Menunggu Terwujudnya Vaksin Merah Putih
loading...
A
A
A
Apa kabar vaksin merah merah putih? Pertanyaan ini relevan disampaikan karena pandemi Covid-19 belum juga usai. Bahkan dalam pekan ini pemerintah mengumumkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3 sebagai respons melonjaknya varian Omicron di Tanah Air.
Belum tuntasnya pandemi, salah satu penyebabnya adalah belum tuntasnya vaksinasi. Berdasar Kementerian Kesehatan (Kemenkes), per Jumat (11/2) dari sasaran vaksinasi sebanyak 208.266.720 orang, sebanyak 187.918.754 orang di antaranya sudah mengikuti vaksinasi dosis 1 dan 134.403.989orang mengikuti vaksinasi dosis 2. Adapun yang telah mengikuti vaksinasi dosis 3 atau booster baru sebanyak 6.623.413orang.
Dengan fakta tersebut, kebutuhan vaksin untuk masyarakat Indonesia masih besar, terutama untuk dosis 2 dan booster.
Karena itulah, tugas pemerintah untuk mengamankan suplai vaksin masih harus terus dilakukan. Sejauh ini memang tidak ada kendala untuk mengamankan vaksin.Terbukti, di antara negara-negara non produsen vaksin, laju vaksinasi Indonesia terbaik. Pun di antara keseluruhan negara di dunia, negeri ini menempati peringkat kelima.
Tapi untuk bisa terus mengamankan kebutuhan vaksin tentu tidak mudah. Apalagi negara-negara produsen lebih mengutamakan kebutuhan domestik atau untuk agenda kepentingan nasionalnya. Belum lagi Indonesia harus menggentorkan dana yang tidak sedikit untuk mengimpor vaksin. Dengan demikian, selain memicu masalah ketergantungan, impor vaksin juga melepaskan kesempatan untuk bisa mengembangkan kompetensi anak bangsa dan potensi ekonomi.
Berangkat dari alasan tersebut, Indonesia mau tidak mau harus berfikir untuk memproduksi vaksin sendiri. Walaupun tidak mudah, langkah tersebut harus dimulai. Apalagi sejumlah riset sudah dimulai, dan hanya membutuhkan dorongan dan keberanian pemerintah untuk memanfaatkannya. Beberapa riset dimaksud adalah vaksin merah putih yang dikembangkan Unair dan PT Biotis, vaksin Baylor Medical College, vaksin Zifivax Bio Farma-Anhui Zheifei Longcom), vaksin ARCov (PT Etana Biotech- Walfax Abogen).
Di antara keempat vaksin, vaksin merah putih harus diakui paling maju.Kini vaksin tersebut sudah memasuki tahap kedua uji klinis yang dilakukan bersamaan dengan uji klinis fase 3, dan bibit vaksin sudah siap dan telah diserahkan Unair ke PT Biotis. Rencananya, uji klinis dilaksanakan secara bersamaan sekitar bulan Januari-Februari 2022 ini, hingga emergency use authorization atau izin penggunaan darurat (EUA) bisa keluar sekitar bulan Mei atau Juni 2022, hingga produksi atau komersialisasi bisa Juni atau Juli 2022. Ditargetkan Agustus bisa dimanfaatkan untuk masyarakat luas.
Terwujudnya vaksin tersebut jelas membutuhkan dukungan banyak pihak, termasuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI yang memegang otoritas perijinan. Perkembangan teranyar, BPOM sudah menyetujui uji klinis tersebut. Malahan lembaga tersebut telah menyatakan komitmennya untuk membatasi permintaan uji klinis vaksin yang dikembangkan negara lain karena Indonesia sudah mulai mengembangkan vaksin dalam negeri.
Walaupun tinggal setahap, upaya untuk menuntaskan program vaksinasi merah putih tidaklah mudah. Selain kendala peralatan teknologi, Kepala Badan seperti disampaikan Kepala Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, Indonesia belum pernah memiliki tim yang berpengalaman sampai uji klinis dalam pengembangan vaksin dari scrath. Pengalaman tim periset dalam pengembangan vaksin baru sampai uji praklinis. Sejauh ini, sebagian besar vaksin yang diproduksi dalam negeri, termasuk oleh Biofarma, masih berbasis lisensi.
Untuk itulah, kerjasama dan kekompokkan semua pihak untuk mewujudkan tekad memproduksi vaksin sendiri, termasuk membuat fasilitas yang dibutuhkan, diperlukan hingga target vaksin merah putih bisa segera dimanfaatkan untuk vaksinasi primer, lanjutan dan booster terwujud. Bukan hanya vaksin merah putih, dorongan juga diberikan kepada program vaksin lain. Harapannya ke depan, Indonesia memiliki kompetensi untuk membangun sekaligus membuat program pemanfaatan yang berkelanjutan.
Belum tuntasnya pandemi, salah satu penyebabnya adalah belum tuntasnya vaksinasi. Berdasar Kementerian Kesehatan (Kemenkes), per Jumat (11/2) dari sasaran vaksinasi sebanyak 208.266.720 orang, sebanyak 187.918.754 orang di antaranya sudah mengikuti vaksinasi dosis 1 dan 134.403.989orang mengikuti vaksinasi dosis 2. Adapun yang telah mengikuti vaksinasi dosis 3 atau booster baru sebanyak 6.623.413orang.
Dengan fakta tersebut, kebutuhan vaksin untuk masyarakat Indonesia masih besar, terutama untuk dosis 2 dan booster.
Karena itulah, tugas pemerintah untuk mengamankan suplai vaksin masih harus terus dilakukan. Sejauh ini memang tidak ada kendala untuk mengamankan vaksin.Terbukti, di antara negara-negara non produsen vaksin, laju vaksinasi Indonesia terbaik. Pun di antara keseluruhan negara di dunia, negeri ini menempati peringkat kelima.
Tapi untuk bisa terus mengamankan kebutuhan vaksin tentu tidak mudah. Apalagi negara-negara produsen lebih mengutamakan kebutuhan domestik atau untuk agenda kepentingan nasionalnya. Belum lagi Indonesia harus menggentorkan dana yang tidak sedikit untuk mengimpor vaksin. Dengan demikian, selain memicu masalah ketergantungan, impor vaksin juga melepaskan kesempatan untuk bisa mengembangkan kompetensi anak bangsa dan potensi ekonomi.
Berangkat dari alasan tersebut, Indonesia mau tidak mau harus berfikir untuk memproduksi vaksin sendiri. Walaupun tidak mudah, langkah tersebut harus dimulai. Apalagi sejumlah riset sudah dimulai, dan hanya membutuhkan dorongan dan keberanian pemerintah untuk memanfaatkannya. Beberapa riset dimaksud adalah vaksin merah putih yang dikembangkan Unair dan PT Biotis, vaksin Baylor Medical College, vaksin Zifivax Bio Farma-Anhui Zheifei Longcom), vaksin ARCov (PT Etana Biotech- Walfax Abogen).
Di antara keempat vaksin, vaksin merah putih harus diakui paling maju.Kini vaksin tersebut sudah memasuki tahap kedua uji klinis yang dilakukan bersamaan dengan uji klinis fase 3, dan bibit vaksin sudah siap dan telah diserahkan Unair ke PT Biotis. Rencananya, uji klinis dilaksanakan secara bersamaan sekitar bulan Januari-Februari 2022 ini, hingga emergency use authorization atau izin penggunaan darurat (EUA) bisa keluar sekitar bulan Mei atau Juni 2022, hingga produksi atau komersialisasi bisa Juni atau Juli 2022. Ditargetkan Agustus bisa dimanfaatkan untuk masyarakat luas.
Terwujudnya vaksin tersebut jelas membutuhkan dukungan banyak pihak, termasuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI yang memegang otoritas perijinan. Perkembangan teranyar, BPOM sudah menyetujui uji klinis tersebut. Malahan lembaga tersebut telah menyatakan komitmennya untuk membatasi permintaan uji klinis vaksin yang dikembangkan negara lain karena Indonesia sudah mulai mengembangkan vaksin dalam negeri.
Walaupun tinggal setahap, upaya untuk menuntaskan program vaksinasi merah putih tidaklah mudah. Selain kendala peralatan teknologi, Kepala Badan seperti disampaikan Kepala Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, Indonesia belum pernah memiliki tim yang berpengalaman sampai uji klinis dalam pengembangan vaksin dari scrath. Pengalaman tim periset dalam pengembangan vaksin baru sampai uji praklinis. Sejauh ini, sebagian besar vaksin yang diproduksi dalam negeri, termasuk oleh Biofarma, masih berbasis lisensi.
Untuk itulah, kerjasama dan kekompokkan semua pihak untuk mewujudkan tekad memproduksi vaksin sendiri, termasuk membuat fasilitas yang dibutuhkan, diperlukan hingga target vaksin merah putih bisa segera dimanfaatkan untuk vaksinasi primer, lanjutan dan booster terwujud. Bukan hanya vaksin merah putih, dorongan juga diberikan kepada program vaksin lain. Harapannya ke depan, Indonesia memiliki kompetensi untuk membangun sekaligus membuat program pemanfaatan yang berkelanjutan.
(ynt)