Komunikasi Pandemi Pemerintah: Satu Arah

Jum'at, 12 Juni 2020 - 05:00 WIB
loading...
Komunikasi Pandemi Pemerintah:...
Andi A Mallarangeng, Doktor Ilmu Politik, Northern Illinois University AS, Mantan Jubir Presiden RI Ke-6. Foto: Ist
A A A
Andi A Mallarangeng

Doktor Ilmu Politik, Northern Illinois University AS, Mantan Jubir Presiden RI Ke-6

SETIAP hari kita melihat di layar TV, Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 menyampaikan kepada publik berapa kasus positif baru, berapa yang sembuh dan berapa yang meninggal. Sekali-sekali, Presiden Jokowi muncul pula di layar kaca sambil duduk di meja kerjanya menjelaskan kebijakan pemerintah yang baru berkaitan dengan penanggulangan bencana virus korona dan berbagai aspeknya. Para menteri berganti memberikan pernyataan, yang sering pula bertentangan satu sama lain. Satu pola komunikasi yang sama mengemuka dalam berbagai komunikasi pemerintah terkait pandemi ini adalah model komunikasi satu arah.

Dalam berbagai "konperensi pers" pemerintah terkait pandemi ini kita tidak melihat adanya kesempatan para wartawan untuk bertanya ataupun memberi feedback kepada pemberi penjelasan, apakah itu jubir ataupun Presiden. Publik hanya diberi kesempatan mendapat penjelasan secara "gelondongan" dan diharapkan mengerti dengan sendirinya. Mungkin saja karena diasumsikan (oleh pemberi penjelasan) bahwa keterangan pemerintah tersebut sudah cukup jelas. Atau bahkan dianggap (sekali lagi oleh pemberi penjelasan), segala informasi yang dibutuhkan publik sudah tercakup di dalamnya, tidak lebih dan tidak kurang.

Memang begitulah sifat alamiah model komunikasi satu arah. Model komunikasi satu arah seperti ini sering digunakan untuk menginformasikan fakta dan angka, misalnya label keterangan yang ada di botol obat. Model seperti ini memang juga cocok untuk sekadar menjelaskan angka positif, sembuh, dan meninggal, kalau saja kebutuhan informasi publik hanya berhenti sekadar angka-angka tersebut.

Model komunikasi satu arah biasa digunakan untuk mengontrol informasi mana yang dibuka untuk publik dan mana yang disimpan hanya untuk pemerintah. Keterbukaan informasi bukanlah tujuan dan malah dianggap berbahaya bagi publik. Asumsinya adalah pemerintah lebih tahu mana informasi yang baik bagi publik dan mana yang buruk. Kalau informasi dibuka semua, publik bisa panik dan chaos bisa saja terjadi.

Model komunikasi satu arah juga digunakan untuk memengaruhi atau bahkan memanipulasi perilaku publik. Itulah sebabnya, berbagai komunikasi propaganda selalu menggunakan model komunikasi satu arah. Namun, efektivitas model komunikasi satu arah dalam memengaruhi perilaku publik hanya manjur ketika publik tidak punya sumber informasi lain.

Masalahnya, seperti yang dikatakan wartawan senior Endy Bayuni pada sebuah acara di televisi, dalam era media sosial sekarang ini publik mempunyai banyak pilihan sumber informasi. Kalau penjelasan pemerintah tidak memuaskan atau ada hal-hal yang ingin diketahui publik, tetapi tidak dijelaskan oleh pemerintah, maka publik akan beralih ke media sosial. Karena itu, jangan salahkan kalau publik kemudian lebih percaya pada informasi yang didapatkan di media sosial, walaupun sebagiannya adalah hoaks.

Contoh saja, persoalan boleh mudik atau tidak, beda mudik dengan pulang kampung, tidak ada kesempatan untuk meminta klarifikasi yang bisa ditonton publik secara langsung. Namun, yang ada adalah informasi sepotong-sepotong dari berbagai pejabat saling bertentangan. Pada saat yang sama, kebingungan bukan hanya melanda rakyat, tetapi juga para pelaksana di lapangan. Hasilnya, bentrok yang tidak perlu antara masyarakat dengan pelaksana lapangan terjadi di mana-mana. Masing-masing menggunakan informasi media sosial yang didapatkannya sebagai landasan bertindak.

Dalam berhadapan dengan penjelasan pemerintah, wartawanlah yang mewakili kepentingan publik untuk bertanya dan memberi feedback , termasuk klarifikasi bahkan kritik yang kemudian dilaporkan melalui medianya masing-masing, baik secara live ataupun tidak. Kehadiran wartawan merupakan representasi kehadiran rakyat dalam konferensi pers pemerintah. Itulah sebabnya, pers juga sering disebut pilar kelima demokrasi.

Di negara-negara demokrasi lain, justru model komunikasi dua arah yang menjadi standar komunikasi selama pandemi ini. Bahkan, Presiden Trump yang tidak suka wartawan dan lebih senang menggunakan komunikasi satu arah melalui Twitter tetap melakukan konferensi pers yang diikuti dengan sesi tanya jawab bagi wartawan yang hadir dan disiarkan langsung. Begitu pula Perdana Menteri Inggris Boris Johnson ataupun Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, serta berbagai pemimpin negara demokrasi lainnya.

Dalam berbagai konferensi pers tersebut wartawan diberi kesempatan bertanya, mulai dari bagaimana publik bisa mendapat akses untuk testing, bagaimana kemajuan penelitian vaksin, bagaimana skema penyaluran bantuan sosial bagi masyarakat dan dari mana dananya, bagaimana skema relaksasi pembatasan sosial, mengapa data dari satu daerah berbeda dengan data pemerintah pusat, apa benar bahwa hydroxychloroquine benar-benar manjur dan apa buktinya, dan sebagainya.

Tentu saja seorang presiden, perdana menteri, menteri atau jubir tidak akan mampu menjawab semua pertanyaan itu sendirian. Karena itu, kita lihat di negara lain, presiden, perdana menteri, menteri, ataupun jubir, selalu didampingi berbagai pejabat teknis lainnya serta para ahli yang menjadi tim pemerintah. Biasanya, Presiden Trump, misalnya, didampingi Wakil Presiden yang menjadi Kepala Gugus Tugas Penanggulangan Covid-19, ada pula Menteri Kesehatan serta Surgeon General, ada juga Kepala Pusat Penanggulangan Penyakit Menular (CDC), juga para ahli, seperti Dr Anthony Fauci, Dr. Deborah Birx, dan lain-lain. Mereka ini siap membantu presiden untuk menjelaskan tentang fakta, informasi lanjutan, klarifikasi, kebijakan dan aplikasinya, ataupun hal-hal teknis yang terjadi di lapangan.

Demikian pula terlihat pada tingkat pemerintah daerah. Gubernur New York Andrew Cuomo beserta staf dan para ahli hampir setiap hari memberikan update informasi kepada pers yang diikuti dengan tanya jawab oleh para wartawan dan disiarkan langsung oleh berbagai media. Suatu contoh model komunikasi dua arah di pusat dan daerah.

Komunikasi yang dilakukan secara dua arah tidak berarti persoalan sudah selesai. Tentu saja tidak. Tetapi, model komunikasi dua arah memperlihatkan bagaimana pemerintah tetap menghormati rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam demokrasi. Konferensi pers dua arah dalam demokrasi adalah bentuk akuntabilitas pemerintah terhadap rakyat serta merupakan penghargaan pemerintah akan hak rakyat untuk tahu. Terakhir ini, dalam era media sosial, keterbukaan informasi lebih bermanfaat bagi rakyat ketimbang menutup-nutupinya. Lagi pula, apalagi yang bisa disembunyikan sekarang?
(jon)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1014 seconds (0.1#10.140)