Ancaman Krisis Gizi di Tengah Pandemi

Rabu, 10 Juni 2020 - 08:01 WIB
loading...
Ancaman Krisis Gizi di Tengah Pandemi
Ali Khomsan, Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat IPB. Foto/SINDOnews
A A A
Ali Khomsan
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat IPB

COVID-19 started as a health crisis, but disruptions in food systems and on people’s livelihood could create not only a food crisis, but a nutrition crisis (FAO-2020). Kaum perempuan dan anak-anak adalah kelompok paling rawan menderita krisis gizi (the most nutritionally vulnerable groups).

Dalam kondisi normal saja mereka sudah termasuk golongan berisiko, apalagi dalam suasana darurat seperti saat pandemi Covid-19 menyerbu. Perempuan hamil dan menyusui serta anak-anak balita perlu mendapat perhatian besar, karena kebutuhan gizinya relatif lebih banyak namun kondisi kelangkaan pangan di tingkat rumah tangga menyebabkan mereka sulit memenuhinya.

Hingga kini sektor yang diberi tanggung jawab besar untuk mengatasi masalah gizi adalah Kementerian Kesehatan. Penderita gizi buruk atau gizi kurang memang menjadi urusan kesehatan. Namun, pencegahan munculnya masalah gizi seharusnya ditangani oleh sektor yang mengurusi produksi pangan. Kurang kalori protein, anemia kurang gizi besi, kurang vitamin A, dan kurang gizi mikro lainnya adalah karena kuantitas dan kualitas konsumsi pangan yang buruk. Rendahnya konsumsi pangan hewani, kacang-kacangan, sayuran, dan buah merupakan persoalan bangsa yang belum teratasi.

Sektor pertanian mempunyai tugas berat untuk merealisasikan tercukupinya ketersediaan pangan nasional. Di Amerika Serikat (AS), peran USDA (United States Department of Agriculture) sangatlah besar dalam penanggulangan masalah gizi. Sebagai contoh, USDA membantu penyelenggaraan program susu sekolah di berbagai negara berkembang. Selain itu, ilmuwan USDA berperan aktif dalam perumusan Dietary Guidelines untuk mendukung rakyat yang sehat dengan pola makan yang baik.

Kurangnya asupan gizi menyebabkan rendahnya status gizi anak dan anak akan semakin mudah terserang infeksi yang menyebabkan kematian. Demikian pula apabila ibu hamil kekurangan gizi maka akan lahir bayi stunting (panjang badan <48 cm) dan bayi berat lahir rendah (BBLR) yaitu berat kelahiran <2.5 kg. Bayi yang lahir dengan berat <2.5 kg berisiko mengalami banyak gangguan kesehatan.

Dalam situasi pandemi seperti saat ini, ketika akses pangan rumah tangga terganggu, risiko kurang zat besi yang dihadapi kaum perempuan semakin besar karena mereka mengonsumsi bantuan pangan yang serba terbatas jenis dan jumlahnya.
Defisiensi asam folat karena kurang mengonsumsi sayuran berdaun hijau, kacang merah, brokoli, alpukat, dan tomat juga mengancam ibu hamil.

Ketika hamil, perempuan memerlukan asam folat lebih banyak daripada biasanya untuk keperluan tumbuh kembang janin. Bila kadar asam folat rendah, akan menyebabkan bayi lahir cacat, mengalami gangguan saraf (spina bifida), atau retardasi mental. Kebutuhan asam folat pada orang dewasa adalah 400 mcg per hari. Kebutuhan ini menjadi dua kali lipat untuk perempuan hamil dan bertambah 50% untuk ibu menyusui.

Krisis gizi juga akan dialami oleh anak-anak balita di saat pandemi merebak dan pascapandemi bila pemulihan ekonomi berlangsung lamban. Meski anak balita sudah bisa makan makanan orang dewasa, sebenarnya golongan umur ini memerlukan asupan pangan dan gizi yang bermutu. Pada periode usia balita ini konsumsi protein relatif lebih tinggi untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang baik.

Bantuan sembako yang saat ini dibagikan utamanya memang berupa pangan pokok untuk keluarga. Perlu direnungkan bahwa korban pandemi juga ada dari kalangan anak balita dan bayi. Karena itu, bantuan berupa susu bubuk, susu formula, dan bubur bayi juga sangat dibutuhkan. Bantuan pangan untuk anak-anak ini bisa diusahakan dari industri-industri pangan olahan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1663 seconds (0.1#10.140)