Komunikasi Pandemi Pemerintah: Satu Arah
loading...
A
A
A
Andi A Mallarangeng
Doktor Ilmu Politik, Northern Illinois University AS, Mantan Jubir Presiden RI Ke-6
SETIAP hari kita melihat di layar TV, Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 menyampaikan kepada publik berapa kasus positif baru, berapa yang sembuh dan berapa yang meninggal. Sekali-sekali, Presiden Jokowi muncul pula di layar kaca sambil duduk di meja kerjanya menjelaskan kebijakan pemerintah yang baru berkaitan dengan penanggulangan bencana virus korona dan berbagai aspeknya. Para menteri berganti memberikan pernyataan, yang sering pula bertentangan satu sama lain. Satu pola komunikasi yang sama mengemuka dalam berbagai komunikasi pemerintah terkait pandemi ini adalah model komunikasi satu arah.
Dalam berbagai "konperensi pers" pemerintah terkait pandemi ini kita tidak melihat adanya kesempatan para wartawan untuk bertanya ataupun memberi feedback kepada pemberi penjelasan, apakah itu jubir ataupun Presiden. Publik hanya diberi kesempatan mendapat penjelasan secara "gelondongan" dan diharapkan mengerti dengan sendirinya. Mungkin saja karena diasumsikan (oleh pemberi penjelasan) bahwa keterangan pemerintah tersebut sudah cukup jelas. Atau bahkan dianggap (sekali lagi oleh pemberi penjelasan), segala informasi yang dibutuhkan publik sudah tercakup di dalamnya, tidak lebih dan tidak kurang.
Memang begitulah sifat alamiah model komunikasi satu arah. Model komunikasi satu arah seperti ini sering digunakan untuk menginformasikan fakta dan angka, misalnya label keterangan yang ada di botol obat. Model seperti ini memang juga cocok untuk sekadar menjelaskan angka positif, sembuh, dan meninggal, kalau saja kebutuhan informasi publik hanya berhenti sekadar angka-angka tersebut.
Model komunikasi satu arah biasa digunakan untuk mengontrol informasi mana yang dibuka untuk publik dan mana yang disimpan hanya untuk pemerintah. Keterbukaan informasi bukanlah tujuan dan malah dianggap berbahaya bagi publik. Asumsinya adalah pemerintah lebih tahu mana informasi yang baik bagi publik dan mana yang buruk. Kalau informasi dibuka semua, publik bisa panik dan chaos bisa saja terjadi.
Model komunikasi satu arah juga digunakan untuk memengaruhi atau bahkan memanipulasi perilaku publik. Itulah sebabnya, berbagai komunikasi propaganda selalu menggunakan model komunikasi satu arah. Namun, efektivitas model komunikasi satu arah dalam memengaruhi perilaku publik hanya manjur ketika publik tidak punya sumber informasi lain.
Masalahnya, seperti yang dikatakan wartawan senior Endy Bayuni pada sebuah acara di televisi, dalam era media sosial sekarang ini publik mempunyai banyak pilihan sumber informasi. Kalau penjelasan pemerintah tidak memuaskan atau ada hal-hal yang ingin diketahui publik, tetapi tidak dijelaskan oleh pemerintah, maka publik akan beralih ke media sosial. Karena itu, jangan salahkan kalau publik kemudian lebih percaya pada informasi yang didapatkan di media sosial, walaupun sebagiannya adalah hoaks.
Contoh saja, persoalan boleh mudik atau tidak, beda mudik dengan pulang kampung, tidak ada kesempatan untuk meminta klarifikasi yang bisa ditonton publik secara langsung. Namun, yang ada adalah informasi sepotong-sepotong dari berbagai pejabat saling bertentangan. Pada saat yang sama, kebingungan bukan hanya melanda rakyat, tetapi juga para pelaksana di lapangan. Hasilnya, bentrok yang tidak perlu antara masyarakat dengan pelaksana lapangan terjadi di mana-mana. Masing-masing menggunakan informasi media sosial yang didapatkannya sebagai landasan bertindak.
Dalam berhadapan dengan penjelasan pemerintah, wartawanlah yang mewakili kepentingan publik untuk bertanya dan memberi feedback , termasuk klarifikasi bahkan kritik yang kemudian dilaporkan melalui medianya masing-masing, baik secara live ataupun tidak. Kehadiran wartawan merupakan representasi kehadiran rakyat dalam konferensi pers pemerintah. Itulah sebabnya, pers juga sering disebut pilar kelima demokrasi.
Doktor Ilmu Politik, Northern Illinois University AS, Mantan Jubir Presiden RI Ke-6
SETIAP hari kita melihat di layar TV, Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 menyampaikan kepada publik berapa kasus positif baru, berapa yang sembuh dan berapa yang meninggal. Sekali-sekali, Presiden Jokowi muncul pula di layar kaca sambil duduk di meja kerjanya menjelaskan kebijakan pemerintah yang baru berkaitan dengan penanggulangan bencana virus korona dan berbagai aspeknya. Para menteri berganti memberikan pernyataan, yang sering pula bertentangan satu sama lain. Satu pola komunikasi yang sama mengemuka dalam berbagai komunikasi pemerintah terkait pandemi ini adalah model komunikasi satu arah.
Dalam berbagai "konperensi pers" pemerintah terkait pandemi ini kita tidak melihat adanya kesempatan para wartawan untuk bertanya ataupun memberi feedback kepada pemberi penjelasan, apakah itu jubir ataupun Presiden. Publik hanya diberi kesempatan mendapat penjelasan secara "gelondongan" dan diharapkan mengerti dengan sendirinya. Mungkin saja karena diasumsikan (oleh pemberi penjelasan) bahwa keterangan pemerintah tersebut sudah cukup jelas. Atau bahkan dianggap (sekali lagi oleh pemberi penjelasan), segala informasi yang dibutuhkan publik sudah tercakup di dalamnya, tidak lebih dan tidak kurang.
Memang begitulah sifat alamiah model komunikasi satu arah. Model komunikasi satu arah seperti ini sering digunakan untuk menginformasikan fakta dan angka, misalnya label keterangan yang ada di botol obat. Model seperti ini memang juga cocok untuk sekadar menjelaskan angka positif, sembuh, dan meninggal, kalau saja kebutuhan informasi publik hanya berhenti sekadar angka-angka tersebut.
Model komunikasi satu arah biasa digunakan untuk mengontrol informasi mana yang dibuka untuk publik dan mana yang disimpan hanya untuk pemerintah. Keterbukaan informasi bukanlah tujuan dan malah dianggap berbahaya bagi publik. Asumsinya adalah pemerintah lebih tahu mana informasi yang baik bagi publik dan mana yang buruk. Kalau informasi dibuka semua, publik bisa panik dan chaos bisa saja terjadi.
Model komunikasi satu arah juga digunakan untuk memengaruhi atau bahkan memanipulasi perilaku publik. Itulah sebabnya, berbagai komunikasi propaganda selalu menggunakan model komunikasi satu arah. Namun, efektivitas model komunikasi satu arah dalam memengaruhi perilaku publik hanya manjur ketika publik tidak punya sumber informasi lain.
Masalahnya, seperti yang dikatakan wartawan senior Endy Bayuni pada sebuah acara di televisi, dalam era media sosial sekarang ini publik mempunyai banyak pilihan sumber informasi. Kalau penjelasan pemerintah tidak memuaskan atau ada hal-hal yang ingin diketahui publik, tetapi tidak dijelaskan oleh pemerintah, maka publik akan beralih ke media sosial. Karena itu, jangan salahkan kalau publik kemudian lebih percaya pada informasi yang didapatkan di media sosial, walaupun sebagiannya adalah hoaks.
Contoh saja, persoalan boleh mudik atau tidak, beda mudik dengan pulang kampung, tidak ada kesempatan untuk meminta klarifikasi yang bisa ditonton publik secara langsung. Namun, yang ada adalah informasi sepotong-sepotong dari berbagai pejabat saling bertentangan. Pada saat yang sama, kebingungan bukan hanya melanda rakyat, tetapi juga para pelaksana di lapangan. Hasilnya, bentrok yang tidak perlu antara masyarakat dengan pelaksana lapangan terjadi di mana-mana. Masing-masing menggunakan informasi media sosial yang didapatkannya sebagai landasan bertindak.
Dalam berhadapan dengan penjelasan pemerintah, wartawanlah yang mewakili kepentingan publik untuk bertanya dan memberi feedback , termasuk klarifikasi bahkan kritik yang kemudian dilaporkan melalui medianya masing-masing, baik secara live ataupun tidak. Kehadiran wartawan merupakan representasi kehadiran rakyat dalam konferensi pers pemerintah. Itulah sebabnya, pers juga sering disebut pilar kelima demokrasi.