Enggan Tilik Diri Lagi
loading...
A
A
A
Anton Suparyanta
Esais, buruh di penerbit perbukuan
“Buah dari kesunyian adalah peribadatan. Buah dari peribadatan adalah keyakinan. Buah dari keyakinan adalah kecintaan. Buah dari kecintaan adalah pelayanan. Buah dari pelayanan adalah perdamaian,” kata Bunda Teresa.
Repetisi buah yang mengklimaks dari Bunda Teresa ini mantap dinukil Yudi Latif . Terapan praktis hariannya dibundel cantik dalam kitab Makrifat Pagi, Percik Embun Spritualitas di Terik Republik. Anda sudah mengoreknya? Apa pula klimaksnya? Yudi Latif keluar dari “zona nyaman” tampuk kekuasaan negara. Demi cinta dan pelayanankah? Bahwa membumikan nilai-nilai Pancasila di dalam meterai lima agama dan satu aliran kepercayaan itu nyata tidak bisa dikekang label kuasa dan takhta.
Mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini mencontohkan satu hal yang sepele, tetapi sungguh imanensi. Camkan bahwa nilai ketuhanan identik dengan cinta. Semua agama diturunkan Tuhan untuk menyemaikan cinta-Nya di muka bumi. Kitab suci, para nabi, ibadah ritual, dan syariat merupakan media cinta Tuhan benar-benar bisa dilaksanakan. Agama-cinta memberi kita kehidupan, kekuatan, keluhuran, dan keseimbangan.
Oke, Bung Yudi, lanjut kerja, kerja, dan kerja!
Demi cinta dan pelayanan, saya pribadi sebagai pelakon literasi, perlukah menagih janji seputar peristiwa literasi akbar nan nasional tentang Pancasila dan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)? Jika terlalu sarkastik dengan kata-kata “menagih”, bolehlah dengan diksi santun “mengingatkan”.
Setidaknya kitab Makrifat Pagi dan keluar dari “zona nyaman” menjadi cermin atau media tilik diri untuk hidup berbangsa dan bernegara yang baik. Setidaknya pula, kita mempunyai karakter. Berkarakter! Tempo silam gawai media sosial riuh. Bahkan, media cetak hingga jagongan rumpi di angkringan ujung kampung demam tag-latah “Aku (Saya) Pancasila”. Alih-alih, dengan bangganya banyak orang mengunggah grafis “Aku (Saya) Pancasila” bersanding dengan foto pribadi yang kasual. Grafis dengan font nyentrik berwarna merah darah dan berlatar belakang putih polos. Atau bahkan dengan warna sebaliknya.
Masih terngiang tamsil tag-latah “Aku (Saya) Pancasila”?
Bung Yudi Latif pun tergelincir duplikasi. Katanya, “Perwakilan pelajar dan mahasiswa dari seluruh Indonesia akan diundang untuk belajar Pancasila lewat film, musik, dan buku. Mereka nanti akan kembali ke wilayah masing-masing sebagai duta Pancasila.” Ternyata, tag “Aku (Saya) Pancasila” sebanding “ Duta Pancasila ”.
Adakah arti penyimpangan logika berbahasa dalam tag tersebut?
Esais, buruh di penerbit perbukuan
“Buah dari kesunyian adalah peribadatan. Buah dari peribadatan adalah keyakinan. Buah dari keyakinan adalah kecintaan. Buah dari kecintaan adalah pelayanan. Buah dari pelayanan adalah perdamaian,” kata Bunda Teresa.
Repetisi buah yang mengklimaks dari Bunda Teresa ini mantap dinukil Yudi Latif . Terapan praktis hariannya dibundel cantik dalam kitab Makrifat Pagi, Percik Embun Spritualitas di Terik Republik. Anda sudah mengoreknya? Apa pula klimaksnya? Yudi Latif keluar dari “zona nyaman” tampuk kekuasaan negara. Demi cinta dan pelayanankah? Bahwa membumikan nilai-nilai Pancasila di dalam meterai lima agama dan satu aliran kepercayaan itu nyata tidak bisa dikekang label kuasa dan takhta.
Mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini mencontohkan satu hal yang sepele, tetapi sungguh imanensi. Camkan bahwa nilai ketuhanan identik dengan cinta. Semua agama diturunkan Tuhan untuk menyemaikan cinta-Nya di muka bumi. Kitab suci, para nabi, ibadah ritual, dan syariat merupakan media cinta Tuhan benar-benar bisa dilaksanakan. Agama-cinta memberi kita kehidupan, kekuatan, keluhuran, dan keseimbangan.
Oke, Bung Yudi, lanjut kerja, kerja, dan kerja!
Demi cinta dan pelayanan, saya pribadi sebagai pelakon literasi, perlukah menagih janji seputar peristiwa literasi akbar nan nasional tentang Pancasila dan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)? Jika terlalu sarkastik dengan kata-kata “menagih”, bolehlah dengan diksi santun “mengingatkan”.
Setidaknya kitab Makrifat Pagi dan keluar dari “zona nyaman” menjadi cermin atau media tilik diri untuk hidup berbangsa dan bernegara yang baik. Setidaknya pula, kita mempunyai karakter. Berkarakter! Tempo silam gawai media sosial riuh. Bahkan, media cetak hingga jagongan rumpi di angkringan ujung kampung demam tag-latah “Aku (Saya) Pancasila”. Alih-alih, dengan bangganya banyak orang mengunggah grafis “Aku (Saya) Pancasila” bersanding dengan foto pribadi yang kasual. Grafis dengan font nyentrik berwarna merah darah dan berlatar belakang putih polos. Atau bahkan dengan warna sebaliknya.
Masih terngiang tamsil tag-latah “Aku (Saya) Pancasila”?
Bung Yudi Latif pun tergelincir duplikasi. Katanya, “Perwakilan pelajar dan mahasiswa dari seluruh Indonesia akan diundang untuk belajar Pancasila lewat film, musik, dan buku. Mereka nanti akan kembali ke wilayah masing-masing sebagai duta Pancasila.” Ternyata, tag “Aku (Saya) Pancasila” sebanding “ Duta Pancasila ”.
Adakah arti penyimpangan logika berbahasa dalam tag tersebut?