Stop Main Hakim Sendiri!
loading...
A
A
A
Kedua, perlu pelibatan tokoh masyarakat di tiap RT/RW untuk memberikan pemahaman kepada warga agar dqlam bertindak harus sesuai hukum. Ketiga, pemerintah setempat perlu mengaktifkan siskamling, menggelar pertemuan dalam sayu area agar masyarakat di lingkungan bisa lebih saling mengenal. Pandemi Covid-19 membuat kohesivitas sosial turun sehingga warga bisa saja ada yang tidak saling kenal satu sama lain.
Human Animal
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Koentjoro memandang, aksi main hakim sendiri ditengarai akibat kegeraman masyarakat terhadap tindak kejahatan yang marak terjadi. Saking geramnya, amarah mudah tersulut sehingga amuk massa tak terhindarkan.
Menurutnya, manusia punya naluri dan tindakan refleks untuk tolong-menolong. Misalnya, ketika di pasar ada yang berteriak maling, pasti orang akan berusaha ikut menangkap pelaku. Namun, pada kasus pengeroyokan lansia di Jakarta Timur itu, naluri tolong menolong disalahgunakan.
"Kata ‘maling’ itu memancing orang untuk berusaha menangkap. Ada yang memprovokasi sehingga menarik perhatian banyak orang. Semakin banyak orang, identitas kita semakin kabur dan akibatnya semakin nekat. Dalam kondisi geram kemudian akhirnya orang berubah menjadi sadis,” jelasnya.
Menurutnya, teriakan "maling" sangat mudah memicu orang bergerak dan kalap sehingga tingkat amarah semakin meningkat dan akan berbuat sadis terhadap sosok yang dituduh maling.
“Kalau dalam psikologi massa, nantinya ‘human animal’ yang terjadi. Dalam perilaku massa, itu ada saling dukung mendukung, ada kekuatan yang menghipnotis. Akhirnya amuk massa sulit dihindarkan. Padahal, belum tentu pelaku itu benar-benar maling,” lanjutnya.
Koentjoro mengingatkan publik agar tetap menghormati asas praduga tak bersalah. Jika tertuduh sudah tertangkap, maka sebaiknya tetap menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum, bukan justru diselesaikan di jalanan dengan menghilangkan nyawa orang. "Demikian juga aparat penegak hukum harus bertindak tegas jika memang tertuduh terbukti melakukan kejahatan," ujarnya.
Risiko seseorang diteriaki "maling" padahal bukan bisa terjadi pada siapa saja dan di mana saja. Hal yang tidak diinginkan tersebut perlu diantisipasi. Jika seseorang bukan maling tetapi merasa dituduh dan dikejar massa, Koentjoro menyarankan agar segera mencari tempat perlindungan seperti pos satpam maupun kepolisian terdekat.
Dalam pandangan budayawan Toto TIS Suparto, kekerasan di masyarakat itu tidak lahir dengan sendirinya namun penyebabnya banyak tergantung setiap kasus. Misalnya, di suatu daerah terjadi kekerasan main hakim sendiri karena di daerah itu pernah ada kasus yang malah mendapat tekanan dari aparat. "Sehingga masyarakat ada rasa tidak percaya dengan jalur hukum atau menyerahkan kepada aparat," kata dia saat dihubungi, Minggu (13/2/2022).
Berangkat dari ketidakpercayaan, lanjut dia, membuat seseorang ingin memberi hukuman langsung kepada pelaku. Mereka tidak percaya jika pelaku diserahkan kepada penegak hukum dan sanksi jauh dari yang diharapkan .
Human Animal
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Koentjoro memandang, aksi main hakim sendiri ditengarai akibat kegeraman masyarakat terhadap tindak kejahatan yang marak terjadi. Saking geramnya, amarah mudah tersulut sehingga amuk massa tak terhindarkan.
Menurutnya, manusia punya naluri dan tindakan refleks untuk tolong-menolong. Misalnya, ketika di pasar ada yang berteriak maling, pasti orang akan berusaha ikut menangkap pelaku. Namun, pada kasus pengeroyokan lansia di Jakarta Timur itu, naluri tolong menolong disalahgunakan.
"Kata ‘maling’ itu memancing orang untuk berusaha menangkap. Ada yang memprovokasi sehingga menarik perhatian banyak orang. Semakin banyak orang, identitas kita semakin kabur dan akibatnya semakin nekat. Dalam kondisi geram kemudian akhirnya orang berubah menjadi sadis,” jelasnya.
Menurutnya, teriakan "maling" sangat mudah memicu orang bergerak dan kalap sehingga tingkat amarah semakin meningkat dan akan berbuat sadis terhadap sosok yang dituduh maling.
“Kalau dalam psikologi massa, nantinya ‘human animal’ yang terjadi. Dalam perilaku massa, itu ada saling dukung mendukung, ada kekuatan yang menghipnotis. Akhirnya amuk massa sulit dihindarkan. Padahal, belum tentu pelaku itu benar-benar maling,” lanjutnya.
Koentjoro mengingatkan publik agar tetap menghormati asas praduga tak bersalah. Jika tertuduh sudah tertangkap, maka sebaiknya tetap menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum, bukan justru diselesaikan di jalanan dengan menghilangkan nyawa orang. "Demikian juga aparat penegak hukum harus bertindak tegas jika memang tertuduh terbukti melakukan kejahatan," ujarnya.
Risiko seseorang diteriaki "maling" padahal bukan bisa terjadi pada siapa saja dan di mana saja. Hal yang tidak diinginkan tersebut perlu diantisipasi. Jika seseorang bukan maling tetapi merasa dituduh dan dikejar massa, Koentjoro menyarankan agar segera mencari tempat perlindungan seperti pos satpam maupun kepolisian terdekat.
Dalam pandangan budayawan Toto TIS Suparto, kekerasan di masyarakat itu tidak lahir dengan sendirinya namun penyebabnya banyak tergantung setiap kasus. Misalnya, di suatu daerah terjadi kekerasan main hakim sendiri karena di daerah itu pernah ada kasus yang malah mendapat tekanan dari aparat. "Sehingga masyarakat ada rasa tidak percaya dengan jalur hukum atau menyerahkan kepada aparat," kata dia saat dihubungi, Minggu (13/2/2022).
Berangkat dari ketidakpercayaan, lanjut dia, membuat seseorang ingin memberi hukuman langsung kepada pelaku. Mereka tidak percaya jika pelaku diserahkan kepada penegak hukum dan sanksi jauh dari yang diharapkan .