Antisipasi Meluasnya Instabilitas Global
loading...
A
A
A
Ahmad Khoirul Umam
Dosen Ilmu Politik & Internatonal Studies, Universitas Paramadina
Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Jakarta
Tekan ekonomi global akibat pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir ini ternyata tidak menyurutkan tensi hubungan antar-kekuatan besar di dunia internasional. Setelah berminggu-minggu ketegangan relasi konfliktual antara Rusia dan Ukraina mampu ditahan, pada Kamis (24/02/) perang akhirnya pecah dan tersulut juga.
Anatomi konflik Rusia dan Ukraina ini tidak lepas dari “ego kekuasaan” dari masing-masing negara, yang tidak ingin dipandang sebelah mata dan diremehkan. Ketegangan antara Rusia dan Ukraina tak lepas dari sejarah panjang luka hubungan masa lalu, yang semula merupakan wilayah kesatuan teritorial yang tunggal lalu berujung pada pemisahan negara pasca-hancurnya Uni Soviet di akhir masa Perang Dingin tahun 1990-an.
Perbedaan “ide” dan “identitas nasionalisme” itu kemudian terus berkembang, hingga memunculkan sejumlah percikan api besar konflik lanjutan, yang ditandai oleh aneksasi Semenanjung Krimea oleh Rusia pada 2014 lalu.
Pasca aneksasi Krimea, pertahanan keamanan Ukraina juga terus diuji oleh instabilitas yang diciptakan oleh gerakan separatisme wilayah Timur, utamanya yang terus bergejolak di titik kota Donetsk dan Luhanks.
Kedua kota di wilayah Donbask inilah yang kemudian memicu “adu mulut” dan sikap saling tuding selanjutnya, yang tidak hanya melibatkan Rusia dan Ukraina, namun juga melibatkan kekuatan Barat, khususnya Amerika Serikat.
Dalam konteks ini, Barat dan Ukraina melancarkan tudingan bahwa Rusia adalah pihak yang mempersenjatai dan bertanggung jawab di balik gerakan separatisme tersebut. Merespons kondisi itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky terus melakukan lobi-lobi internasional dengan back up Amerika Serikat, agar menjadi bagian North Atlantic Treaty Organization (NATO).
Rencana keanggotaan Ukraina dalam organisasi pakta pertahanan Atlantik Utara inilah yang diharapkan bisa menghadirkan perlindungan pertahanan dan stabilitas keamanan yang memadai untuk menghadapi kekuatan dan kedigdayaan Rusia (balance of power). Bahkan, proposal keanggotaan itu juga sedianya ditindaklanjuti oleh rencana pendirian pangkalan militer NATO di perbatasan kedua negara.
Hal inilah yang kemudian memicu kemarahan besar Presiden Rusia Vladimir Putin hingga mendeklarasikan operasi militer yang berujung pada pecahnya perang besar di awal 2022 ini. Bahkan, besarnya kemarahan Rusia itu bisa dilihat dari target serangan yang langsung tidak hanya menjangkau wilayah peripheral, tetapi juga menyasar Kiev, ibu kota Ukraina, yang notabene merupakan Centre of Gravity (COG) dari kekuatan fundamental Ukraina di bidang politik, ekonomi dan juga pertahanan-keamanan negaranya.
Akar Konfliktual
Berlajar dari anatomi konflik Rusia-Ukraina, kita bisa memahami bahwa terdapat sejumlah faktor utama yang patut diantisipasi bersama, agar setiap akar konflik-konflik di berbagai kawasan dapat senantiasa terkelola dan tidak berujung pada benturan antar kekuatan yang menciptakan instabilitas keamanan global.
Dosen Ilmu Politik & Internatonal Studies, Universitas Paramadina
Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Jakarta
Tekan ekonomi global akibat pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir ini ternyata tidak menyurutkan tensi hubungan antar-kekuatan besar di dunia internasional. Setelah berminggu-minggu ketegangan relasi konfliktual antara Rusia dan Ukraina mampu ditahan, pada Kamis (24/02/) perang akhirnya pecah dan tersulut juga.
Anatomi konflik Rusia dan Ukraina ini tidak lepas dari “ego kekuasaan” dari masing-masing negara, yang tidak ingin dipandang sebelah mata dan diremehkan. Ketegangan antara Rusia dan Ukraina tak lepas dari sejarah panjang luka hubungan masa lalu, yang semula merupakan wilayah kesatuan teritorial yang tunggal lalu berujung pada pemisahan negara pasca-hancurnya Uni Soviet di akhir masa Perang Dingin tahun 1990-an.
Perbedaan “ide” dan “identitas nasionalisme” itu kemudian terus berkembang, hingga memunculkan sejumlah percikan api besar konflik lanjutan, yang ditandai oleh aneksasi Semenanjung Krimea oleh Rusia pada 2014 lalu.
Pasca aneksasi Krimea, pertahanan keamanan Ukraina juga terus diuji oleh instabilitas yang diciptakan oleh gerakan separatisme wilayah Timur, utamanya yang terus bergejolak di titik kota Donetsk dan Luhanks.
Kedua kota di wilayah Donbask inilah yang kemudian memicu “adu mulut” dan sikap saling tuding selanjutnya, yang tidak hanya melibatkan Rusia dan Ukraina, namun juga melibatkan kekuatan Barat, khususnya Amerika Serikat.
Dalam konteks ini, Barat dan Ukraina melancarkan tudingan bahwa Rusia adalah pihak yang mempersenjatai dan bertanggung jawab di balik gerakan separatisme tersebut. Merespons kondisi itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky terus melakukan lobi-lobi internasional dengan back up Amerika Serikat, agar menjadi bagian North Atlantic Treaty Organization (NATO).
Rencana keanggotaan Ukraina dalam organisasi pakta pertahanan Atlantik Utara inilah yang diharapkan bisa menghadirkan perlindungan pertahanan dan stabilitas keamanan yang memadai untuk menghadapi kekuatan dan kedigdayaan Rusia (balance of power). Bahkan, proposal keanggotaan itu juga sedianya ditindaklanjuti oleh rencana pendirian pangkalan militer NATO di perbatasan kedua negara.
Hal inilah yang kemudian memicu kemarahan besar Presiden Rusia Vladimir Putin hingga mendeklarasikan operasi militer yang berujung pada pecahnya perang besar di awal 2022 ini. Bahkan, besarnya kemarahan Rusia itu bisa dilihat dari target serangan yang langsung tidak hanya menjangkau wilayah peripheral, tetapi juga menyasar Kiev, ibu kota Ukraina, yang notabene merupakan Centre of Gravity (COG) dari kekuatan fundamental Ukraina di bidang politik, ekonomi dan juga pertahanan-keamanan negaranya.
Akar Konfliktual
Berlajar dari anatomi konflik Rusia-Ukraina, kita bisa memahami bahwa terdapat sejumlah faktor utama yang patut diantisipasi bersama, agar setiap akar konflik-konflik di berbagai kawasan dapat senantiasa terkelola dan tidak berujung pada benturan antar kekuatan yang menciptakan instabilitas keamanan global.