Pesan Penting Presiden untuk Insan Pers
loading...
A
A
A
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan sejumlah hal penting dalam pidatonya pada peringatan Hari Pers Nasional 2022 yang disampaikannya secara daring dari Istana Bogor, kemarin. Dalam sambutan Presiden, terdapat dua poin utama yang selayaknya patut dicermati karena amat menentukan arah masa depan pers Tanah Air. Pertama, sorotan Presiden mengenai kehadiran sumber-sumber informasi saat ini yang hanya mengejar clickbait. Kedua, pernyataan Presiden soal ekosistem industri pers yang harus terus ditata dengan menciptakan iklim kompetisi yang lebih seimbang antara platform global dengan platform lokal. Khusus poin kedua ini, yakni perlunya kesetaraan dan keadilan dalam ekosistem digital memang jadi isu krusial dan jadi tema yang banyak dibahas belakangan ini.
Dua hal yang disampaikan Presiden di atas memang cerminan dari realitas pers Tanah Air dalam beberapa tahun belakangan ini. Menyoal media "clickbait", faktanya memang sumber-sumber informasi seperti ini tumbuh dan berkembang dengan subur. Muncul tren memproduksi informasi yang sifatnya hanya mengejar klik atau views, konten-konten yang hanya mengejar viral. Value atau nilai dari sebuah informasi bukan lagi yang utama. Fungsi media massa memang sebagai sumber informasi, selain fungsi pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Namun, informasi yang disajikan seharusnya adalah yang bernilai, bermanfaat, mencerahkan, konstruktif, solutif, membuka pada jalan kebaikan, dan tidak semata menyuguhkan apa yang menarik bagi publik. Menarik dan diinginkan tidak berarti selalu memberi nilai manfaat bagi khalayak.
Realitas ini menjadi tantangan tersendiri bagi insan pers. Masalah dari dalam diri sendiri berupa integritas yang tergerus ini yang harus bisa diselesaikan. Salah satu faktor pembeda media arus utama dengan media sosial adalah tanggung jawab sosial yang dimilikinya. Selayaknya ini yang terus dipegang teguh dalam melayani publik.
Masalah internal lain yakni munculnya media yang dibentuk untuk membela kepentingan pihak tertentu tanpa mengindahkan prinsip-prinsip kerja jurnalistik yang profesional dan menjunjung tinggi kode etik. Model media seperti ini yang juga sering menimbulkan keresahan publik.
Atas berbagai persoalan yang bersumber dari dalam ini perlu kesungguhan dari pelaku media sendiri. Harus ada kesadaran untuk berbenah dan memperbaiki keadaan. Di tengah beragam tantangan, Presiden Jokowi dalam pidatonya kemarin juga mengingatkan perlunya media arus utama memperbaiki kelemahan yang dimilikinya ini.
Pers memang sedang menghadapi tekanan yang tidak ringan. Selain imbas dari pandemi Covid-19 dan tantangan internal tadi, masalah yang tak kalah peliknya adalah disrupsi digital. Kehadiran berbagai platform media digital, termasuk media sosial, dalam beberapa tahun terakhir telah menggerus eksistensi media arus utama. Sudah banyak institusi media yang harus gugur terutama mereka yang tidak mampu beradaptasi dengan cepat dan melakukan inovasi-inovasi. Dalam situasi kurang menguntungkan ini tak ada pilihan bagi arus utama selain melakukan konvergensi konten dengan memanfaatkan platform digital. Jalan ini memungkinkan media arus utama untuk menyajikan konten yang lebih interaktif dan dengan jangkauan audiens yang lebih tak terbatas. Ini salah satu jawaban bagi media arus utama untuk bisa tetap bertahan bahkan menemukan momentum untuk kembali bangkit di tengah ketatnya persaingan di industri media hari ini.
Seluruh pekerjaan rumah media arus utama tersebut harus dilakukan sambil berharap tercipta keadilan dan kesetaraan dalam ekosistem digital saat ini. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ada ketidaksetaraaaan antara media arus utama dengan platform digital yang umumnya dimiiliki oleh perusahaan raksasa teknologi global seperti Google, Facebook dan lain-lain. Salah satu bentuk ketidakadilannya adalah berita atau konten dari media massa atau pers yang disebut sebagai publisher dipakai oleh platform digital tanpa memberikan bagi hasil yang seimbang serta tidak transparan.
Dalam istilah Ketua Dewan Pers Indonesia Muhammad Nuh, platform digital hanya mengambil saja, dan media selaku publisher tidak mendapatkan apa-apa. Atas dasar itu pula Dewan Pers lalu mendorong pemerintah pusat untuk segera menerbitkan kebijakan publisher rights, sebuah payung hukum yang diniatkan bisa melindungi atau memproteksi media atau pers Tanah Air.
Gayung bersambut, Presiden Jokowi pun dalam pidatonya di peringatan Hari Pers Nasional kemarin menyebut ekosistem industri pers memang harus terus ditata. Pemerintah mendukung iklim kompetisi yang lebih seimbang dan sehat antara pers dengan platform digital terus diciptakan. "Perusahaan platform asing harus ditata, harus diatur agar semakin baik tata kelolanya. Kita perkuat aturan bagi hasil yang adil dan seimbang antara platform global dan lokal," kata Presiden.
Ini tentu kabar baik, tinggal menunggu payung hukum dibuat. Semoga kebijakan publisher rights tersebut mampu memberi keadilan dan kesetaraan sebagaimana diharapkan. Keadilan dan kesetaraan akan menciptakan iklim persaingan yang sehat dan kondusif. Seluruh pihak seyogianya memang harus mendukung eksistensi pers sebagai pilar demokrasi. Pers yang sehat dan independen dibutuhkan dalam membangun peradaban bangsa yang maju dan bermartabat.
Dua hal yang disampaikan Presiden di atas memang cerminan dari realitas pers Tanah Air dalam beberapa tahun belakangan ini. Menyoal media "clickbait", faktanya memang sumber-sumber informasi seperti ini tumbuh dan berkembang dengan subur. Muncul tren memproduksi informasi yang sifatnya hanya mengejar klik atau views, konten-konten yang hanya mengejar viral. Value atau nilai dari sebuah informasi bukan lagi yang utama. Fungsi media massa memang sebagai sumber informasi, selain fungsi pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Namun, informasi yang disajikan seharusnya adalah yang bernilai, bermanfaat, mencerahkan, konstruktif, solutif, membuka pada jalan kebaikan, dan tidak semata menyuguhkan apa yang menarik bagi publik. Menarik dan diinginkan tidak berarti selalu memberi nilai manfaat bagi khalayak.
Realitas ini menjadi tantangan tersendiri bagi insan pers. Masalah dari dalam diri sendiri berupa integritas yang tergerus ini yang harus bisa diselesaikan. Salah satu faktor pembeda media arus utama dengan media sosial adalah tanggung jawab sosial yang dimilikinya. Selayaknya ini yang terus dipegang teguh dalam melayani publik.
Masalah internal lain yakni munculnya media yang dibentuk untuk membela kepentingan pihak tertentu tanpa mengindahkan prinsip-prinsip kerja jurnalistik yang profesional dan menjunjung tinggi kode etik. Model media seperti ini yang juga sering menimbulkan keresahan publik.
Atas berbagai persoalan yang bersumber dari dalam ini perlu kesungguhan dari pelaku media sendiri. Harus ada kesadaran untuk berbenah dan memperbaiki keadaan. Di tengah beragam tantangan, Presiden Jokowi dalam pidatonya kemarin juga mengingatkan perlunya media arus utama memperbaiki kelemahan yang dimilikinya ini.
Pers memang sedang menghadapi tekanan yang tidak ringan. Selain imbas dari pandemi Covid-19 dan tantangan internal tadi, masalah yang tak kalah peliknya adalah disrupsi digital. Kehadiran berbagai platform media digital, termasuk media sosial, dalam beberapa tahun terakhir telah menggerus eksistensi media arus utama. Sudah banyak institusi media yang harus gugur terutama mereka yang tidak mampu beradaptasi dengan cepat dan melakukan inovasi-inovasi. Dalam situasi kurang menguntungkan ini tak ada pilihan bagi arus utama selain melakukan konvergensi konten dengan memanfaatkan platform digital. Jalan ini memungkinkan media arus utama untuk menyajikan konten yang lebih interaktif dan dengan jangkauan audiens yang lebih tak terbatas. Ini salah satu jawaban bagi media arus utama untuk bisa tetap bertahan bahkan menemukan momentum untuk kembali bangkit di tengah ketatnya persaingan di industri media hari ini.
Seluruh pekerjaan rumah media arus utama tersebut harus dilakukan sambil berharap tercipta keadilan dan kesetaraan dalam ekosistem digital saat ini. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ada ketidaksetaraaaan antara media arus utama dengan platform digital yang umumnya dimiiliki oleh perusahaan raksasa teknologi global seperti Google, Facebook dan lain-lain. Salah satu bentuk ketidakadilannya adalah berita atau konten dari media massa atau pers yang disebut sebagai publisher dipakai oleh platform digital tanpa memberikan bagi hasil yang seimbang serta tidak transparan.
Dalam istilah Ketua Dewan Pers Indonesia Muhammad Nuh, platform digital hanya mengambil saja, dan media selaku publisher tidak mendapatkan apa-apa. Atas dasar itu pula Dewan Pers lalu mendorong pemerintah pusat untuk segera menerbitkan kebijakan publisher rights, sebuah payung hukum yang diniatkan bisa melindungi atau memproteksi media atau pers Tanah Air.
Gayung bersambut, Presiden Jokowi pun dalam pidatonya di peringatan Hari Pers Nasional kemarin menyebut ekosistem industri pers memang harus terus ditata. Pemerintah mendukung iklim kompetisi yang lebih seimbang dan sehat antara pers dengan platform digital terus diciptakan. "Perusahaan platform asing harus ditata, harus diatur agar semakin baik tata kelolanya. Kita perkuat aturan bagi hasil yang adil dan seimbang antara platform global dan lokal," kata Presiden.
Ini tentu kabar baik, tinggal menunggu payung hukum dibuat. Semoga kebijakan publisher rights tersebut mampu memberi keadilan dan kesetaraan sebagaimana diharapkan. Keadilan dan kesetaraan akan menciptakan iklim persaingan yang sehat dan kondusif. Seluruh pihak seyogianya memang harus mendukung eksistensi pers sebagai pilar demokrasi. Pers yang sehat dan independen dibutuhkan dalam membangun peradaban bangsa yang maju dan bermartabat.
(bmm)