Menimbang Mahkamah Konstitusi Hari Ini
loading...
A
A
A
Juhaidy Rizaldy Roringkon
Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
HANS Kelsen pernah mengemukakan bahwa pelaksanaan konstitusionalitas dari produk legislasi dapat secara efektif dijamin apabila adanya organ atau badan selain badan legislatif yang diberi tugas untuk menguji suatu produk hukum konstitusional dan tidak memberlakukannya atau membatalkannya jika menurut organ atau badan tersebut tidak konstitusional.
Gagasan Hans Kelsen perihal pengujian undang-undang sejalan dengan usulan yang pernah diungkapkan Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Yamin mengusulkan bahwa seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk "membanding undang-undang" yang maksudnya tidak lain adalah kewenangan judicial review. Namun, usulan Yamin itu disanggah oleh Soepomo dengan alasan bahwa; pertama, konsep dasar yang dianut dalam UUD yang telah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power); kedua, tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang; dan ketiga, kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga ide pengujian undang-undang terhadap UUD yang diusulkan Yamin tersebut tidak diadopsi dalam UUD NRI 1945.
Perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kebutuhan akan adanya mekanisme judicial review dipandang sangat penting. Reformasi membuahkan perubahan UUD NRI 1945 dalam empat tahap. Pada perubahan ketiga UUD 1945, dirumuskanlah Pasal 24C yang memuat ketentuan tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk merinci dan menindaklanjuti amanat Konstitusi tersebut, melalui Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003 Rancangan UU Mahkamah Konstitusi disahkan. Pada hari itu juga, Undang-Undang tentang MK ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara pada hari yang sama, kemudian diberi nomor menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).
Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK dan sekaligus sebagai negara pertama di dunia yang membentuk lembaga ini pada abad ke-21. Tanggal 13 Agustus 2003 dinobatkan sebagai hari lahir MK Republik Indonesia. Hasil Amendemen UUD NRI 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi juga wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Perjalanan Mahkamah Konstitusi hingga hari ini diwarnai dengan pujian dan kritikan. Ada putusannya yang memberikan pencerahan dan ada juga yang menimbulkan kebingungan. Dua kewenangan yang paling sering menjadi isu hangat di Tanah Air, yaitu terkait dengan perselisihan hasil pemilihan umum dan pengujian undang-undang (judicial review). Perselihan hasil pemilihan umum yang menjadi ajang tiap lima tahun di Indonesia, memaksa konsep Mahkamah Konstitusi untuk tidak sekadar menjadi kalkulator atau berpikir secara legalistik formil untuk mencapai keadilan prosedural semata, tetapi banyak desakan MK dalam mengadili perkara pemilu ini melakukan pendekatan substansial sehingga mencapai keadilan substantif, seperti putusan Pilpres 2019.
MK juga berperan penting sebagai pengadilan sementara untuk mengadili perkara pemilihan kepala daerah yang diamanat oleh UU Pilkada dan diakui juga kedudukan dalam UU MK sebagai kewenangan lain yang diatur dalam UU, yang kemudian beberapa Putusan MK terkait dengan Pilkada Serentak Tahun 2020, yakni MK mengamini untuk memeriksa dari segi substansi dari pilkasa, bukan sekadar hasil. Dan, putusan tersebut lebih dari 1 (satu) putusan dan MK akan terus mengadili perkara pilkada hingga Indonesia mempunyai pengadilan khusus kepemiluaan, sehingga apakah hal ini akan digunakan dalam penemuan hukum dalam perselisihan pemilihan umum, meskipun MK telah secara tegas telah membedakan antara rezim Pilkada dan Pemilu dalam berbagai putusan MK.
Perihal pengujian undang-undang (judicial review) MK menjadi isu utamanya karena sejatinya MK hadir awalnya untuk menguji konstitusionalitas produk legislatif. Akan tetapi, putusan-putusan MK justru menjadi perdebatan akademik dengan melahirkan konsep konstitusional bersyarat dan inkonstitusional bersyarat. Sehingga, ketentuan UU yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 akan tetapi tetap berlaku jikalau memenuhi syarat atau dimaknai seperti amar putusan MK. Seakan-akan MK bergeser dari negatif legislator menjadi positif legislator. Hal ini bisa dilihat dalam putusan tentang penambahan objek praperadilan dalam putusan Nomor 21/PUU-XIV/2014.
Terlepas dari itu MK juga mempertahankan beberapa konsep terkait dengan presidential threshold yang merupakan open legal policy (kebijakan umum terbuka). Konsep kebijakan umum terbuka ini belum jelas adanya dalam tataran regulasi.
Isu utama dalam MK saat ini adalah harus adanya penambahan kewenangan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) untuk melindungi hak konstitusional setiap manusia di Indonesia. Kewenangan ini menjadi pintu masuk untuk melengkapi fungsi dan tujuan dari Mahkamah Konstitusi itu sendiri sebagai penjaga dan pelindung hak asasi manusia.
Pola pikir hakim yang terkesan kaku atau sering dikenal dengan judicial restrain yang membatasi dirinya dengan aturan yang kaku, sehingga pengembangan judicial activism sangat diperlukan juga. Memang hal ini telah berkembang di MK saat ini, beberapa putusan MK telah mencerminkan judicial activism.
Memang, berbicara tentang konsep penemuan hukum ini sudah pernah dipraktikkan oleh Mahkamah Konstitusi hingga saat ini. Kelemahan MK hingga saat ini, daya eksekutorial dari setiap putusan MK, sehingga adanya beberapa peristiwa legislatif tidak mengindahkan putusan MK itu sendiri, sehingga menjadi pekerjaan rumah bersama bagaimana kita dapat menata politik hukum kita dalam membangun bangsa dengan konsep modern. Bukan lagi tentang trias politica (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), akan tetapi konsep trias politica modern yaitu negara, pasar, dan masyarakat yang mendorong kemajuan bersama. MK sebagai penjaga konstitusi, sebagai landasan konstitusional bernegara, dan menjalankan pemerintah terlebih terkait dengan dunia ekonomi dan kesejahteraan sosial serta HAM yang menjadi isu utama saat ini.
Semakin banyak UU yang dibatalkan oleh MK, menjadi pertanda bahwa proses legislasi yang dilakukan DPR maupun Presiden tidak menjalankan ruh atau kemauan daripada konstitusi sebagai pijakan utama dalam bernegara, karena konstitusi kita ini memiliki makna selalu hidup dan berkembang dalam mengikuti arus peradaban.
Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
HANS Kelsen pernah mengemukakan bahwa pelaksanaan konstitusionalitas dari produk legislasi dapat secara efektif dijamin apabila adanya organ atau badan selain badan legislatif yang diberi tugas untuk menguji suatu produk hukum konstitusional dan tidak memberlakukannya atau membatalkannya jika menurut organ atau badan tersebut tidak konstitusional.
Gagasan Hans Kelsen perihal pengujian undang-undang sejalan dengan usulan yang pernah diungkapkan Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Yamin mengusulkan bahwa seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk "membanding undang-undang" yang maksudnya tidak lain adalah kewenangan judicial review. Namun, usulan Yamin itu disanggah oleh Soepomo dengan alasan bahwa; pertama, konsep dasar yang dianut dalam UUD yang telah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power); kedua, tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang; dan ketiga, kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga ide pengujian undang-undang terhadap UUD yang diusulkan Yamin tersebut tidak diadopsi dalam UUD NRI 1945.
Perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kebutuhan akan adanya mekanisme judicial review dipandang sangat penting. Reformasi membuahkan perubahan UUD NRI 1945 dalam empat tahap. Pada perubahan ketiga UUD 1945, dirumuskanlah Pasal 24C yang memuat ketentuan tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk merinci dan menindaklanjuti amanat Konstitusi tersebut, melalui Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003 Rancangan UU Mahkamah Konstitusi disahkan. Pada hari itu juga, Undang-Undang tentang MK ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara pada hari yang sama, kemudian diberi nomor menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).
Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK dan sekaligus sebagai negara pertama di dunia yang membentuk lembaga ini pada abad ke-21. Tanggal 13 Agustus 2003 dinobatkan sebagai hari lahir MK Republik Indonesia. Hasil Amendemen UUD NRI 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi juga wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Perjalanan Mahkamah Konstitusi hingga hari ini diwarnai dengan pujian dan kritikan. Ada putusannya yang memberikan pencerahan dan ada juga yang menimbulkan kebingungan. Dua kewenangan yang paling sering menjadi isu hangat di Tanah Air, yaitu terkait dengan perselisihan hasil pemilihan umum dan pengujian undang-undang (judicial review). Perselihan hasil pemilihan umum yang menjadi ajang tiap lima tahun di Indonesia, memaksa konsep Mahkamah Konstitusi untuk tidak sekadar menjadi kalkulator atau berpikir secara legalistik formil untuk mencapai keadilan prosedural semata, tetapi banyak desakan MK dalam mengadili perkara pemilu ini melakukan pendekatan substansial sehingga mencapai keadilan substantif, seperti putusan Pilpres 2019.
MK juga berperan penting sebagai pengadilan sementara untuk mengadili perkara pemilihan kepala daerah yang diamanat oleh UU Pilkada dan diakui juga kedudukan dalam UU MK sebagai kewenangan lain yang diatur dalam UU, yang kemudian beberapa Putusan MK terkait dengan Pilkada Serentak Tahun 2020, yakni MK mengamini untuk memeriksa dari segi substansi dari pilkasa, bukan sekadar hasil. Dan, putusan tersebut lebih dari 1 (satu) putusan dan MK akan terus mengadili perkara pilkada hingga Indonesia mempunyai pengadilan khusus kepemiluaan, sehingga apakah hal ini akan digunakan dalam penemuan hukum dalam perselisihan pemilihan umum, meskipun MK telah secara tegas telah membedakan antara rezim Pilkada dan Pemilu dalam berbagai putusan MK.
Perihal pengujian undang-undang (judicial review) MK menjadi isu utamanya karena sejatinya MK hadir awalnya untuk menguji konstitusionalitas produk legislatif. Akan tetapi, putusan-putusan MK justru menjadi perdebatan akademik dengan melahirkan konsep konstitusional bersyarat dan inkonstitusional bersyarat. Sehingga, ketentuan UU yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 akan tetapi tetap berlaku jikalau memenuhi syarat atau dimaknai seperti amar putusan MK. Seakan-akan MK bergeser dari negatif legislator menjadi positif legislator. Hal ini bisa dilihat dalam putusan tentang penambahan objek praperadilan dalam putusan Nomor 21/PUU-XIV/2014.
Terlepas dari itu MK juga mempertahankan beberapa konsep terkait dengan presidential threshold yang merupakan open legal policy (kebijakan umum terbuka). Konsep kebijakan umum terbuka ini belum jelas adanya dalam tataran regulasi.
Isu utama dalam MK saat ini adalah harus adanya penambahan kewenangan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) untuk melindungi hak konstitusional setiap manusia di Indonesia. Kewenangan ini menjadi pintu masuk untuk melengkapi fungsi dan tujuan dari Mahkamah Konstitusi itu sendiri sebagai penjaga dan pelindung hak asasi manusia.
Pola pikir hakim yang terkesan kaku atau sering dikenal dengan judicial restrain yang membatasi dirinya dengan aturan yang kaku, sehingga pengembangan judicial activism sangat diperlukan juga. Memang hal ini telah berkembang di MK saat ini, beberapa putusan MK telah mencerminkan judicial activism.
Memang, berbicara tentang konsep penemuan hukum ini sudah pernah dipraktikkan oleh Mahkamah Konstitusi hingga saat ini. Kelemahan MK hingga saat ini, daya eksekutorial dari setiap putusan MK, sehingga adanya beberapa peristiwa legislatif tidak mengindahkan putusan MK itu sendiri, sehingga menjadi pekerjaan rumah bersama bagaimana kita dapat menata politik hukum kita dalam membangun bangsa dengan konsep modern. Bukan lagi tentang trias politica (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), akan tetapi konsep trias politica modern yaitu negara, pasar, dan masyarakat yang mendorong kemajuan bersama. MK sebagai penjaga konstitusi, sebagai landasan konstitusional bernegara, dan menjalankan pemerintah terlebih terkait dengan dunia ekonomi dan kesejahteraan sosial serta HAM yang menjadi isu utama saat ini.
Semakin banyak UU yang dibatalkan oleh MK, menjadi pertanda bahwa proses legislasi yang dilakukan DPR maupun Presiden tidak menjalankan ruh atau kemauan daripada konstitusi sebagai pijakan utama dalam bernegara, karena konstitusi kita ini memiliki makna selalu hidup dan berkembang dalam mengikuti arus peradaban.
(zik)