Menuju Luar Negeri Tanpa Paspor

Rabu, 16 Februari 2022 - 12:03 WIB
loading...
Menuju Luar Negeri Tanpa Paspor
Romanio Bahama Lazuardy, Pranata Humas Badan Informasi Geospasial. Foto/Istimewa
A A A
Romanio Bahama Lazuardy
Pranata Humas Badan Informasi Geospasial

Perjalanan Survei Batas, Perjalanan Menegaskan Kedaulatan Negara
Hari kian siang. Satu per satu penumpang memasuki perut pesawat. Mereka memilih dan menempati kursi, sesuai nomor urut yang tercetak pada tiket daring. Sementara, deru mesin bergemuruh di luar badan pesawat, cuaca terasa makin terik. Burung besi itu saya tumpangi menuju Bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sebuah perjalanan yang saya lakukan bersama rombongan surveyor dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Lewat tulisan ini, saya goreskan beberapa catatan perjalanan, sebagai kesaksian langsung, kegiatan penegasan batas antara Negara Republik Indonesia dengan Republik Demokratik Timor Leste .

Pandemi Covid-19 masih berlangsung. Tentu saja keadaan ini membersitkan rasa khawatir saya maupun para surveyor, dalam perjalanan itu. Walaupun protokol kesehatan kami terapkan dengan ketat, tetap saja muncul satu tanya: apakah kami bisa pulang dalam keadaan sehat, tanpa tertular virus Covid-19? Harapannya, semua berlangsung baik.

Perjalanan dengan pesawat terhitung panjang. Enam jam kami ada di udara. Dan ketika pada akhirnya kami mendarat di Bandara El Tari-Kupang, perjalanan harus dilanjutkan melalui darat menuju Kota Kefamenanu. Di tempat inilah kami menginap selama survei. Enam jam perjalanan darat, kembali harus kami tempuh menuju kota itu. Tentu saja, kesempatan meregangkan persendian setelah penerbangan, belum kami nikmati sepenuhnya. Dari dalam mobil, jalan aspal yang meliuk-liuk dan pemandangan pegunungan pasir bebatuan Karst, menemani kami. Banyak tanya yang terlontar di benak saya, serumit apa pelaksanaan penegasan batas dengan negara tetangga ?

Dari Tim Unit Teknis Pusat Pemetaan Batas Wilayah BIG, diperoleh penjelasan: penegasan batas bukan hanya membutuhkan kemampuan teknis pemetaan di lapangan. Aktivitas ini juga membutuhkan kemampuan negosiasi yang piawai. Tujuannya, kedaulatan Indonesia yang terwujud berupa batas antar negara, dapat terjaga, tak kurang sejengkal pun.

Perjalanan, tak kurang dari enam jam berakhir, saat saya dan rombongan menyaksikan sebuah pilar batas. Ini artinya pula, rombongan tim survei BIG telah memasuki Kota Kefamenanu. Terasa suasana kota kecil yang lengang nyaris sepi, walaupun malam belum terlalu larut. Tentu ini berbeda dengan Jakarta, kota yang tak pernah larut dalam sepi.

Perjalanan Menuju Oepoli: Penemuan Bukit Cinta
Keesokan harinya, selepas sarapan kami bergegas menuju tempat kegiatan survei, yaitu Pos Lintas Batas (PLB) Oepoli Sungai, Satgas Pamtas RI – RDTL (Republik Indonesia – Republik Demokrasi Timor Leste) Yonarmed 6. Perjalanan hanya membutuhkan waktu tempuh dua setengah jam. Namun itu sama sekali bukan perjalanan yang ringan. Medan yang harus dilalui tak akan semudah perjalanan sehari sebelumnya. Jalan belum beraspal, hingga suara batu-batuan yang tergilas double gardan mobil kami, terdengar jelas. Namun demikian, beratnya perjalanan terobati oleh eloknya pemandangan pegunungan yang memesona. Walaupun semuanya hanya pemandangan dari balik jendela mobil, bonus healing dari pemandangan itu, sangat terasa pengaruhnya bagi jiwa . Suasana tanpa hiruk-pikuk dan terburu-buru layaknya kehidupan kota, melambatkan ritme kehidupan. Tak lama kemudian tibalah kami di sebuah bukit. Istimewanya, bukit ini diberi julukan sebagai “Bukit Cinta” oleh warga maupun pasukan TNI. Posisinya yang cukup tinggi memungkinkan sinyal telepon tertangkap dengan baik. Karenanya, warga maupun pasukan TNI yang bertugas rela menempuh perjalanan menuju bukit ini, demi menelepon orang-orang tercintanya dengan perangkat selulernya. Di atas Bukit Cinta.

Pos Oepoli Sungai, Satgas Pamtas RI – RDTL Yonarmed 6
Beberapa saat di Bukit Cinta, saya dan rombongan tiba di tujuan akhir. Di sana saya langsung dipandu oleh personel Unit Teknis Pusat Pemetaan Batas Wilayah BIG, beserta pasukan TNI yang dipersenjatai lengkap senapan laras panjang, menuju patok batas RI – RDTL. Pilar batas tersebut, merupakan buah kerja dari salah satu fungsi BIG, yaitu memetakan batas wilayah negara Indonesia dengan negara-negara tetangga. Oepoli merupakan daerah yang bersinggungan langsung dengan negara Timor Leste. Pilar batasnya pun terbelah, di antara dua sisi Sungai Noel Besi. Sungai Noel Besi jadi batas antar 2 negara yang terbentuk secara alami. Namun sifat alam kadang tidak bisa diprediksi keberadaannya, tanda alamiah itu dapat berubah, tak ketahuan. Karenanya, BIG mendokumentasikan berbagai macam Informasi Geospasial, seperti dokumen peta masa lalu, yang dapat digunakan sebagai rujukan perundingan peta batas negara, manakala diperlukan. Sehingga pendokumentasian Informasi Geospasial yang baik dapat menjaga kedaulatan bangsa.

Menginjakkan Kaki di Timor Leste Tanpa Paspor
Pilar-pilar batas yang telah dipetakan dan dibangun, merupakan dukungan BIG terhadap Kementerian Luar Negeri khususnya KBRI, dalam menjaga perbatasan negara. Pilar batas yang terdapat di Oepoli, berhadapan langsung dengan pilar batas di Citrana, Timor Leste. Ini ada di sisi seberang Sungai Noel Besi. Tim survei BIG yang didampingi oleh pasukan TNI maupun KBRI, harus menerjang arus Sungai Noel Besi untuk menginjakkan kaki di Timor Leste. Dan uniknya, inilah kali pertama saya menginjakkan kaki di negara lain, tanpa harus menggunakan paspor. Tak jarang timbul rasa waswas yang terlintas. Namun melihat banyaknya pasukan TNI yang mendampingi, perjalanan ini akan baik-baik saja.

Menurut dasar teorinya, manakala batas daerah atau negara berupa sungai, maka titik batasnya tidak dapat tepat di sungai tersebut. Batasnya ada di sisi kiri dan kanan sungai. Ini biasa disebut sebagai : Auxilliary Border Marker. Auxilliary Border Marker dapat diterjemahkan sebagai pilar batas yang kondisi titik koordinatnya tidak memungkinkan dibangun, seperti kasus yang terjadi pada pilar batas negara darat antara Indonesia dengan Timor Leste. Titik batas kedua negara tepat jatuh pada aliran Sungai Noel Besi, sehingga tidak memungkinkan membangun sebuah pilar batas di tengah sungai.

Berdasarkan hal itulah, Auxilliary Border Marker ditempatkan di kedua sisi Sungai Noel Besi. Auxilliary Border Marker pun biasanya dibangun dan penamaannya secara berpasangan-pasangan. Jika di Indonesia bernomor RI18, maka di Timor Leste bernomor TL18.

Secara fisik, bangunan Auxilliary Border Marker memiliki perbedaan yang cukup signifikan dibanding dengan pilar batas pada umumnya. Jika pada pilar batas pada umumnya berbentuk datar pada sisi atasnya, sedangkan Auxilliary Border Marker memiliki bentuk miring pada sisi atasnya.

Survei penegasan batas ini bukanlah hal yang mudah dilakukan. Tim unit teknis Pusat Pemetaan Batas Wilayah harus ditugaskan berpuluh-puluh hari, bahkan hingga berbulan-bulan untuk menyelesaikan proses pemetaan batas negara. Selain persiapan fisik, kesiapan mental diperlukan oleh para tim survei. Tak jarang, tim survei harus bermalam di tengah hutan, makan dengan material seadanya dan dihadapkan dengan kondisi alam yang tidak dapat diprediksi. Namun karena kecintaannya kepada bumi pertiwi, seluruh elemen tim pemetaan batas negara yang berisikan BIG, Kementerian Luar Negeri, dan TNI bertekad menuntaskan penegasan batas ini demi menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1644 seconds (0.1#10.140)