2022 Akhir Pandemi; Prospek Realistik atau Prematur?

Senin, 10 Januari 2022 - 10:09 WIB
loading...
2022 Akhir Pandemi; Prospek Realistik atau Prematur?
Iqbal Mochtar, Dokter dan Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan, Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah. foto/istimewa
A A A
Iqbal Mochtar
Dokter dan Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan. Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah

DUAtahun lebih didera pandemi membuat orang makin antusias bertanya, “Kapan pandemi berakhir?”. Sebagian berharap 2022 adalahending-nya. Apalagi Dirjen WHO Dr Tedros Adhanom mengisyaratkan kemungkinan itu. Sebagian agak pesimis; menganggap satu tahun ke depan tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan besar pandemi. Sebagian lagi amat pesimis; virus Covid-19 tidak akan pernah enyah dan akan menjadi bagian kehidupan manusia. Kurang lebih sama dengan virus influenza yang terus bersirkulasi dari tahun ke tahun.

Tingkat morbiditas Covid-19 amat tinggi. Hanya dalam dua tahun, sekitar 300 juta kasus Covid-19 teridentifikasi dengan jumlah kematian 5,5 juta orang. Artinya, setiap hari terdeteksi 400.000 kasus dan terjadi 7.500 kematian. Pandemi ini juga meluluhlantakkan beragam aspek kehidupan manusia; ekonomi, sosial, politik dan ritual keagamaan. Sebagian ahli sepakat bahwa pandemi ini merupakan pandemi terburuk abad ini. Kehidupan manusia sangat terpukul. Maka wajar mereka ingin cepat keluar dari pandemi ini.

Morbiditas vs Mortalitas

Magnitudepandemi bisa dievaluasi dengan berbagai indikator, di antaranya lewat profil tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas). Semakin tinggi morbiditas dan mortalitas, semakin parah pandemi. Dalam dua tahun pandemi, profil morbiditas masih belum menurun. Angka kasus Covid-19 terus fluktuatif tanpa tren penurunan. Bahkan dalam beberapa minggu terakhir ini trennya sangat meningkat. Januari tahun lalu,ratekasus baru adalah 94 per 1 juta penduduk dan saat ini menjadi 250 per 1 juta penduduk. Angkapositive ratepada tingkat global pun terus fluktuatif. Belum ada penurunan. Ini memberi pesan bahwa virus masih terus menyebar tanpa penurunan intensitas.

Banyak faktor mendasari belum meredanya kasus Covid-19, di antaranya pelaksanaantestingyang makin sensitif dan masif serta munculnya varian-varian baru. Hampir semua negara meningkatkan kapasitastesting-nya, termasuk Indonesia. Semakin banyaktestingdilakukan semakin besar kemungkinan terlacaknya kasus. Pandemi dianggap kondusif apabila banyaktestingdilakukan namun kasus yang didapatkan sedikit.

Berbeda dengan morbiditas, profil mortalitas global mengalami penurunan signifikan. Setelah mencapai puncaknya Januari tahun lalu dengan 1,8 kematian per 1 juta penduduk, angka kematian terus menurun secara gradual hingga mencapai 0,7 per 1 juta penduduk saat ini. Penurunan ini hampir tiga kali lipat. Saat bersamaan,fatality ratejuga menurun. Saat awal pandemi,fatality ratesempat mencapai 7,3%; artinya, 7 dari 100 orang terinfeksi meninggal. Saat ini,fatality rateglobal berkisar 0,6%. Di Indonesia juga terjadi penurunan signifikanpositive ratedari puncak 30% menjadi 0,17% saat ini. Ini penurunan signifikan. Berbagai jenis penatalaksanaan mendasari penurunan ini, terutama pembatasan pergerakan orang dan barang, 3M, 3T dan vaksin.

Varian vs Vaksin

Meski banyak faktor mempengaruhi perjalanan pandemi, determinan penting yang mendominasi sketsa pandemi pada 2022 adalah varian dan vaksin. Kedua determinan ini ‘bertarung’ dan hasilnya menentukan ekuilibriumitas pandemi. Keduanya adalahgame changer. Bila varian lebih kuat, pandemi akan terus merebak dan berlangsung. Sebaliknya, bila vaksin lebih kuat, penyebaran pandemi akan terminimalisasi atau terkontrol.

Sepanjang varian tetap bermunculan, peta pergerakan pandemi belum akan berakhir. Akan terus terjadi proses dinamis morbiditas dan mortalitas; jumlah kasus dan kematian bisa meningkat drastis. Sebagian varian berpotensi mengurangi kemanjuran vaksin. Ini terutama terjadi bila varian memiliki perubahan atau mutasi pada struktur yang menjadi target vaksin. Faktanya, saat berhadapan dengan varian Delta dan Omicron, misalnya, berbagai jenis vaksin mengalami penurunan kemanjuran serius.Preliminary studybaru-baru ini menunjukkan bahwa dua jenis dosis vaksin tidak bermanfaat saat berhadapan Omicron. Artinya, meski telah mendapat dua dosis, individu tetap dapat terinfeksi. Makanya booster mulai digalakkan di berbagai negara. Dengan booster, kemampuan protektif vaksin kembali meningkat.

Hingga kini, sekitar 9,5 miliar dosis vaksin telah diberikan pada 184 negara. Pada 2022, program vaksinasi dan penelitian vaksin akan makin marak. Salah satu alasannya untuk meredam kemunculan varian-varian baru dan beragam efeknya. Akibatnya, akan muncul revisi konsep penatalaksanaan. Dua dosis vaksin akan dianggap tidak memadai lagi; untukfully protecteddibutuhkan dosis ketiga atau dosis selanjutnya. Atau bisa jadi vaksin yang telah eksis dimodifikasi agar tetap bisa manjur. Bahkan bisa terjadi pada tahun-tahun berikutnya vaksinasi Covid-19 ini akan menjadi vaksin regular yang harus diberikan pada periode tertentu; mungkin setiap 6-12 bulan. Kira-kira mirip dengan vaksinseasonal flusaat ini.

Nasionalisme vs Universalisme

Dirjen WHO mengingatkan bahwa pandemi hanya akan berakhir bila terjadi penanganan pandemi secara global dan menyeluruh. Semua negara dan manusia mesti tertangani dan terproteksi tanpa ada yang tertinggal. Tidak ada ketimpangan. Sayangnya, ini merupakan dilema besar. Hingga saat ini, sejumlah pihak masih terus mempraktikkan prinsip nasionalisme dan individualisasi dalam penatalaksanaan pandemi. Berbagai negara memborong dan menstok vaksin dalam jumlah berlebihan untuk penduduknya. Bahkan berkali lipat jumlah penduduknya. Alasannya, nasionalisme. Sementara banyak negara lain tidak memiliki stok.

Ini sangat dilematis karena yang diharapkan dalam penanggulangan pandemi adalah penanganan secara universal. Pada tahun-tahun mendatang, persinggungan antara prinsip nasionalisme dan universalisme akan marak. Dan ujung-ujungnya, ketimpangan tetap menganga. Kelompokbetter-offakan menguasai dan menggunakan vaksin jauh lebih dominan daripada kelompokworse-off. Kesenjangan makin melebar. WHO dan semua negara mesti bisa mengatasi ketimpangan ini.

Meski banyak yang telah lelah dan berharap 2022 pandemi akan berakhir, kelihatannya harapan ini masih prematur. Pada 2022, besar kemungkinan kasus akan tetap banyak dan merebak akibat masih belum meratanya penanganan global serta maraknya varian-varian baru. Meski kasus belum menurun, tingkat kefatalan global diperkirakan akan menurun;fatality ratediharapkan bisa ditekan di bawah 0,5%.

Alasannya, pada tahun ini akan makin banyak orang yang menjalani vaksinasi serta makin gencarnya penerapan 3M dan 3T. Apalagi, kini telah muncul obatMolnupiraviryang dilaporkan dapat mengurangi perawatan rumah sakit dan kematian sebesar 30%. Obat ini juga harganya relatif lebih murah dan penggunaannya secara oral. Artinya,simple and accessible. Semua penatalaksanaan ini menjadi proteksi berlapis bagi penyakit Covid-19.

Setiap negara juga akan terus melakukan kebijaksanaan program tarik ulur. Bila kondisi membaik, mereka akan melonggarkan restriksinya. Dan bila memburuk akan memperketat. Kebijakantotal lock downyang pernah populer pada awal pandemi tampaknya akan makin kurang dipraktikkan dan mungkin hanya akan digunakan pada kondisi yang benar-benar serius. Intinya, pada 2022 ini pandemi masih akan bersama manusia. Meski mungkin dengangestureyang tidak segarang tahun-tahun sebelumnya.
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1660 seconds (0.1#10.140)