Jalan Terang untuk Garuda Indonesia

Rabu, 05 Januari 2022 - 14:10 WIB
loading...
Jalan Terang untuk Garuda Indonesia
Muhamad Iksan, Peneliti pada lembaga riset Paramadina Public Policy Institute di bawah Universitas Paramadina Jakarta. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Muhamad Iksan
Peneliti pada lembaga riset Paramadina Public Policy Institute di bawah Universitas Paramadina Jakarta
Saat ini sedang bersekolah di National Cheng-Kung University (NCKU) Tainan, Taiwan

ORGANISASI bisnis, seperti juga makhluk hidup tidak luput dari dinamisnya keberhasilan dan permasalahan, naik dan turun pencapaian, terlebih menghadapi situasi eksternal yang tidak mudah seperti sekarang. Garuda Indonesia, maskapai penerbangan kebangaan bangsa Indonesia juga sedang berada pada situasi tidak mudah baik secara keuangan maupun masa depan kelangsungan perusahaan.

Berkaca pada sejarah panjang perusahaan, krisis moneter 1998 yang mengubah jalur perjalanan sejarah bangsa kita setelah turunnya pemerintahan Orde Baru, turut berdampak bagi maskapai nasional ini. Garuda Indonesia kala itu juga menjadi perusahaan yang hampir kandas karena memiliki utang yang besar, bersumber dari depresiasi rupiah yang tajam.

Melalui kepemimpinan Robby Djohan ditunjuk oleh Menteri BUMN kala itu Tanri Abeng, dengan misi penyelamatan lewat restrukturisasi bisnis melalui perbaikan, saat itu didasarkan kepada manajemen operasi, pendekatan pasar, serta perubahan kepemimpinan yang lebih muda, fresh, dan inovatif. Dalam kurun waktu yang tidak lama, posisi rugi pada laporan keuangan dapat diubah dan kembali mencetak laba.

Garuda Kini
Seperti telah banyak diwartakan di media massa, kondisi keuangan Garuda Indonesia terbebani dengan utang yang menumpuk dan ekuitas (modal) yang negatif, akibat utang kepada pihak ketiga yang meliputi: kewajiban kepada lessor, kewajiban pada bank, vendor swasta maupun BUMN, serta kewajiban lainnya, jumlahnya melebihi aset yang dimiliki perusahaan. Adapun komposisi utang perusahaan mencapai lebih dari enam puluh persen adalah utang terhadap lessor.

Namun demikian, dari kinerja operasional, Garuda Indonesia juga sempat mengalami perbaikan seiring peningkatan jumlah penumpang serta frekuensi penerbangan, sebelum pandemi menghantam. Kini di akhir tahun 2021, harapan kembali terbuka, menyongsong masa libur Natal dan Tahun Baru 2022 yang diproyeksikan mampu berkontribusi pada perbaikan kinerja maskapai kebanggaan Indonesia ini.

Dari sisi kelancaran penerbangan, utang kepada lessor membutuhkan perhatian yang sangat serius karena lessor memiliki kuasa penuh atas instrumen operasional maskapai, yaitu pesawat. Dengan demikian, negosiasi dengan lessor perlu mendapat perhatian khusus serta dilakukan dengan saksama, agar risiko operasi pesawat di-“grounded” oleh lessor dapat dihindari.

Karena pandemi adalah masalah global, maka maskapai-maskapai negara lain yang berada di kawasan Asia Tenggara seperti Thai Airways (Thailand), Malaysia Airline (Malaysia), serta Philippine Airline (Filipina), juga mengalami hal serupa, dan telah melakukan serangkaian usaha penyehatan kondisi neraca perusahaan baik melalui pengadilan (in-court) maupun di luar pengadilan (out-court). Tentunya dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing opsi penyelesaian utang.

Skema Mencari Jalan Terang
Thai Airways telah berhasil melakukan restrukturisasi utang melalui proses Penundaan Kewajiban Penundaan Utang (PKPU) di Thailand dan telah disetujui pada bulan Mei tahun ini. Sebagai catatan terpenting, Thai Airways memiliki kebutuhan pendanaan mencapai USD1,6 miliar, di mana mayoritas kreditur adalah pemegang saham (negara), sehingga dilakukan major debt equity swap.

Sementara itu, Malaysia Airlines telah melakukan usaha penyelesaian utang di luar pengadilan dan penerapan skema UK pada bulan Februari 2021. Maskapai Malaysia tersebut memiliki kebutuhan pendanaan mencapai USD1,2 miliar yang dapat dibagi menjadi dua tahap, masing-masing memiliki kebutuhan, sebesar USD275 juta dan USD898 juta.

Untuk tahap pertama, interim financing melalui skema obligasi wajib konversi. Tahap kedua, dengan ekuitas dilakukan setelah proses restrukturisasi selesai. Dari usaha yang dilakukan harapannya terjadi pengurangan utang mencapai USD3,6 miliar.

Adapun Philippine Airlines telah menjalani proses chapter 11 di Amerika Serikat, karena pemegang saham mayoritas bukan berasal dari pemerintah Filipina. Maskapai Filipina ini memiliki kebutuhan Pendanaan sebesar USD738 juta, yang dapat dibagi menjadi dua tahap, masing-masing sejumlah USD238 juta dan USD505 juta.

Pada tahap pertama melalui interim financing berupa pinjaman dengan jaminan dari pemegang saham. Sementara itu, tahap kedua dengan ekuitas dilakukan setelah proses restrukturisasi selesai. Dari usaha restrukturisasi berupa pengurangan utang mencapai USD2 miliar.

Belajar dari benchmark yang telah berhasil melakukan usaha penyehatan maskapai penerbangan negara tetangga, restrukturisasi maskapai bukanlah suatu hal yang mustahil. Bila Malaysia Airlines, Philippine Airlines, serta Thai Airways berhasil melakukannya, Garuda Indonesia tentu mampu pula. Untuk itu, perlu dukungan politik dan negosiasi yang intens dengan pihak ketiga agar rencana penyehatan dapat berjalan dengan lancar dan tepat waktu.

Masing-masing usaha penyehatan melalui restrukturisasi, baik itu di luar pengadilan (out-of-court) maupun melalui jalur hukum (in-court) memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan jalur di luar pengadilan, penawaran yang berbeda dapat diberikan kepada setiap kreditur tanpa diketahui kreditur lain, tanpa jangka waktu yang harus dipenuhi, dan tidak terbebani biaya pengadilan.

Kekurangannya adalah proses yang berbelit, perlunya mengajukan permohonan moratorium kepada kreditur, negosiasi kepada masing-masing kreditur membutuhkan waktu yang jauh lebih banyak, dan perbedaan perlakuan antar-kreditur berpotensi memunculkan tuntutan hukum di masa mendatang.

Sementara itu, usaha penyehatan melalui restrukturisasi jalur pengadilan (in-court), seperti yang kini sedang dilalui oleh Garuda melalui putusan Penundaan Kewajiban Penundaan Utang (PKPU) PN Jakarta Pusat, memiliki keunggulan dapat mengikat seluruh kreditur, memberikan kemampuan bagi perusahaan untuk melakukan negosiasi ulang perjanjian sewa yang memberatkan, dan rencana perdamaian tidak perlu disetujui oleh seluruh kreditur.

Walaupun beberapa kelemahan juga mengemuka seperti potensi kepailitan yang tetap ada seandainya rencana perdamaian perusahaan tidak disetujui kreditur dalam batas waktu yang ditentukan dalam PKPU.

Tuntutan untuk menyusun rencana bisnis yang mampu beradaptasi dengan kondisi eksternal yang tidak menentu, ditambah dengan hadirnya varian baru yang belum jelas dampaknya, maka pilihan yang realistis harus ditempuh. Putusan PKPU pekan lalu dapat dilihat sebagai “nyala di tengah kegelapan” yang diharapkan dapat memberikan skema restrukturisasi dalam kepastian hukum yang mengikat.

Perjuangan Garuda Indonesia masih panjang; namun kini dengan rencana bisnis yang solid, komunikasi yang efektif, dan kesediaan semua stakeholders untuk ambil bagian, paling tidak, jalan menuju restrukturisasi yang sukses telah terlihat semakin terang.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1372 seconds (0.1#10.140)