Stop Main Hakim Sendiri!

Senin, 14 Februari 2022 - 08:39 WIB
loading...
Stop Main Hakim Sendiri!
Tindakan main hakim sendiri masih kerap terjadi di masyarakat. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Dua kasus pengeroyokan di Jabodetabek yang mengakibatkan dua korban meninggal dunia hanya dalam waktu kurang dari sebulan patut menjadi perhatian. Fakta ini mengindikasikan warga semakin mudah terprovokasi untuk bertindak main hakim sendiri.

Kasus main hakim sendiri oleh warga terjadi di Pulogadung, Jakarta Timur pada Minggu (23/1), menimpa Wiyanto Halim, lansia 89 tahun. Wiyanto meninggal dunia dihakimi sejumlah pengendara sepeda motor. Pemicunya, korban yang mengendarai mobil menyerempet seorang pesepeda motor. Tidak terima diserempet dia kemudian meneriaki korban "maling".

Kejadian kedua menimpa LEH, remaja 16 tahun asal Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Korban meninggal dunia pada Minggu (5/2) akibat dikeroyok sejumlah pemuda yang merupakan anggota geng motor. Korban yang malam itu sedang mencari kucingnya tiba-tiba diteriaki maling oleh salah seorang pelaku.

Yang memilukan hati, kedua korban pengeroyokan tersebut sejatinya bukan pelaku kejahatan. Mereka kehilangan nyawa hanya gara-gara diteriaki "maling".



Lantas mengapa warga makin mudah tersulut emosi yang kemudian berubah jadi beringas? Ada banyak pemicu tindakan main hakim sendiri massa tersebut. Di antaranya rasa frustasi warga melihat banyaknya aksi kejahatan di sekitar mereka. Yang lebih memprihatinkan, fenomena ini juga akibat merosotnya kepercayaan masyarakat pada aparat penegak hukum.

Sosiolog perkotaan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tantan Hermansah menyebut, masyarakat menengah ke bawah saat ini menganggap hukum hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Persepsi itu sudah ada sejak lama dan masih melekat hingga kini.

“Itu bukan istilah, tapi kenyataan. Kita sering mendengar bahwa kalau kehilangan ayam, untuk mengurusnya (proses hukum ke polisi) kita bisa kehilangan kambing. Untuk memenangkan perkaranya, kita bisa kehilangan sapi. Ini menunjukkan persepsi yang melekat pada masyarakat bahwa aparat penegak hukum tidak bisa dipercaya," ujar Tantan, Minggu (13/2/2022).

Ketidakpercayaan (distrust) kepada aparat penegak hukum, menurut dia, juga bukan mengindikasikan masyarakat tidak takut terhadap aturan hukum yang berlaku. Lantaran ini soal ketidakpercayaan, masyarakat akhirnya memilih mengekspresikan tindakan yang dianggap sebagai bentuk keadilan. "Hal ini memicu munculnya pengadilan jalanan melalui aksi main hakim sendiri," tandasnya.



Tantan meyakini perilaku amuk massa ini dapat dicegah dan berkurang secara signifikan jika para penegak hukum dapat bersikap adil dalam menangani setiap kasus. Dia juga berharap adanya keteladanan yang ditunjukkan elite-elite penguasa dalam hal kepatuhan pada hukum.

Dia mengingatkan, ketika merosotnya kepercayaan masyarakat semakin luas, menguat, dan dalam skala besar maka keberlangsungan dan keberlanjutan negara pun kian dipertaruhkan.

Namun, dia menilai sikap main hakim sendiri masyarakat juga bisa dipicu faktor lain, termasuk melemahnya kohesi sosial. Kohesi itu dapat terkikis jika individualisme di kalangan masyarakat urban semakin tumbuh. Itulah yang kemudian merusak sendi-sendi kehidupan sosial.

“Maka ketika kohesi sosial ini meluruh, bahkan kemudian menghilang dan digantikan individualisme, yang terjadi adalah hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang akan berkuasa," ujanya.

Merespons fenomena main hakim sendiri oleh warga, pengajar Kajian Ketahanan Nasional Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) Arthur Josias Simon Runturambi mengatakan, tindakan itu termasuk mekanisme pengendalian sosial yang dilakukan oleh warga.

Menurutnya, ada dua pengendalian sosial di masyarakat, yakni cara persuasif dan kekerasan berupa main hakim sendiri. Tidak sedikit menurut dia yang melakukan pengendalian sosial dengan cara salah yakni berupa main hakim sendiri.

Adapun kata "maling" yang diteriakkan seseorang akan mendapatkan respons cepat karena itu merupakan ajakan untuk menangkap pelaku kejahatan. "Ini nilai pengendalian sosial yang sudah berlaku umum di masyarakat baik di wilayah urban perkotaam maupun di perdesaan. Dengan berteriak 'maling' maka akan ada perhatian," ujar Staf Pengajar Departemen Kriminologi UI ini.

Hanya, kata dia, perhatian itu seharusnya dilakukan dengan benar, masyarakat harus diberi penyadaran, literasi, agar tidak main hakim sendiri. Masyarakat harus bisa memfilter, memverifikasi agar dalam bertindak tidak melanggar.

Mengapa masyarakat gampang terpancing lalu menghakimi? Menurut Simon, warga mudah terprovokasi dan bertindak main hakim sendiri dipicu oleh perasaan resah. Penyebab masyarakat resah juga multifaktor dan saling terkait. Antara lain karena wilayahnya rawan aksi kejahatan, kasus-kasus kejahatan tidak kunjung terselesaikan, putus asa dengan penegakan hukum yang dianggap kurang maksimal, atau mental tertekan akibat berlakunya pembatasan di masa pandemi yang memaksa orang harus banyak tinggal di rumah.

Demi menghindari kejadian main hakim sendiri, model pengendalian sosial di masyarakat perlu mendapatkan perhatian. Pertama, aparat kepolisian harus melakukan penegakan hukum yang tegas dan adil jika terjadi kasua kejahatan. Ini sangat penting karena model penyelesaian berbasis kekerasan (main hakim sendiri) diperkirakan akan semakin liar.

Kedua, perlu pelibatan tokoh masyarakat di tiap RT/RW untuk memberikan pemahaman kepada warga agar dqlam bertindak harus sesuai hukum. Ketiga, pemerintah setempat perlu mengaktifkan siskamling, menggelar pertemuan dalam sayu area agar masyarakat di lingkungan bisa lebih saling mengenal. Pandemi Covid-19 membuat kohesivitas sosial turun sehingga warga bisa saja ada yang tidak saling kenal satu sama lain.

Human Animal
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Koentjoro memandang, aksi main hakim sendiri ditengarai akibat kegeraman masyarakat terhadap tindak kejahatan yang marak terjadi. Saking geramnya, amarah mudah tersulut sehingga amuk massa tak terhindarkan.

Menurutnya, manusia punya naluri dan tindakan refleks untuk tolong-menolong. Misalnya, ketika di pasar ada yang berteriak maling, pasti orang akan berusaha ikut menangkap pelaku. Namun, pada kasus pengeroyokan lansia di Jakarta Timur itu, naluri tolong menolong disalahgunakan.

"Kata ‘maling’ itu memancing orang untuk berusaha menangkap. Ada yang memprovokasi sehingga menarik perhatian banyak orang. Semakin banyak orang, identitas kita semakin kabur dan akibatnya semakin nekat. Dalam kondisi geram kemudian akhirnya orang berubah menjadi sadis,” jelasnya.

Menurutnya, teriakan "maling" sangat mudah memicu orang bergerak dan kalap sehingga tingkat amarah semakin meningkat dan akan berbuat sadis terhadap sosok yang dituduh maling.

“Kalau dalam psikologi massa, nantinya ‘human animal’ yang terjadi. Dalam perilaku massa, itu ada saling dukung mendukung, ada kekuatan yang menghipnotis. Akhirnya amuk massa sulit dihindarkan. Padahal, belum tentu pelaku itu benar-benar maling,” lanjutnya.

Koentjoro mengingatkan publik agar tetap menghormati asas praduga tak bersalah. Jika tertuduh sudah tertangkap, maka sebaiknya tetap menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum, bukan justru diselesaikan di jalanan dengan menghilangkan nyawa orang. "Demikian juga aparat penegak hukum harus bertindak tegas jika memang tertuduh terbukti melakukan kejahatan," ujarnya.

Risiko seseorang diteriaki "maling" padahal bukan bisa terjadi pada siapa saja dan di mana saja. Hal yang tidak diinginkan tersebut perlu diantisipasi. Jika seseorang bukan maling tetapi merasa dituduh dan dikejar massa, Koentjoro menyarankan agar segera mencari tempat perlindungan seperti pos satpam maupun kepolisian terdekat.

Dalam pandangan budayawan Toto TIS Suparto, kekerasan di masyarakat itu tidak lahir dengan sendirinya namun penyebabnya banyak tergantung setiap kasus. Misalnya, di suatu daerah terjadi kekerasan main hakim sendiri karena di daerah itu pernah ada kasus yang malah mendapat tekanan dari aparat. "Sehingga masyarakat ada rasa tidak percaya dengan jalur hukum atau menyerahkan kepada aparat," kata dia saat dihubungi, Minggu (13/2/2022).

Berangkat dari ketidakpercayaan, lanjut dia, membuat seseorang ingin memberi hukuman langsung kepada pelaku. Mereka tidak percaya jika pelaku diserahkan kepada penegak hukum dan sanksi jauh dari yang diharapkan .

Main hakim sendiri akan muncul dengan sendirinya jika terdapat kerumunan. Kekerasan main hakim sendiri dipastikan hadir ketika banyak orang. Seseorang akan menjadi lebih berani jika mereka dalam jumlah banyak atau tidak sendirian. Faktor kerumunan yang dapat lebih cepat memanas juga disebabkan oleh kesenjangan atau kecemburuan sosial.

Jangan Mudah Terprovokasi
Sementara itu, Polda Mereo Jaya mengimbau masyarakat tak mudah terprovokasi dengan teriakan maling. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan meminta masyarakat untuk berpikir jernih dan memastikan terlebih dahulu apakah orang yang dituduh maling benar-benar pelaku kejahatan . Di sisi lain dia tidak membenarkan adanya aksi main hakim sendiri apalagi yang berujung kematian.

"Saya mengimbau kepada seluruh masyarakat, agar tidak mudah percaya dengan provokasi dan kami mengimbau agar masyarakat tidak juga dengan mudahnya melakukan main hakim sendiri yang berdampak fatal," kata Zulpan, Jumat (11/2/2022).

Apabila masyarakat mengetahui di wilayahnya ada aksi kriminalitas ataupun teriakan maling, dia menganjurkan agar warga mengamankan pelaku dan membawanya ke kantor kepolisian terdekat.

"Dalam aksi provokasi di Tarumajaya (Bekasi) misalnya, korban memang betul-betul mencari kucingnya yang hilang, namun karena aksi provokasi teriakan maling mengakibatkan orang yang tidak tahu persoalannya terprovokasi melakukan aksi yang mengakibatkan korban meninggal dunia," tandasnya.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0989 seconds (0.1#10.140)