Mangkuk Merah, Rohana, dan Imlek
loading...
A
A
A
Rio Christiawan
Associate Professor Bidang Hukum, Dosen Pluralisme Universitas Prasetiya Mulya
PERISTIWA Mangkuk Merah 1967 adalah peristiwa penyerangan yang disertai pembunuhan dan pengusiran yang dilakukan oleh TNI bersama suku Dayak terhadap permukiman warga etnis Tionghoa di pedalaman Kalimantan Barat. Peristiwa yang terjadi antara September hingga Desember 1967 ini menjadi salah satu catatan sejarah Indonesia. Mangkuk Merah sendiri merupakan istilah ritual adat suku Dayak sebagai sarana konsolidasi dan mobilisasi pasukan lintas subsuku yang efektif serta efesien sekaligus simbol dimulainya perang.
Peristiwa tersebut menjadi awal persepsi adanya ancaman laten dalam relasi masyarakat keturunan Tionghoa dalam masyarakat Indonesia disamping setelahnya banyak peristiwa serupa seperti kerusuhan 1998. Sejatinya masyarakat Tionghoa merupakan bagian dari masyarakat Indonesia dan hidup berdampingan dengan suku lainnya sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Dalam berbagai kajian menunjukkan bahwa persepsi ancaman laten tersebut adalah adanya motif politis dan kini saatnya ditinggalkan.
Bahkan dalam perkembangannya peristiwa Mangkuk Merah yang dilatar belakangi hubungan diplomatik Indonesia dan Malaysia kala itu sudah mulai dilupakan oleh masyarakat kedua negara. Itu setidaknya terbukti melaui kisah Rohana. Kisah menyentuh tentang seorang anak pekerja migran atau tenaga kerja Indonesia yang ditinggal sejak bayi oleh ibunya di Malaysia lalu diasuh oleh seorang warga keturunan Tionghoa. Kisah Rohana viral di media Malaysia baru-baru ini.
Anak tersebut bernama Rohana Abdullah, kini berusia 22 tahun dan menetap di Malaysia. Sang ibu yang bernama Salimah Osman, saat itu bekerja sebagai petugas kebersihan di Sekolah Taman Kanak-Kanak atau Tadika yang dikelola oleh Chee Hoi Lan. Salimah kemudian pulang ke Indonesia dan menitipkan Rohana yang masih berusia 2 bulan ke Chee Hoi Lan. Chee Hoi Lan yang merupakan seorang guru, merawat Rohana seperti anaknya sendiri. Kendati bukan seorang muslim, Chee menyekolahkan Rohana di Kelas Dasar Fardu Ain atau Kafa (sekolah dasar Islam di Malaysia) dan membesarkannya secara Islam.
Refleksi Imlek 2022
Soliditas hidup bermasyarakat seolah menjadi identitas langka yang harus dihidupkan kembali. Para elite bangsa dan seluruh komponen bangsa harus kembali memahami soliditas dalam perbedaan. Stuart Weiss (1996), seorang sosiolog menjelaskan bahwa soliditas adalah unsur yang harus ada dalam relasi antarmanusia karenanya tanpa soliditas dan kerekatan sosial suatu bangsa dapat tercerai berai.
Soliditas adalah keinsyafan akan hakikat manusia, sehingga dengan kerekatan sosial akan terbentuk penghargaan akan jati diri masing masing manusia. Dalam refleksi imlek 2022, manusia akan meletakkan manusia yang lainnya sama dan sebentuk, sehingga dengan soliditas dan kerekatan sosial antarsesama manusia tidak saling merendahkan. Banyak pihak menyerukan untuk saling menghargai dalam perbedaan dan perlunya menumbuhkan kesadaran kolektif akan persatuan dalam perbedaan pandangan agar hakikat manusia tidak menjadi serigala bagi manusia lainnya. Hal ini secara filosofis termanifestasi dalam Pancasila, khususnya sila kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bahwa dalam sejarah peradaban manusia justru perbedaan yang bermartabat akan memajukan sebuah peradaban manusia. Perbedaan harus disadari sebagai bentuk berkembangnya akal, cipta, rasa dan karsa pada perkembangan sebuah peradaban. Menghindari perbedaan justru sama artinya dengan menghancurkan kemajuan sebuah peradaban.
Soliditas dan kerekatan sosial akan melengkapi cipta, rasa dan karsa untuk merajut keinsyafan akan persatuan di tengah perbedaan. Rene Descartes, seorang filosof menjelaskan munculnya perbedaan pada relasi antarmanusia dengan teori cogito ergo sum, artinya aku berpikir maka aku ada. Dalam konteks pemikiran Descartes perbedaan harus dipandang sebagai tanda kekayaan hakikat manusia pada sebuah peradaban, karena perbedaan selalu lahir atas penyempurnaan pemikiran yang telah ada.
Menjelaskan perbedaan dalam relasi antarmanusia tidak terlepas dari pemikiran eksistensialisme Jean Paul Sartre. Memanusiakan dalam perbedaan sebagaimana yang saat ini diperlukan oleh bangsa Indonesia memang tidak terlepas dari tahap-tahap pemikiran eksistensialisme sebagaimana diuraikan oleh Sartre.
Associate Professor Bidang Hukum, Dosen Pluralisme Universitas Prasetiya Mulya
PERISTIWA Mangkuk Merah 1967 adalah peristiwa penyerangan yang disertai pembunuhan dan pengusiran yang dilakukan oleh TNI bersama suku Dayak terhadap permukiman warga etnis Tionghoa di pedalaman Kalimantan Barat. Peristiwa yang terjadi antara September hingga Desember 1967 ini menjadi salah satu catatan sejarah Indonesia. Mangkuk Merah sendiri merupakan istilah ritual adat suku Dayak sebagai sarana konsolidasi dan mobilisasi pasukan lintas subsuku yang efektif serta efesien sekaligus simbol dimulainya perang.
Peristiwa tersebut menjadi awal persepsi adanya ancaman laten dalam relasi masyarakat keturunan Tionghoa dalam masyarakat Indonesia disamping setelahnya banyak peristiwa serupa seperti kerusuhan 1998. Sejatinya masyarakat Tionghoa merupakan bagian dari masyarakat Indonesia dan hidup berdampingan dengan suku lainnya sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Dalam berbagai kajian menunjukkan bahwa persepsi ancaman laten tersebut adalah adanya motif politis dan kini saatnya ditinggalkan.
Bahkan dalam perkembangannya peristiwa Mangkuk Merah yang dilatar belakangi hubungan diplomatik Indonesia dan Malaysia kala itu sudah mulai dilupakan oleh masyarakat kedua negara. Itu setidaknya terbukti melaui kisah Rohana. Kisah menyentuh tentang seorang anak pekerja migran atau tenaga kerja Indonesia yang ditinggal sejak bayi oleh ibunya di Malaysia lalu diasuh oleh seorang warga keturunan Tionghoa. Kisah Rohana viral di media Malaysia baru-baru ini.
Anak tersebut bernama Rohana Abdullah, kini berusia 22 tahun dan menetap di Malaysia. Sang ibu yang bernama Salimah Osman, saat itu bekerja sebagai petugas kebersihan di Sekolah Taman Kanak-Kanak atau Tadika yang dikelola oleh Chee Hoi Lan. Salimah kemudian pulang ke Indonesia dan menitipkan Rohana yang masih berusia 2 bulan ke Chee Hoi Lan. Chee Hoi Lan yang merupakan seorang guru, merawat Rohana seperti anaknya sendiri. Kendati bukan seorang muslim, Chee menyekolahkan Rohana di Kelas Dasar Fardu Ain atau Kafa (sekolah dasar Islam di Malaysia) dan membesarkannya secara Islam.
Refleksi Imlek 2022
Soliditas hidup bermasyarakat seolah menjadi identitas langka yang harus dihidupkan kembali. Para elite bangsa dan seluruh komponen bangsa harus kembali memahami soliditas dalam perbedaan. Stuart Weiss (1996), seorang sosiolog menjelaskan bahwa soliditas adalah unsur yang harus ada dalam relasi antarmanusia karenanya tanpa soliditas dan kerekatan sosial suatu bangsa dapat tercerai berai.
Soliditas adalah keinsyafan akan hakikat manusia, sehingga dengan kerekatan sosial akan terbentuk penghargaan akan jati diri masing masing manusia. Dalam refleksi imlek 2022, manusia akan meletakkan manusia yang lainnya sama dan sebentuk, sehingga dengan soliditas dan kerekatan sosial antarsesama manusia tidak saling merendahkan. Banyak pihak menyerukan untuk saling menghargai dalam perbedaan dan perlunya menumbuhkan kesadaran kolektif akan persatuan dalam perbedaan pandangan agar hakikat manusia tidak menjadi serigala bagi manusia lainnya. Hal ini secara filosofis termanifestasi dalam Pancasila, khususnya sila kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bahwa dalam sejarah peradaban manusia justru perbedaan yang bermartabat akan memajukan sebuah peradaban manusia. Perbedaan harus disadari sebagai bentuk berkembangnya akal, cipta, rasa dan karsa pada perkembangan sebuah peradaban. Menghindari perbedaan justru sama artinya dengan menghancurkan kemajuan sebuah peradaban.
Soliditas dan kerekatan sosial akan melengkapi cipta, rasa dan karsa untuk merajut keinsyafan akan persatuan di tengah perbedaan. Rene Descartes, seorang filosof menjelaskan munculnya perbedaan pada relasi antarmanusia dengan teori cogito ergo sum, artinya aku berpikir maka aku ada. Dalam konteks pemikiran Descartes perbedaan harus dipandang sebagai tanda kekayaan hakikat manusia pada sebuah peradaban, karena perbedaan selalu lahir atas penyempurnaan pemikiran yang telah ada.
Menjelaskan perbedaan dalam relasi antarmanusia tidak terlepas dari pemikiran eksistensialisme Jean Paul Sartre. Memanusiakan dalam perbedaan sebagaimana yang saat ini diperlukan oleh bangsa Indonesia memang tidak terlepas dari tahap-tahap pemikiran eksistensialisme sebagaimana diuraikan oleh Sartre.