Keadilan bagi Peternak Telur

Kamis, 06 Januari 2022 - 07:54 WIB
loading...
Keadilan bagi Peternak Telur
Khudori/FOTO/KORAN SINDO
A A A
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi

Hari-hari ini para ibu rumah tangga, pedagang kecil penjual makanan, terutama yang berbahan baku telur menjerit karena harga telur terus merayap naik. Merujuk data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, rerata harga telur berada di kisaran Rp30.250 per kilogram (kg) pada 4 Januari 2022.

Harga terendah di Sulawesi Barat yakni Rp24.25 per kg dan tertinggi di Maluku Utara Rp46.000 per kg. Kenaikan harga telur memukul daya beli warga, terutama warga miskin, karena beriringan dengan kenaikan harga minyak goreng, cabe, bawang merah dan putih.

Warga miskin, juga mereka yang masuk 40% berpenghasilan terbawah dan terkategori hampir atau rentan miskin, mayoritas pengeluarannya untuk pangan. Ini terpotret dari sumbangan garis kemiskinan makanan yang per Maret 2021, porsinya 74,34% dari pengeluaran rumah tangga. Hanya 25,65% pengeluan non-makanan.

Implikasi kondisi ini, stabilitas harga pangan, termasuk telur, jadi kebutuhan mutlak agar akses terjaga. Harga pangan naik atau turun berpengaruh langsung pada jumlah warga miskin.

Diakui atau tidak, telur –bersama daging ayam—adalah sumber protein murah bagi rakyat. Dibandingkan sumber protein hewani lain, telur dan daging ayam relatif terjangkau kantong warga, termasuk kelompok miskin.

Produksi telur dan daging ayam yang surplus juga memungkinkan pasokan sepanjang waktu. Karena itu, tidak mengherankan bila partisipasi konsumsi telur sangat tinggi, mencapai 89,37% pada 2018, tertinggi di antara pangan sumber protein hewani lainnya. Ini menandai betapa pentingnya telur bagi sumber pangan bergizi bagi warga, yang pada giliranya berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia (SDM).

Usaha apapun, termasuk berternak telur, perlu ada jaminan untung bagi pelakunya agar kontinuitas produksi terjaga. Masalahnya, kebijakan pemerintah hari-hari ini belum memungkinkan itu terjadi. Belum hilang dari ingatan pada 15 September lalu Presiden Jokowi mengundang peternak ayam dan petelur ke Istana.

Kala itu, peternak menjerit karena harga telur dan ayam terjun bebas, sementara harga pakan membubung. Jagung, bahan baku pakan yang biasa diracik sendiri, harganya mencapai Rp6.000 per kg, jauh dari harga acuan Rp4.500 per kg. Presiden menjanjikan solusi, termasuk harga jagung seebsar Rp4.500 per kg.

Jagung merupakan komponen utama dalam industri pakan. Dalam pakan unggas, sekitar 50-55% berasal dari jagung. Di sisi lain, pakan merupakan komponen utama dalam industri perunggasan, mengambil porsi sekitar 70% dari ongkos produksi.

Karena itu, tinggi-rendahnya harga jagung akan menentukan tinggi-rendahnya harga daging dan telur ayam. Ketersediaan jagung yang pasti dengan harga yang terjangkau merupakan pilar penting terciptanya industri perunggasan yang efisien, kompetitif dan berdaya saing.

Seharusnya, setelah pertemuan itu masalah peternak selesai di tangan pembantu Presiden; Menteri Perdagangan M Lutfi dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Tapi itu tak terjadi. Harga telur tersungkur tanpa solusi. Harga jagung bukan hanya tetap tinggi, tapi juga sulit didapat. Peternak merugi karena harga pakan dari pabrikan terus meroket. Harga telur hanya Rp13.500 per kg, sementara biaya produksi Rp21.500 per kg. pada rentang Juli-Oktober 2021 banyak peternak layer atau telur mengafkir dini ayam mereka.

Memasuki November, harga telur membaik dan semakin tinggi pada Desember. Harga telur tertolong oleh permintaan yang naik saat Natal dan Tahun Baru 2022.

Di luar itu, pelonggaran aktivitas membuat berbagai permintaan dari hotel, restoran, katering, warung makan, pabrik, dan aneka aktivitas lainnya mulai menggeliat. Pertanyaannya, apakah kenaikan harga telur saat ini didorong oleh pasokan yang terbatas akibat afkir dini? Dugaan saya tidak. Karena sejauh ini tak ada laporan kekurangan/kelangkaan telur.

Satu yang pasti, harga biaya produksi telur memang kian mahal. Dengan harga pakan Rp7.000 per kg, biaya pokok produksi telur saat ini mencapai Rp24.500 per kg. Ditambah margin pedagang dan pengangkutan Rp6.800 per kg, harga telur di konsumen akhir berkisar Rp30.000 hingga Rp31.000 per kg.

Harga ini jauh di atas acuan yang diatur di Permendag 7/2020: Rp24.000 per kg. Mengusung alasan heroik, yakni tak ingin membebani konsumen, pemerintah buru-buru menggelar operasi pasar. Harga telur dibanderol Rp25.000 per kg.

Langkah pemerintah yang demikian sigap membela konsumen kembali mengusik rasa keadilan. Pemerintah –sebagai pemegang mandat dari negara—seharusnya bertindak sebagai wasit yang adil. Dalam kasus ternak unggas, keadilan itu miring ke konsumen. Sementara produsen kurang mendapatkan perhatian dan perlindungan. Jika pemerintah siap menegakkan harga acuan telur di konsumen sebesar Rp24.000 per kg, mengapa sikap serupa tidak muncul kala harga telur tersungkur? Bukankah ada harga acuan pembelian telur di tingkat produsen Rp19.000-Rp21.000 per kg dan harga jagung Rp4.500 per kg?.

Selain bias konsumen, kebijakan pemerintah hari-hari ini kasat mata lebih menguntungkan pelaku usaha besar. Pengusaha minyak goreng, misalnya, dibiarkan melanggar harga acuan berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan.

Dalihnya, harga minyak sawtit mentah (CPO), bahan baku minyak goreng, melejit. Jika pelanggaran ini terjadi pada pengusaha gula dan beras, hampir pasti akan ditindak Satgas Pangan. Artinya, kebijakan buat pelaku usaha besar bisa disesuaikan meski melanggar aturan. Sebaliknya, bagi petani kebijakan mesti tegak. Kemanakah peternak/petani harus mencari keadilan?

Konstitusi menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi hidup dan kehidupan setiap warga negara. Artinya, pemerintah berkewajiban melindungi dan mengembangkan aneka pekerjaan dan sumber penghidupan warga.

Merujuk pada dasar ini, pemerintah yang berhasil adalah pemerintah yang melindungi dan menciptakan aneka pekerjaan dan sumber penghidupan warga. Bukan malah mematikan dengan membuat kebijakan yang berat sebelah. Keadilan ini yang dituntut peternak rakyat lewat jaminan kepastian usaha. Usaha peternak rakyat harus ditempatkan setara pelaku usaha lainnya.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2577 seconds (0.1#10.140)