Ambang Batas Parlemen Terlalu Tinggi, Hasil Pemilu Tidak Proporsional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem ) Titi Anggraini menyatakan, sebuah negara yang mengatakan menyelenggarakan pemilu legislatifnya dengan sistem proporsional, mesti memerhatikan dan mendesain sistem pemilunya agar jumlah suara yang didapat oleh partai politik itu selaras dengan jumlah kursi yang diraihnya di parlemen.
Misalnya, jika partai politik peserta pemilu mendapatkan suara sebesar 30%, ketika suara itu dikonversikan menjadi kursi legislatif, partai politik tersebut mesti pula mendapatkan 30% kursi legislatif di parlemen.
Selain itu, manfaat dari pemilu proporsional adalah meminimalisir suara yang terbuang. "Sehingga menimbulkan persepsi yang positif bagi pemilih, kedatangan mereka ke TPS tidak sia-sia. Suara rakyat benar-benar dihitung dan berharga," tutur Titi saat dihubungi SINDOnews, Kamis (11/6/2020).
Menurut Titi, tujuan dari pemilu proporsional adalah agar lembaga perwakilan rakyat benar-benar representatif atau agar setiap suara yang diberikan oleh pemilih terwakili di lembaga perwakilan rakyat. (Baca Juga: Soal Usulan PT 5-7%, Parpol Non Parlemen Minta Partai Besar Tak Pongah).
"Ketika di dalam sebuah pemilu dengan sistem proporsional, tetapi justru banyak suara pemilih yang terbuang, atau tidak dihitung untuk mewujudkan representasi di lembaga perwakilan, artinya ada kesalahan fatal di dalam penerapan sistem pemilu proporsionalnya," ungkap dia.
Lebih lanjut Titi mengatakan, salah satu penyebab terjadinya kesalahan fatal di dalam mewujudkan sistem pemilu proporsional karena banyaknya suara yang terbuang itu disebabkan oleh pengaturan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang tidak dirumuskan secara tepat.
Menurut dia, keinginan menyederhanakan sistem kepartaian dan mengurangi jumlah partai di parlemen didekati dengan jalan terus menaikkan ambang batas, yang konsekuensinya adalah makin banyak suara sah pemilih yang terbuang (wasted votes) dan menjadi tidak berharga karena tidak bisa dihitung untuk ikut penemtuan perolehan kursi.
Akibatnya, sambung dia, tentu saja membuat inkonsistensi antara pengaturan pemilu proporsional dan ambang batas menimbulkan distorsi pada kedaulatan rakyat. "Initnya, pengaturan ambang batas yang terlalu tinggi, 7% itu akan menyebabkan hasil pemilu yang makin tidak proporsional (disproporsional)," ujarnya.
Misalnya, jika partai politik peserta pemilu mendapatkan suara sebesar 30%, ketika suara itu dikonversikan menjadi kursi legislatif, partai politik tersebut mesti pula mendapatkan 30% kursi legislatif di parlemen.
Selain itu, manfaat dari pemilu proporsional adalah meminimalisir suara yang terbuang. "Sehingga menimbulkan persepsi yang positif bagi pemilih, kedatangan mereka ke TPS tidak sia-sia. Suara rakyat benar-benar dihitung dan berharga," tutur Titi saat dihubungi SINDOnews, Kamis (11/6/2020).
Menurut Titi, tujuan dari pemilu proporsional adalah agar lembaga perwakilan rakyat benar-benar representatif atau agar setiap suara yang diberikan oleh pemilih terwakili di lembaga perwakilan rakyat. (Baca Juga: Soal Usulan PT 5-7%, Parpol Non Parlemen Minta Partai Besar Tak Pongah).
"Ketika di dalam sebuah pemilu dengan sistem proporsional, tetapi justru banyak suara pemilih yang terbuang, atau tidak dihitung untuk mewujudkan representasi di lembaga perwakilan, artinya ada kesalahan fatal di dalam penerapan sistem pemilu proporsionalnya," ungkap dia.
Lebih lanjut Titi mengatakan, salah satu penyebab terjadinya kesalahan fatal di dalam mewujudkan sistem pemilu proporsional karena banyaknya suara yang terbuang itu disebabkan oleh pengaturan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang tidak dirumuskan secara tepat.
Menurut dia, keinginan menyederhanakan sistem kepartaian dan mengurangi jumlah partai di parlemen didekati dengan jalan terus menaikkan ambang batas, yang konsekuensinya adalah makin banyak suara sah pemilih yang terbuang (wasted votes) dan menjadi tidak berharga karena tidak bisa dihitung untuk ikut penemtuan perolehan kursi.
Akibatnya, sambung dia, tentu saja membuat inkonsistensi antara pengaturan pemilu proporsional dan ambang batas menimbulkan distorsi pada kedaulatan rakyat. "Initnya, pengaturan ambang batas yang terlalu tinggi, 7% itu akan menyebabkan hasil pemilu yang makin tidak proporsional (disproporsional)," ujarnya.
(zik)