Wujudkan Kesetaraan Ekosistem Media

Rabu, 09 Februari 2022 - 12:12 WIB
loading...
Wujudkan Kesetaraan...
Keberadaan media massa masih diandalkan sebagai sumber informasi terpercaya di era maraknya media sosial. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Dunia media ( pers ) di Indonesia menghadapi tantangan tak ringan sekaligus kompleks. Di tengah kemajuan teknologi digital , pers di negeri ini kian tertatih lantaran dipaksa bersaing dengan beragam platform baru media.

Selain mendisrupsi media arus utama, kehadiran platform baru ini juga kian menjadi ancaman lantaran menggerus habis potensi revenue/iklan. Ini mengakibatkan kondisi media massa Indonesia kembang kempis. Di sisi lain, munculnya platform media sosial seperti Facebook dll kian mendominasi dan seolah tak tersentuh regulasi negara. Ini membuat jurang besar antara media arus utama dan media platform baru saat ini.

Situasi media mainstream ini tidak sebanding dengan potensi meningkatnya kepercayaan publik terhadap konten-konten yang mereka produksi. Artinya, meski mendapat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat, lagi-lagi pers tetap kesulitan bertahan. Mereka seperti menghitung waktu sampai kapan bisa bertahan atau harus tumbang.

Pemerintah menyadari kondisi ini. Karena itu, seperti dinyatakan Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin, menjaga ekosistem media yang sehat di tengah perkembangan ruang digital adalah sangat penting. Karena itu, pemerintah mengupayakan keseimbangan ekosistem media di Tanah Air, termasuk kesetaraan di muka hukum.

Baca juga: HPN 2022, Wapres Sebut Pers Ujung Tombak Mengabarkan Kebenaran

“Ini sangat penting untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat, serta mewujudkan relasi kuasa (power relation) dan playing field yang seimbang," ujar Wapres di acara Konvensi Nasional Media Massa dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional 2022, Senin (7/2).

Wapres mendukung inisiatif Dewan Pers, perwakilan asosiasi, perusahaan media, dan para jurnalis yang merancang regulasi hak publikasi atau jurnalistik (publisher rights). Dia menilai regulasi ini bertujuan bukan sekadar untuk melindungi kepentingan pers nasional dalam menghadapi dominasi media baru atau platform digital global. Lebih dari itu, publisher rights adalah unsur penting untuk menjaga ekosistem media tetap sehat.

"Publisher rights adalah unsur penting untuk menjaga ekosistem media tetap sehat agar kemanfaatan ruang digital dapat dinikmati secara berimbang dan kedaulatan nasional di bidang digital dapat terwujud," katanya.

Ma’ruf Amin menegaskan, sebagaimana pemerintah negara-negara lain di dunia, Pemerintah Indonesia juga memerhatikan dengan saksama perkembangan industri di bidang teknologi dan dampaknya pada kehidupan masyarakat dalam rangka merumuskan kebijakan yang terbaik.

Karenanya, Wapres mengingatkan penggunaan teknologi digital saat ini adalah sebuah keniscayaan. Penguasaan dunia digital saat ini penting agar bangsa Indonesia tidak tertinggal dari bangsa-bangsa lain.

"Melek teknologi digital adalah keharusan, termasuk bijak bermedia sosial. Media massa harus membantu menyediakan konten-konten mendidik untuk tujuan tersebut. Akhir kata, saya ingin mengucapkan Selamat Hari Pers Nasional 2022 kepada seluruh insan pers Indonesia," ucapnya.

Baca juga: Jokowi Berterima Kasih Pers Nasional Bangun Optimisme Hadapi Pandemi

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny Gerard Plate meyakini, cepat atau lambat, media arus utama akan bertransformasi menyesuaikan kemajuan teknologi digital. Kita bisa melihat koran, radio, maupun televisi sekarang hampir semua memiliki versi digitalnya. Hal ini, sejalan dengan cepatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang dibarengi kemudahan akses internet di tengah masyarakat.

"Namun perlu disadari bahwa karakteristik masyarakat Indonesia beragam, termasuk dalam hal penggunaan media komunikasi. Sebagian masyarakat sudah terbiasa menggunakan media digital, namun sebagian lagi, terutama yang tinggal di wilayah perdesaan, masih banyak yang menggunakan media konvensional," katanya.

Johnny membeberkan, berdasarkan survei Status Literasi Digital di Indonesia 2021 yang dilakukan oleh Kemenkominfo dan Katadata Insight Center, ada 73% masyarakat menjadikan media sosial sebagai sumber informasi paling sering diakses. Hanya 59,7% responden memilih televisi sebagai sumber informasi, serta media cetak dan radio yang masing-masing mencapai 4%. Akan tetapi, survei yang sama menunjukkan bahwa televisi menjadi sumber informasi paling dipercaya dengan besaran 47%, kemudian disusul media sosial 22,4%.

"Dari data tersebut, terlihat bahwa kontribusi media massa mainstream sebagai sumber informasi masyarakat saat ini masih signifikan. Gempuran informasi melalui media sosial dan media digital adalah sesuatu yang tidak terelakkan, akan tetapi membutuhkan waktu hingga seluruh masyarakat memiliki kesiapan untuk beralih ke media digital. Pada titik tersebut, keberadaan media mainstream masih diperlukan," papar Johnny.

Seiring munculnya digitalisasi media massa, kuantitas isi media massa dipastikan akan meningkat secara eksponensial. Hal ini terjadi karena adanya kemudahan dalam proses produksi dan distribusi konten. Namun, dari sisi kualitas justru cenderung menurun. Kecenderungan ini terjadi karena media digital umumnya lebih mengutamakan kecepatan, engagement, dan masif, daripada kualitas konten. "Hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas media massa secara keseluruhan," ungkapnya.

Johnny menuturkan, tantangan terbesar yang dihadapi media massa saat ini adalah ketidaksiapan media konvensional untuk beradaptasi dan bertransformasi menjadi media berbasis digital. Media yang bertahan dengan format dan pola kerja konvensional diproyeksikan akan mengalami kesulitan untuk bertahan hidup.

Mantan anggota Komisi XI DPR ini menekankan, upaya mengatasi tantangan tersebut dapat dilakukan setidaknya melalui tiga cara. Pertama, dengan melakukan pemberdayaan internal. Upaya ini dilakukan agar organisasi media memiliki kesiapan baik secara sistem maupun sumber daya untuk berubah menjadi media yang lebih adaptif dan kompetitif di tengah dinamika perubahan zaman.

Kedua, mengutamakan kualitas isi di atas komersialitas dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip pemenuhan informasi dan edukasi masyarakat. Ketiga, membangun relasi yang setara dan kerja sama yang saling menguntungkan antara media mainstream dan platform digital.

Johnny kemudian memaparkan, Kemenkominfo melihat bahwa berbagai negara mulai menyiapkan legislasi primer dalam rangka menjaga dan mengatur konvergensi dan koeksistensi media, bekerja sama dengan ekosistem media baik di tingkat nasional maupun lokal. Isu yang paling banyak didiskusikan terkait dengan content sharing, terutama langkah-langkah yang mengupayakan kesetaraan platform digital dan media konvensional.

"Karena itu, fokus pengaturan yang dilakukan pemerintah adalah mendorong agar hilirisasi di ruang digital dapat dilaksanakan dengan menjaga relasi dan hubungan bisnisnya agar koeksistensi masing-masing 'pemain' bisa berlangsung dengan baik," tuturnya.

Johnny menegaskan, pemerintah memastikan manfaat downstream ruang digital agar bisa dirasakan secara lebih berimbang oleh seluruh masyarakat (public benefit). Di sisi lain, perlu adanya langkah dan tindakan untuk membangun kesiapan organisasi media agar memiliki competitiveness melalui capacity building bagi pengelola media serta membangun sistem dan pola kerja media yang lebih adaptif berbasis TIK.

"Hasil survei Lanskap Media Digital oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) pada 2021 menemukan bahwa inovasi teknologi menjadi kunci sukses utama bagi industri media siber saat ini, disusul penguatan konten jurnalisme," katanya.

Dia juga mengutip Allied Market Research 2021 yang melaporkan bahwa industri media over the top (OTT) di Indonesia bernilai USD360 juta dolar pada 2019 dan diprediksi akan terus berkembang hingga USD4,45 miliar dolar pada 2027. Selain itu, jumlah penetrasi smartphone juga semakin tinggi dan terus meningkat di Indonesia, yaitu setara 125,6% dari total penduduk atau 345,3 juta pada 2021.

"Dengan persaingan usaha akibat era disrupsi digital semakin tinggi, pemerintah terus berupaya mendorong adopsi teknologi digital secara holistis bagi seluruh pelaku industri di Tanah Air dan penciptaan fair level of playing field di konvergensi industri media," imbuh Johnny.

Dia lantas menandaskan, satu hal yang harus diwujudkan terlebih dulu adalah perlu adanya regulasi yang mengatur tentang relasi yang adil dan sehat antara media massa, publisher, dan platform digital, serta koeksistensi ekosistem media di Indonesia yang dapat saling menguntungkan bagi masing-masing pihak. Pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo, bersama Dewan Pers dan Task Force Media Sustainability tengah membahas draf “Publisher Rights” untuk segera ditindaklanjuti menjadi regulasi yang mengikat dan berkekuatan hukum.

Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh mengakui perkembangan teknologi saat ini semakin menambah ruang dimensi. Tidak lagi sekadar menghadirkan ruang fisik (physical space), disrupsi telah merambah ke dunia siber (cyber space). Dia menekankan agar perusahaan media harus segera beradaptasi dengan hadirnya dunia digital yang lebih maju yakni Metaverse.

“Selama ini dikenal physical space, tetapi sekarang sudah merambah ke cyber space. Sekarang fenomena yang muncul itu omniverse atau Metaverse sudah memiliki penghuni dalam cyber space. Tidak hanya dunia pers, dunia lain juga harus mulai mengeksplorasi yang ada di dunia siber. Makanya akan sangat menarik jika perlunya ada kontemplasi. Jika dunia pers hanya bertahan tanpa melihat ke cyber space, tunggu saja waktu kematiannya,” papar Nuh.

Selain memberikan kemudahan, hadirnya Metaverse ini juga memberikan kerumitan sehingga semakin kompleks. Ibarat dalam matematika, ada bilangan riil dan imajiner. Kombinasi dari riil dan imajiner itu yang menjadikan kompleksitas. Demikian dalam disrupsi teknologi, bukan hanya rumitnya dalam satu dimensi, tapi ada dua dimensi.

“Makanya dunia media harus mulai berpenduduk di wilayah cyber space. Kita tinggal perlu peralatan infrastruktur akses untuk masuk ke dunia siber. Derajat kompleksitas ke depan akan makin naik dan rumit. kehidupan semakin kompleks, termasuk yang dihadapi dunia pers,” ungkapnya.

Mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu menilai kompleksitas dimensi tersebut perlu diiringi adaptasi di ranah jurnalisme. Mau tidak mau, kemampuan para insan pers juga harus ditingkatkan. Dia pun menekankan pentingnya uji kompetensi wartawan (UKW) sebagai upaya untuk mengawasi dan menghadirkan produk jurnalisme yang berkualitas.

“UKW itu menjadi syarat kalau ingin meningkatkan kemajuan pers. Tentu konten di dalam UKW juga harus di-upgrade terus. Ada model perluasan karena ada model baru yang muncul, tetapi juga ada pendalaman. Jadi enggak cukup hanya memperluas cakupan, tapi juga memperdalam pengetahuan. Kita ingin wartawan tidak generalis, tapi ada juga yang paham sampai mendalam ke akar-akar masalahnya,” ujar Nuh.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0990 seconds (0.1#10.140)