Meneroka Batjaan Liar
loading...
A
A
A
Para penulis pergerakan, penerbit, dan pembacanya menjalin ikatan (politik) yang kuat. Ekosistem peredaran bacaan ini nyata terbentuk, hingga kemudian gagasan bangsa yang dibayangkan (imagined community) benar-benar di benak. Struktur produksi, distribusi, dan konsumsinya lebih dekat dengan kehidupan para pembacanya, yang tak dapat dipisahkan dari perkumpulan atau partai politik yang disuarakannya.
Ini mengindikasikan, bacaan liar termasuk instrumen penting di tengah zaman yang sedang bergerak dan bergolak. Bacaan tidak bisa absen guna penyadaran dan penyebar-luasan wacana. Razif menulis, “produk dan penyebaran bacaan merupakan hal pokok dari pergerakan¾sebagai pengikat dan roda penggerak mesin sosial demokrasi”. Keberadaan literatur adalah hal yang pokok selain pidato, rapat umum, agitasi, berita, visi-misi, dan lain-lain. Bacaan memang terasa propagandis dan mengandung misi politis demi¾dan pada zaman¾“kemadjoean” di tanah jajahan.
Produksi bacaan liar lebih ditujukan kepada para pembaca, khususnya kaoem kromo, untuk berbicara tentang banyak hal dengan kata-kata baru yang mampu menyihir, seperti “kapitalisme”, “beweging”, “vergadering”, “imperialisme”, “staking” dan “internasionalisme”. Dengan ini, bacaan liar berisi istilah-istilah revolusioner, memantik perlawanan dan perubahan. Pelbagai bacaan tersebut menjadi medium menggaungkan gagasan ketidakadilan yang terjadi bahkan mengakar di Hindia Belanda, baik persoalan rasialisme, penindasan, perampasan hak, penyedotan tenaga kerja, korupsi, dan masih banyak lagi.
Beberapa contoh bacaan liar termasuk Hikajat Kadiroen-nya Semaoen, Rasa Mardika-nya Soemantri, Parlement atau Soviet-nya Tan Malaka, Student Hidjo dan Sjair Rempah-rempah-nya Marco Kartodikromo, Penoentoen Kaoem Boeroeh-nya Semaoen, Apa Maoenja Kaoem Koemunist, Kaoem Merah, Ma’loemat Kommunist India, serta Soerat Terboeka Kepada Kaoem Intellect atau Kaoem Terpeladjar, dan lain-lain.
Meski masing-masing penulis memiliki perbedaan latar belakang, Razif menyebut semua isi naskah bacaan liar, “melukiskan situasi pergerakan dan memantulkan harapan-harapan masa depan tanah airnya.” Sekian tulisan juga mengandung penglihatan-penafsiran baru atas realitas dunia, sebagai dampak dari gelombang pasang pemikiran modern yang menerpa Hindia-Belanda. Demikian pula, bacaan-bacaan ini menolak gagasan dan norma lama yang kolot.
Satu di antara tokoh yang wajib dibahas mengenai bacaan liar, adalah Marco Kartodikromo. Tokoh bacaan liar yang berpegang teguh pada prinsip “berani karena benar takut karena salah” ini, bisa dibilang ikonik, dan patut untuk diperhitungkan. Razif rupanya sempat menulis ulasan panjang tentang Marco Kartodikromo di majalah Prisma edisi September 1991.
Jejak tulisan membuktikan Razif tekun bertungkus-lumus dan intens meriset bacaan liar. Ia berupaya menulis tokoh pergerakan yang dilupakan, dan kerapkali terlupakan, pada konteks zamannya. Konteks di sini artinya adalah menggali gagasan pemikirannya dengan mengaitkan hubungan-hubungan sosial-masyarakatnya. Razif menggambarkan, “Marco sebagai pemimpin pergerakan tidak bersenjatakan pedang dan tombak, juga tidak dengan patriotisme, juga tidak dengan agama, tetapi bersenjatakan mulut dan pena belaka”. Marco Kartodikromo adalah tokoh pergerakan, terhormat dan terkenang lewat warisan tulisan-tulisan.
Pada abad XXI, dengan terbitnya buku Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan ini, kita masih diminta memikirkan bacaan liar. Buku ini membuat pembaca bisa tertarik dengan dunia perbukuan masa silam khususnya “batjaan liar” yang tak melupakan konteks zaman. Kita tak diinginkan jauh dari masa lampau dan buku-buku yang sempat terbit mewarnai periode pergerakan. Buku-buku bacaan memang memiliki sejarah yang panjang, memukau dan membuat penasaran.
Judul : Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada zaman Pergerakan
Penulis : Razif
Ini mengindikasikan, bacaan liar termasuk instrumen penting di tengah zaman yang sedang bergerak dan bergolak. Bacaan tidak bisa absen guna penyadaran dan penyebar-luasan wacana. Razif menulis, “produk dan penyebaran bacaan merupakan hal pokok dari pergerakan¾sebagai pengikat dan roda penggerak mesin sosial demokrasi”. Keberadaan literatur adalah hal yang pokok selain pidato, rapat umum, agitasi, berita, visi-misi, dan lain-lain. Bacaan memang terasa propagandis dan mengandung misi politis demi¾dan pada zaman¾“kemadjoean” di tanah jajahan.
Produksi bacaan liar lebih ditujukan kepada para pembaca, khususnya kaoem kromo, untuk berbicara tentang banyak hal dengan kata-kata baru yang mampu menyihir, seperti “kapitalisme”, “beweging”, “vergadering”, “imperialisme”, “staking” dan “internasionalisme”. Dengan ini, bacaan liar berisi istilah-istilah revolusioner, memantik perlawanan dan perubahan. Pelbagai bacaan tersebut menjadi medium menggaungkan gagasan ketidakadilan yang terjadi bahkan mengakar di Hindia Belanda, baik persoalan rasialisme, penindasan, perampasan hak, penyedotan tenaga kerja, korupsi, dan masih banyak lagi.
Beberapa contoh bacaan liar termasuk Hikajat Kadiroen-nya Semaoen, Rasa Mardika-nya Soemantri, Parlement atau Soviet-nya Tan Malaka, Student Hidjo dan Sjair Rempah-rempah-nya Marco Kartodikromo, Penoentoen Kaoem Boeroeh-nya Semaoen, Apa Maoenja Kaoem Koemunist, Kaoem Merah, Ma’loemat Kommunist India, serta Soerat Terboeka Kepada Kaoem Intellect atau Kaoem Terpeladjar, dan lain-lain.
Meski masing-masing penulis memiliki perbedaan latar belakang, Razif menyebut semua isi naskah bacaan liar, “melukiskan situasi pergerakan dan memantulkan harapan-harapan masa depan tanah airnya.” Sekian tulisan juga mengandung penglihatan-penafsiran baru atas realitas dunia, sebagai dampak dari gelombang pasang pemikiran modern yang menerpa Hindia-Belanda. Demikian pula, bacaan-bacaan ini menolak gagasan dan norma lama yang kolot.
Satu di antara tokoh yang wajib dibahas mengenai bacaan liar, adalah Marco Kartodikromo. Tokoh bacaan liar yang berpegang teguh pada prinsip “berani karena benar takut karena salah” ini, bisa dibilang ikonik, dan patut untuk diperhitungkan. Razif rupanya sempat menulis ulasan panjang tentang Marco Kartodikromo di majalah Prisma edisi September 1991.
Jejak tulisan membuktikan Razif tekun bertungkus-lumus dan intens meriset bacaan liar. Ia berupaya menulis tokoh pergerakan yang dilupakan, dan kerapkali terlupakan, pada konteks zamannya. Konteks di sini artinya adalah menggali gagasan pemikirannya dengan mengaitkan hubungan-hubungan sosial-masyarakatnya. Razif menggambarkan, “Marco sebagai pemimpin pergerakan tidak bersenjatakan pedang dan tombak, juga tidak dengan patriotisme, juga tidak dengan agama, tetapi bersenjatakan mulut dan pena belaka”. Marco Kartodikromo adalah tokoh pergerakan, terhormat dan terkenang lewat warisan tulisan-tulisan.
Pada abad XXI, dengan terbitnya buku Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan ini, kita masih diminta memikirkan bacaan liar. Buku ini membuat pembaca bisa tertarik dengan dunia perbukuan masa silam khususnya “batjaan liar” yang tak melupakan konteks zaman. Kita tak diinginkan jauh dari masa lampau dan buku-buku yang sempat terbit mewarnai periode pergerakan. Buku-buku bacaan memang memiliki sejarah yang panjang, memukau dan membuat penasaran.
Judul : Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada zaman Pergerakan
Penulis : Razif