Enggan Tilik Diri Lagi

Sabtu, 05 Februari 2022 - 07:56 WIB
loading...
Enggan Tilik Diri Lagi
Enggan Tilik Diri Lagi
A A A
Anton Suparyanta
Esais, buruh di penerbit perbukuan

Buah dari kesunyian adalah peribadatan. Buah dari peribadatan adalah keyakinan. Buah dari keyakinan adalah kecintaan. Buah dari kecintaan adalah pelayanan. Buah dari pelayanan adalah perdamaian,” kata Bunda Teresa.

Repetisi buah yang mengklimaks dari Bunda Teresa ini mantap dinukil Yudi Latif . Terapan praktis hariannya dibundel cantik dalam kitab Makrifat Pagi, Percik Embun Spritualitas di Terik Republik. Anda sudah mengoreknya? Apa pula klimaksnya? Yudi Latif keluar dari “zona nyaman” tampuk kekuasaan negara. Demi cinta dan pelayanankah? Bahwa membumikan nilai-nilai Pancasila di dalam meterai lima agama dan satu aliran kepercayaan itu nyata tidak bisa dikekang label kuasa dan takhta.

Mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini mencontohkan satu hal yang sepele, tetapi sungguh imanensi. Camkan bahwa nilai ketuhanan identik dengan cinta. Semua agama diturunkan Tuhan untuk menyemaikan cinta-Nya di muka bumi. Kitab suci, para nabi, ibadah ritual, dan syariat merupakan media cinta Tuhan benar-benar bisa dilaksanakan. Agama-cinta memberi kita kehidupan, kekuatan, keluhuran, dan keseimbangan.

Oke, Bung Yudi, lanjut kerja, kerja, dan kerja!

Demi cinta dan pelayanan, saya pribadi sebagai pelakon literasi, perlukah menagih janji seputar peristiwa literasi akbar nan nasional tentang Pancasila dan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)? Jika terlalu sarkastik dengan kata-kata “menagih”, bolehlah dengan diksi santun “mengingatkan”.

Setidaknya kitab Makrifat Pagi dan keluar dari “zona nyaman” menjadi cermin atau media tilik diri untuk hidup berbangsa dan bernegara yang baik. Setidaknya pula, kita mempunyai karakter. Berkarakter! Tempo silam gawai media sosial riuh. Bahkan, media cetak hingga jagongan rumpi di angkringan ujung kampung demam tag-latah “Aku (Saya) Pancasila”. Alih-alih, dengan bangganya banyak orang mengunggah grafis “Aku (Saya) Pancasila” bersanding dengan foto pribadi yang kasual. Grafis dengan font nyentrik berwarna merah darah dan berlatar belakang putih polos. Atau bahkan dengan warna sebaliknya.

Masih terngiang tamsil tag-latah “Aku (Saya) Pancasila”?

Bung Yudi Latif pun tergelincir duplikasi. Katanya, “Perwakilan pelajar dan mahasiswa dari seluruh Indonesia akan diundang untuk belajar Pancasila lewat film, musik, dan buku. Mereka nanti akan kembali ke wilayah masing-masing sebagai duta Pancasila.” Ternyata, tag “Aku (Saya) Pancasila” sebanding “ Duta Pancasila ”.

Adakah arti penyimpangan logika berbahasa dalam tag tersebut?

Secara arti dalam KBBI V, Pancasila adalah dasar negara, falsafah bangsa dan negara Republik Indonesia yang terdiri atas lima sila, sedangkan Pancasilais adalah penganut ideologi Pancasila yang baik dan setia.

Bukankah intelektual atau totalitas pengertian yang dimaksud adalah “Aku (Saya) Pancasilais” atau “Duta Pancasilais”? Oleh karena itu, “aku (saya) haruslah Pancasilais”.

Berangkat dari virus diksi intelek (terpelajar) tersebut, opini ini terbentuk. Ada gagasan besar yang segera diketuk palu oleh UKP-BPIP, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Personalia yang ditunjuk jelas, Yudi Latif (akhirnya keluar dari “zona nyaman”), Muhadjir Effendy , dan Mohamad Nasir. Koordinasinya bersinergi membangun trianggolo Pancasilais. Ada upaya karitatif demi penyelamatan nilai-nilai ideologi Pancasila.

Agenda urgensinya adalah “program pembelajaran Pancasila gaya baru”. Underan sasarannya adalah pelajar dan mahasiswa dari seluruh Indonesia. Program ini penting demi “iman” bernegara dan berbangsa. Sebab fenomena yang mencuat tergambar jelas bahwa sokoguru empat pilar negara sudah oleng dan limbung, carut-marut, serta karut-marut. Terjadi pemakzulan pelan-pelan terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI , dan Bhinneka Tunggal Ik a.

Tim UKP-BPIP mendesak. Yudi Latif (ketika itu) menggaransikan pada temuan fakta bahwa hampir selama dua dasa warsa terakhir ini pembelajaran Pancasila kurang intensif dan tidak efektif. Unsur-unsur sebaran karakter seperti kejujuran, keadilan, rajin, disiplin, tanggung jawab, proaktif, inisiatif, membangun kerja sama, dan kemandirian justru kini berbanding terbalik dengan ajaran kekerasan, kebencian, atau pengkhianatan yang terangkum dalam ranah perundungan. Kelemahan ini menyebabkan ada 27 dari 100 orang di Indonesia tidak fasih sila dari Pancasila.

Menyikapi keprihatinan nasional karena aksi perundungan itu, Mohamad Nasir menggebu-gebu untuk melesakkan pembelajaran gaya baru. Promosinya, pembelajaran Pancasila kepada para pelajar dan mahasiswa nanti tidak berupa hafalan seperti era Orba, tetapi kontekstual, aplikatif, dan praksis pelaksanaan hidup sehari-hari. Tumpuannya adalah “bagaimana” cara jiwa, raga, dan tindakan kita mengamalkan Pancasila dari sila pertama sampai kelima.

Dari trianggolo Pancasilais itu, terekam tugas maraton. UKP-BPIP menyanggupi konten atau materi ajar. Tim UKP-BPIP akan obrak-abrik (clearing house) terhadap materi ajar Pancasila selama ini yang menyimpang. Mereka berujar, selama ini terjadi kecenderungan materi ajar kaku, kering, dan bersifat jiplakan dari sumber atau referensi yang kurang valid dan tepercaya. Kilah mereka, padahal Pancasila menjadi mata pelajaran wajib di sekolah dan perguruan tinggi.

Pihak kementerian mendapat jatah teknis, berarti ada juklak-juknis hingga legalisasi surat keputusan nasional. Padahal bidikannya tahun silam akademik 2017-2018 harus dimulai. Trianggolo Pancasilais tersebut merencanakan peluncuran program spektakuler di Istana Bogor, pada 13-14 Agustus, menjelang HUT Kemerdekaan RI tahun 2017. Gerangan apa untuk momentum 2022 kini?

Nah! Titik inilah tagihan buat para pelakon literasi. Mana gaung dan kiprahnya? Mungkinkah kitab Makrifat Pagi, Percik Embun Spiritualitas di Terik Republik dan undur diri Bung Yudi dari ketua BPIP menjadi solusi?

Promosi trianggolo Pancasilais itu kembali pincang. Muncullah introspeksi sekaligus refleksi bersama. Dunia pembelajaran dan pengajaran, pendidikan dan perbukuan langsung terkena getahnya. Pertama, kurikulum yang bermuatan Pancasila dan perangkatnya terbaru ini dianggap rekayasa dan permainan proyek negara.

Kedua, buku teks siswa dan buku guru yang diperjuangkan dengan penilaian PUSKURBUK dianggap cacat moral. Ketiga, buku referensi atau pendamping yang lulus penilaian masih lemah kualitas. Keempat, kaum pendidik anak bangsa sebagai penghela siswa masih jauh harapan.

Mengapa kita selalu tertatih menyambut gagasan mulia? Mengapa enggan tilik diri dan sudi tersisih seperti nasib pendidikan karakter, pendidikan ekonomi kreatif, pendidikan antikorupsi, pendidikan antinarkoba, pun pendidikan maritim, pendidikan bahari? Inikah cermin dan kiprah karakter madya anak-anak bangsa kita? Cukupkah berhenti di predikat puas berkarakter madya? *
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1184 seconds (0.1#10.140)