikan pasukan telah dilakukan”, “siapakah yang bisa dipercaya”, terus membayangi komunikasi hingga menghasilkan political distrust. Akibatnya, langkah-langkah mitigasi dalam upaya menghadirkan resolusi konflik dan manajemen perdamaian kawasan menjadi gagal.
Ketiga, pentingnya mengelola “ego kekuasaan” yang dimainkan oleh elit politik, pemerintahan, atau negara. Dalam konteks ini, konflik yang selanjutnya tersulut menjadi perang terbuka seringkali tidak lepas dari hadirnya sosok pemimpin yang meledak-ledak, tidak mudah diterka (erratic leader), memiliki ego yang tinggi, serta kadang menikmati hadirnya atmosfer ketegangan hingga perang (warlike leader).
Untuk mengendalilkan jenis kepemimpinan seperti ini, maka hadirnya sistem checking and balancing dalam ruang demokrasi yang sehat, sangatlah dibutuhkan. Jika koreksi dan pengawasan kepada setiap langkah strategis pemimpin bisa dilakukan, maka upaya penciptaan perdamaian akan semakin feasible untuk diwujudkan.
Antisipasi Perluasan
Belajar dari ketiga hal di atas, Indonesia harus mengantisipasi agar ancaman instabilitas ini tidak berpindah ke kawasan Asia Tenggara. Tentu kita memahami bersama, ada sejumlah kekuatan besar yang sedang berusaha mengonsolidasikan kekuatan mereka di kawasan Indo-Pasifik.
Upaya konsolidasi kekuatan itu salah satunya ditandai oleh hadirnya deklarasi pakta pertahanan Australia, United Kingdom dan United States of America (AUKUS) pada September 2021 lalu. Telah menjadi rahasia umum, pakta pertahanan AUKUS ini dihadirkan sebagai upaya perimbangan kekuatan terhadap China yang semakin mengokohkan pengaruh dan kekuatan ekonomi-politik serta pertahanannya di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik secara general.
Dalam perspektif paradigma konstruktivisme dalam studi hubungan internasional, konflik dan perang tidak jarang yang dipicu oleh akar komunikasi yang tidak selesai, sehingga mengokohkan ide, persepsi, hingga stereotype atas “identitas” kepentingan sosial, ekonomi dan politik masa lalu, yang akhirnya bisa menyulut konflik dan perang dalam skala besar.
Artinya, ketika fungsi diplomasi dan komunikasi politik publik tidak tergarap secara optimal, maka garis konflik masa lalu antara Rusia dan Ukraina akan jauh lebih mudah tersulut oleh percikan kalkulasi kepentingan nasional masing-masing negara, yang barangkali sudah tidak lagi rasional.
Akibatnya, keuntungan yang diperoleh dari jalan perang dianggap lebih besar daripada harga yang harus dikeluarkan, terlepas pihak mana yang nanti menjadi pemenangnya. Dalam ruang konfliktual, manusia dan negara tidak lagi menjadi aktor yang rasional.
Kedua, lebih berhati-hati agar tidak terjebak dalam bias kalkulasi kepentingan strategis. Dalam konteks ini, kejernihan menimbang dan mengkalkulasikan strategi pencapaian kepentingan nasional, sangat ditentukan oleh kompleksitas aktor yang terlibat. Artinya, tingginya kepercayaan diri Ukraina dalam menghadapi Rusia tentu tidak lepas dari ekosistem kekuatan yang mengelilinginya, khususnya keterlibatan NATO dan juga Amerika Serikat sendiri yang menjanjikan aliansi dukungan pertahanan yang kuat sebagai back up kekuatan.
Akibat kompleksitas aktor, sikap saling tuding terkait “siapa yang memulai”, “benarkah penarikan pasukan telah dilakukan”, “siapakah yang bisa dipercaya”, terus membayangi komunikasi hingga menghasilkan political distrust. Akibatnya, langkah-langkah mitigasi dalam upaya menghadirkan resolusi konflik dan manajemen perdamaian kawasan menjadi gagal.
Ketiga, pentingnya mengelola “ego kekuasaan” yang dimainkan oleh elit politik, pemerintahan, atau negara. Dalam konteks ini, konflik yang selanjutnya tersulut menjadi perang terbuka seringkali tidak lepas dari hadirnya sosok pemimpin yang meledak-ledak, tidak mudah diterka (erratic leader), memiliki ego yang tinggi, serta kadang menikmati hadirnya atmosfer ketegangan hingga perang (warlike leader).
Untuk mengendalilkan jenis kepemimpinan seperti ini, maka hadirnya sistem checking and balancing dalam ruang demokrasi yang sehat, sangatlah dibutuhkan. Jika koreksi dan pengawasan kepada setiap langkah strategis pemimpin bisa dilakukan, maka upaya penciptaan perdamaian akan semakin feasible untuk diwujudkan.
Antisipasi Perluasan
Belajar dari ketiga hal di atas, Indonesia harus mengantisipasi agar ancaman instabilitas ini tidak berpindah ke kawasan Asia Tenggara. Tentu kita memahami bersama, ada sejumlah kekuatan besar yang sedang berusaha mengonsolidasikan kekuatan mereka di kawasan Indo-Pasifik.
Upaya konsolidasi kekuatan itu salah satunya ditandai oleh hadirnya deklarasi pakta pertahanan Australia, United Kingdom dan United States of America (AUKUS) pada September 2021 lalu. Telah menjadi rahasia umum, pakta pertahanan AUKUS ini dihadirkan sebagai upaya perimbangan kekuatan terhadap China yang semakin mengokohkan pengaruh dan kekuatan ekonomi-politik serta pertahanannya di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik secara general.