Menguak Gonjang-ganjing Harga Minyak Goreng
loading...
A
A
A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
BAK ayam mati kelaparan di lumbung padi, itulah gambaran terkait gonjang-ganjing harga minyak goreng, yang hingga kini masih menyerimpung hak-hak konsumen di Indonesia. Jidat konsumen dan masyarakat Indonesia berkerut dengan keras, bagaimana mungkin Indonesia yang mengaku sebagai negara penghasil CPO (Crude Palm Oil) terbesar di dunia (55% market share), mempunyai kebun sawit terluas di dunia, tetapi harga minyak gorengnya menjadi termahal di dunia? Sebuah fenomena yang ironis dan paradoks. Sejak awal September 2021, harga minyak goreng di pasaran terus menanjak. Semula fenomena perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) menjadi tersangkanya. Namun, faktanya hingga tenggat waktu yang ditetapkan pemerintah per 1 Februari 2022, harga minyak goreng faktanya masih bertengger, bahkan langka di pasaran. Minyak goreng adalah salah satu kebutuhan pokok strategis, baik untuk keperluan domestik rumah tangga dan atau keperluan bisnis (kuliner). Gejolak harga minyak goreng berdampak serius terhadap inflasi dan pengeluaran rumah tangga, dan endingnya bisa memicu kemiskinan, khususnya di rumah tangga miskin.
Manuver pemerintah untuk pengendalian harga terbukti tidak efektif, bahkan terbilang gagal, termasuk dalam pemberian subsidi Rp3,5 triliun atau setara dengan 1,3 miliar liter minyak goreng. Penetapan harga sebesar Rp11.500-Rp 14.00, seperti menggarami laut saja. Lalu pernyataannya mengapa hal itu bisa terjadi? Ada beberapa sebab, antara lain; pertama, ibarat sebuah penyakit, dalam membuat kebijakan pemerintah melakukan kesalahan dalam diagnosa. Dalam kasus mahalnya minyak goreng, penyakit utamanya di sisi hulu, tetapi pemerintah hanya bermain di sisi hilir. Maka sampai kapan pun jika yang diobati hanya sisi hilir, tetapi tak pernah menyentuh (mengobati) sisi hulu maka persoalan mahalnya minyak goreng tak akan pernah selesai. Bahkan akan semakin akut.
Pemberian subsidi, sebesar apapun subsidinya dan kemudian diikuti dengan penetapan harga secara sepihak adalah pengobatan dari sisi hilir (saja). Ini pun juga tidak disertai dengan diagnosa yang akurat. Terhadap kebijakan penetapan harga ini, baik pihak APRINDO dan atau asosiasi pedagang pasar tradisional sejatinya keberatan (menolaknya). Pasalnya harga yang ditetapkan pemerintah terlalu rendah, bahkan belum menutup biaya pokoknya (HPP=Harga Pokok Penyediaan). Wajar jika HPP versi pemerintah ini dipelesetkan menjadi “Harga Pemaksaan Pemerintah”. Bahkan dari sisi pasokan APRINDO dan asosiasi pedagang pasar tradisional mengklaim juga bahwa barangnya (minyak goreng) itu tidak ada, pasokannya sangat minim. Intervensi harga oleh pemerintah seperti hendak menangkap angin, sebab pemerintah tidak menguasai barangnya. Lain halnya jika yang diintervensi adalah beras, yang menjadi kompetensi Perum Bulog. Pembatasan pembelian pada konsumen juga terbukti juga tidak efektif, sebab dengan gampang konsumen akan mengakalinya; yakni dengan membeli secara rombongan. Anak, istri, dan suami masing-masing membeli satu bungkus, selesai itu urusan. Sebelum ada pembatasan, sebagian konsumen bahkan melakukan pembelian secara panic buying di pasar modern.
Sementara itu, banyak pihak menengarai (termasuk KPPU), bahwa mahalnya minyak goreng adalah akibat adanya distorsi pasar, yakni dugaan praktik kartel, oligopoli, eksesif margin (keuntungan berlebih), dan bentuk persaingan tidak sehat lainnya. Dugaan ini sangat rasional mengingat, para pemain di bisnis minyak goreng menguasai sektor hulu hingga hilir. Mereka menguasai kebun sawit, proses produksi dan perdagangan minyak goreng; secara terintegrasi. Wajar jika pelaku pasar ini ingin mengeruk untung lebih banyak. Mengingat harga CPO di pasar internasional sedang tinggi-tingginya, sama seperti harga batubara. Inilah salah satu sebab utama gejolak pasar harga minyak goreng, para pelaku pasar domestik ingin mendapatkan cuan yang lebih banyak, dengan cara menjual CPO untuk bahan baku minyak goreng di dalam negeri, dengan standar harga internasional.
Dari perspektif bisnis tentu aksi korporasi ini tidak salah, siapa pun ingin mendapatkan cuan sebesar-besarnya, insting bisnis yang wajar. Yang tidak wajar adalah regulator (pemerintah) mengapa sejak awal tidak ada nyali mengatur hal ini, sebagaimana bisnis batubara? Aneh bin ajaib pemerintah seperti alergi dengan fenomena di sisi hulu. Namun, walau sangat terlambat, setelah digedor sana-sini, akhirnya pemerintah menetapkan DMO (Domestic Market Obligation) sebesar 20%, dan DPO (Domestic Price Obligation) Rp9.300 untuk perdagangan CPO di dalam negeri. Kendati kebijakan ini sudah benar, namun dalam praktik patut diwaspadai, perlu konsistensi dan pengawasan ketat oleh pemerintah. DMO dan DPO ini akan efektif jika diikuti dengan kepatuhan para pelaku usaha CPO. Oleh karenanya, jika terjadi pelanggaran harus ada sanksi tegas dan keras kepada pelaku usaha. Misalnya, pemerintah bisa mencabut izin usahanya, dan atau melakukan larangan ekspor CPO ke luar negeri, sebagaimana larangan ekspor pada batubara (walau akhirnya dianulir lagi).
Gangguan rantai pasok distribusi (supply chain) di sisi hilir, seperti dampak pandemi, memang menjadi fenomena yang faktual dan empirik. Semua sektor mengalami hal ini. Tetapi tidak beresnya persoalan tata niaga CPO dan minyak goreng, bagaimana pun menjadi sebab pertama dan utama. Oleh karena itu, agar permasalahan ini tidak menjadi bom waktu, maka pemerintah harus membereskan persoalan tata niaga CPO dan minyak goreng, dari sisi hulu hingga hilir. Persoalan gonjang ganjing minyak goreng bukan kali ini saja, tetapi sudah beberapa kali terjadi. Hal ini menandakan adanya persoalan sistemik di sisi hulu. Aspek keadilan ekonomi dalam, tata niaga CPO dan minyak goreng harus diwujudkan.
Ketua Pengurus Harian YLKI
BAK ayam mati kelaparan di lumbung padi, itulah gambaran terkait gonjang-ganjing harga minyak goreng, yang hingga kini masih menyerimpung hak-hak konsumen di Indonesia. Jidat konsumen dan masyarakat Indonesia berkerut dengan keras, bagaimana mungkin Indonesia yang mengaku sebagai negara penghasil CPO (Crude Palm Oil) terbesar di dunia (55% market share), mempunyai kebun sawit terluas di dunia, tetapi harga minyak gorengnya menjadi termahal di dunia? Sebuah fenomena yang ironis dan paradoks. Sejak awal September 2021, harga minyak goreng di pasaran terus menanjak. Semula fenomena perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) menjadi tersangkanya. Namun, faktanya hingga tenggat waktu yang ditetapkan pemerintah per 1 Februari 2022, harga minyak goreng faktanya masih bertengger, bahkan langka di pasaran. Minyak goreng adalah salah satu kebutuhan pokok strategis, baik untuk keperluan domestik rumah tangga dan atau keperluan bisnis (kuliner). Gejolak harga minyak goreng berdampak serius terhadap inflasi dan pengeluaran rumah tangga, dan endingnya bisa memicu kemiskinan, khususnya di rumah tangga miskin.
Manuver pemerintah untuk pengendalian harga terbukti tidak efektif, bahkan terbilang gagal, termasuk dalam pemberian subsidi Rp3,5 triliun atau setara dengan 1,3 miliar liter minyak goreng. Penetapan harga sebesar Rp11.500-Rp 14.00, seperti menggarami laut saja. Lalu pernyataannya mengapa hal itu bisa terjadi? Ada beberapa sebab, antara lain; pertama, ibarat sebuah penyakit, dalam membuat kebijakan pemerintah melakukan kesalahan dalam diagnosa. Dalam kasus mahalnya minyak goreng, penyakit utamanya di sisi hulu, tetapi pemerintah hanya bermain di sisi hilir. Maka sampai kapan pun jika yang diobati hanya sisi hilir, tetapi tak pernah menyentuh (mengobati) sisi hulu maka persoalan mahalnya minyak goreng tak akan pernah selesai. Bahkan akan semakin akut.
Pemberian subsidi, sebesar apapun subsidinya dan kemudian diikuti dengan penetapan harga secara sepihak adalah pengobatan dari sisi hilir (saja). Ini pun juga tidak disertai dengan diagnosa yang akurat. Terhadap kebijakan penetapan harga ini, baik pihak APRINDO dan atau asosiasi pedagang pasar tradisional sejatinya keberatan (menolaknya). Pasalnya harga yang ditetapkan pemerintah terlalu rendah, bahkan belum menutup biaya pokoknya (HPP=Harga Pokok Penyediaan). Wajar jika HPP versi pemerintah ini dipelesetkan menjadi “Harga Pemaksaan Pemerintah”. Bahkan dari sisi pasokan APRINDO dan asosiasi pedagang pasar tradisional mengklaim juga bahwa barangnya (minyak goreng) itu tidak ada, pasokannya sangat minim. Intervensi harga oleh pemerintah seperti hendak menangkap angin, sebab pemerintah tidak menguasai barangnya. Lain halnya jika yang diintervensi adalah beras, yang menjadi kompetensi Perum Bulog. Pembatasan pembelian pada konsumen juga terbukti juga tidak efektif, sebab dengan gampang konsumen akan mengakalinya; yakni dengan membeli secara rombongan. Anak, istri, dan suami masing-masing membeli satu bungkus, selesai itu urusan. Sebelum ada pembatasan, sebagian konsumen bahkan melakukan pembelian secara panic buying di pasar modern.
Sementara itu, banyak pihak menengarai (termasuk KPPU), bahwa mahalnya minyak goreng adalah akibat adanya distorsi pasar, yakni dugaan praktik kartel, oligopoli, eksesif margin (keuntungan berlebih), dan bentuk persaingan tidak sehat lainnya. Dugaan ini sangat rasional mengingat, para pemain di bisnis minyak goreng menguasai sektor hulu hingga hilir. Mereka menguasai kebun sawit, proses produksi dan perdagangan minyak goreng; secara terintegrasi. Wajar jika pelaku pasar ini ingin mengeruk untung lebih banyak. Mengingat harga CPO di pasar internasional sedang tinggi-tingginya, sama seperti harga batubara. Inilah salah satu sebab utama gejolak pasar harga minyak goreng, para pelaku pasar domestik ingin mendapatkan cuan yang lebih banyak, dengan cara menjual CPO untuk bahan baku minyak goreng di dalam negeri, dengan standar harga internasional.
Dari perspektif bisnis tentu aksi korporasi ini tidak salah, siapa pun ingin mendapatkan cuan sebesar-besarnya, insting bisnis yang wajar. Yang tidak wajar adalah regulator (pemerintah) mengapa sejak awal tidak ada nyali mengatur hal ini, sebagaimana bisnis batubara? Aneh bin ajaib pemerintah seperti alergi dengan fenomena di sisi hulu. Namun, walau sangat terlambat, setelah digedor sana-sini, akhirnya pemerintah menetapkan DMO (Domestic Market Obligation) sebesar 20%, dan DPO (Domestic Price Obligation) Rp9.300 untuk perdagangan CPO di dalam negeri. Kendati kebijakan ini sudah benar, namun dalam praktik patut diwaspadai, perlu konsistensi dan pengawasan ketat oleh pemerintah. DMO dan DPO ini akan efektif jika diikuti dengan kepatuhan para pelaku usaha CPO. Oleh karenanya, jika terjadi pelanggaran harus ada sanksi tegas dan keras kepada pelaku usaha. Misalnya, pemerintah bisa mencabut izin usahanya, dan atau melakukan larangan ekspor CPO ke luar negeri, sebagaimana larangan ekspor pada batubara (walau akhirnya dianulir lagi).
Gangguan rantai pasok distribusi (supply chain) di sisi hilir, seperti dampak pandemi, memang menjadi fenomena yang faktual dan empirik. Semua sektor mengalami hal ini. Tetapi tidak beresnya persoalan tata niaga CPO dan minyak goreng, bagaimana pun menjadi sebab pertama dan utama. Oleh karena itu, agar permasalahan ini tidak menjadi bom waktu, maka pemerintah harus membereskan persoalan tata niaga CPO dan minyak goreng, dari sisi hulu hingga hilir. Persoalan gonjang ganjing minyak goreng bukan kali ini saja, tetapi sudah beberapa kali terjadi. Hal ini menandakan adanya persoalan sistemik di sisi hulu. Aspek keadilan ekonomi dalam, tata niaga CPO dan minyak goreng harus diwujudkan.
(bmm)