Menimbang Reformasi Konstitusi

Jum'at, 07 Januari 2022 - 11:15 WIB
loading...
Menimbang Reformasi...
Akmaluddin Rachim, Pemerhati Konstitusi tinggal di Jakarta. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Akmaluddin Rachim
Pemerhati Konstitusi tinggal di Jakarta
Alumnus Magister Hukum UGM

POLEMIK perubahan konstitusi UUD 1945 kembali menjadi diskursus. Ulasan mengenai itu banyak menghiasi layar kaca, mewarnai obrolan di media sosial, dan menjadi pemberitaan di media cetak baik nasional maupun lokal.

Kabar burung yang beredar mengatakan perubahan konstitusi dilakukan untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Ada pula yang berpendapat bahwa perubahan itu dimaksudkan untuk mengakomodasi haluan negara dalam konstitusi. Kendati demikian, isu apa pun yang dimunculkan tetap mendapat penolakan dari berbagai pihak.

Pertanyaannya, mengapa isu perpanjangan masa jabatan presiden lebih menarik diperbincangkan sementara ada isu lain yang lebih penting? Misalnya saja pengakomodasian aturan pemberantasan korupsi dalam konstitusi, penguatan peran KPK, penguatan fungsi legislasi DPD dan MK, penguatan hak-hak warga negara dalam mengajukan constitutional complaint, atau pelbagai isu lain yang menyangkut perkembangan sistem ketatanegaraan kita ke depannya.

Wacana amandemen konstitusi ini relatif selalu ada. Pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pemikiran ke arah sana pernah muncul. Diketahui isu ini muncul pada tahun 2009, 2015, dan 2018. Bedanya, pada masa itu isu perubahan konstitusi tidak menjadi perhatian para elite partai dan pemberitaan terhadap isu tidak masif.

Patut diingat, terdapat pelajaran penting pada perubahan konstitusi periode 1999-2002. Dalam telaah perubahan konstitusi di masa itu, sejumlah kritik mewarnai proses tersebut. Adnan Buyung Nasution mengatakan perubahan konstitusi saat itu dilakukan tanpa desain, tidak ada konsep, dan salah secara metodologi.

Hardjono lebih lugas mengatakan bahwa perubahan konstitusi yang telah dilakukan tidak memiliki legitimasi filosofis, yuridis, dan sosiologis. Begitupun dengan Jimly Asshiddiqie—anggota Tim Ahli Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR—yang mengatakan paradigma perubahan UUD 1945 baru ditemukan belakangan.

Sri Soemantri telah mengingatkan perubahan konstitusi harus didahului alasan dan tujuan yang jelas. Menurutnya, untuk melakukan perubahan konstitusi, hal yang mesti diperhatikan adalah alasan objektif serta arah perubahan yang akan dicapai. Tanpa itu, hasilnya bisa “prematur” yang akan memiliki banyak konsekuensi.

Pelajaran berharga dari begawan hukum tersebut patut direvitalisasi sebab pada realitasnya amandemen konstitusi cenderung menegasikan prinsip dan teori perubahan konstitusi. Harus diakui bahwa reformasi konstitusi pada periode 1999—2002 belum tuntas dan menyisakan ruang terbuka untuk perubahan kembali.

Realitas itu kini ada di depan mata begitupun probabilitas momentumnya. Sejumlah fraksi pendukung pemerintah seperti PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PPP, dan PAN cenderung solid akan mendukung perubahan konstitusi.

Tersisa hanya Demokrat dan PKS—oposisi pemerintah—yang hampir pasti menolak ide tersebut. Meskipun demikian, secara kalkulasi politik, peluang untuk amandemen konstitusi masih terbuka lebar.

Momentum Perubahan Konstitusi
Secara normatif aturan mengenai usulan perubahan konstitusi diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. Pasal 37 ayat (1) UUD mengatur bahwa “Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Aturan itu tidak mengatur perubahan konstitusi harus didasarkan pada suatu momentum konstitusional tertentu.

Sebagian pakar hukum tata negara mengatakan perubahan konstitusi harus dilatarbelakangi adanya keadaan instabilitaspolitik, konteks hak asasi manusia, atau adanya referendum menuntut perubahan konstitusi. Kita tidak menghendaki adanya keadaan tersebut untuk kemudian melakukan perubahan konstitusi.

Perubahan konstitusi dapat terjadi jika mayoritas fraksi di DPR setuju dengan usulan perubahan terhadap UUD 1945. Pasal 37 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa “Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya”.

Ketentuan tersebut harus dimaknai bahwa jika terdapat ada beberapa pasal yang akan dilakukan perubahan maka pasal usulan perubahan tersebut harus didasarkan pada argumentasi hukum yang logis dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Itu artinya usulan perubahan konstitusi harus didasarkan pada desain dan arah yang jelas ingin dicapai dari ide perubahan. Selain itu usulan perubahan konstitusi patut didasarkan pada alasan filosofis, teoritis, yuridis, historis, dan politis.

UUD 1945 mengatur hanya mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak dapat dilakukan perubahan. Hal tersebut mutlak tidak dapat diubah dan ditegaskan dalam Pasal 37 ayat (5) UUD NRI 1945, yang mengatur bahwa “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”.

Momentum perubahan konstitusi saat ini dapat dilihat dari perkembangan kondisi global terkini yang berfokus pada isu perubahan iklim. Perubahan iklim terjadi begitu cepat menyebabkan suhu bumi semakin memanas. Pada pertemuan KTT G-7, di Inggris 11-13 Juni 2021, negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Italia, Jerman, Prancis, dan Jepang, telah bersepakat untuk meningkatkan upaya mengatasi perubahan iklim.

Kesepakatan tersebut harus dipandang sebagai saat yang tepat melakukan perubahan paradigma konstitusi. Paradigma perubahan konstitusi tidak lagi berada dalam status quo, tapi harus berpandangan maju ke depan. Dasar perubahan konstitusi harus luwes, berkembang, dan menyesuaikan dengankeadaan global dan kebutuhan masyarakat.

Jika saat ini adalah momentum perubahan konstitusi dengan salah satu paradigmanya untuk memberikan dukungan mengatasi perubaha iklim, inilah saatnya mendorong perubahan UUD NRI 1945. Apabila hal ini menjadi kenyataan, maka Indonesia adalah negara pertama yang melakukan perubahan konstitusi didasari untuk mengatasi perubahan iklim dan bentuk dukungan Indonesia menciptakan keseimbangan bumi yang lebih baik.

Warisan Pemerintahan Jokowi
Usulan perubahan konstitusi menjadi menarik tatkala itu dipandang sebagai suatu keberhasilan Jokowi pada bidang hukum, yang mendorong perubahan fundamental pada aturan dasar bernegara, yaitu UUD 1945. Indonesia, sebagai negara demokrasi yang konstitusional, menjadikan UUD 1945 sebagai aturan main yang paling dasar dalam menjalankan sistem pemerintahan.

UUD 1945 merupakan dasar hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan. UUD 1945 dinyatakan sebagai sumber hukum tertinggi yang diatur dalam Ketetapan MPRS No XX/MPRS/1966.

Kedudukan tersebut menunjukkan arti penting dari UUD NRI 1945 dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Jika benar akan terjadi pembahasan untuk perubahan konstitusi dalam waktu dekat ini dan itu didorong oleh keinginan besar Jokowi memperbaiki sistem tata kelola penyelenggaran pemerintahan yang bersih, hal tersebut akan menjadi legacy Jokowi yang kolosal selama menjabat sebagai presiden sejak 2014 hingga kini.

Agar perubahan konstitusi ini menjadi legacy, Jokowi perlu turun tangan mengawal isu perubahan tersebut. Memastikan agar perubahan konstitusi tidak salah jalan dan ditumpangi oleh kepentingan oligarki.

Oleh sebab itu, Jokowi seyogianya tampil memimpin atas arus deras wacana perubahan konstitusi dengan cermat dan penuh hikmat kebijaksanaan. Negara harus kembali hadir mewujudkan kepastian dan keadilan hukum. Oleh sebab itu, reformasi konstitusi adalah kunci perbaikan sistem ketatanegaraan.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0770 seconds (0.1#10.140)