Pandemi Covid-19, Pemenuhan Hak Pendidikan Anak Harus Terpenuhi

Selasa, 09 Juni 2020 - 21:08 WIB
loading...
Pandemi Covid-19, Pemenuhan...
Sejumlah siswa belajar bersama di rumah. Sejak pandemi Corona, sekolah-sekolah memberlakukan kegiatan belajar mengajar di rumah dengan sistem online. Foto/SINDOnews/Ali Masduki
A A A
JAKARTA - Ketua Gugus Kerja Kampanye dan Media Save The Children Indonesia, Victor Rembeth mendesak semua pihak baik orang tua, guru, masyarakat, pemerintah daerah hingga pusat untuk memenuhi hak pendidikan anak di masa pandemi virus Corona (Covid-19) .

Victor mengatakan, ada tujuh gerakan yang perlu dilakukan untuk memenuhi hak pendidikan anak. “Tujuh langkah ini, pertama menyediakan akses belajar internet. Kita mengatakan pastikan anak dapat bersekolah sesuai dengan haknya dan kapasitasnya, serta menunjukkan perilaku baru,” katanya dalam diskusi di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Graha BNPB Jakarta (9/6/2020).

Risiko jika tidak terpenuhi akses internet ini, kata Victor adalah 2 dari 3 orang tua mengatakan anak mereka tidak belajar dari website. Kemudian anak berisiko terhadap kekerasan online. Bahkan, juga anak terancam putus sekolah jika kehilangan pekerjaan orang tua berlanjut.

“Contohnya sudah ada penyediaan informasi belajar harus dilakukan, jam belajar disesuaikan dengan dukungan akses internet dan guru kunjung untuk anak,” katanya. ( )

Kedua, untuk mendukung guru-guru untuk menerapkan kebiasaan baru. “Ini juga hasil riset kami mengatakan tiga dari empat guru tidak memiliki akses ke website dan aplikasi online. Tujuh dari 10 membutuhkan material pembelajaran jarak jauh,” kata Victor.

“Contoh praktiknya adalah perlu ada dukungan akses pada internet, dukungan transportasi guru kunjung dan kemudian latih guru untuk penerapan cuci tangan dan SOP kesehatan anak di sekolah. Ini penting sekali guru ya,” lanjut Victor.

Ketiga, pasti manajemen sekolah. Victor mengatakan bahwa satuan pendidikan harus memperkenalkan norma dan kebiasaan yang sehat di lingkungan sekolah.

“Di antaranya, kami menemukan belum ada cuci tangan yang benar. Anak bisa terpapar Covid-19 selama di sekolah. Dan sepanjang jalan ke sekolah. Sekarang ada banyak kasus di negara yang sudah membuka persekolahan. Akhirnya juga terjadi keterpaparan,” katanya.

Keempat, peran orang tua. “Ini tidak bisa berdiri sendiri anak-anak. Ada 7 dari 10 orang tua resikonya mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dan satu dari tiga orang tua kehilangan pekerjaan dan menjadi penganggur. Risiko, tidak terpenuhi hak anak karena orang tua kehilangan pekerjaan,” tegas Victor.

Kelima, masyarakat mendukung proses belajar anak di lingkungan tempat tinggal. Ada stigma dari masyarakat menghambat proses belajar offline. Misalnya, kata Victor kedatangan guru kunjung jangan dilakukan. Padahal perlu juga dilakukan.

“Contoh prakteknya masyarakat membantu jam belajar anak di masyarakat. Memfasilitasi guru kunjung dengan menerapkan protokol kesehatan sesuai dengan anjuran pemerintah,” kata Victor.

Keenam, mendukung penerapan satuan pendidikan aman bencana oleh pemerintah daerah. Victor berharap pemerintah daerah tidak terburu-buru untuk pelaksanaan belajar di sekolah.

“Kemudian kebingungan dan ketidaksiapan sekolah dalam menjalankan pembelajaran jarak jauh. Resikonya, anak rentan kehilangan hak atas pendidikan.”

Ketujuh, memastikan penerapan satuan pendidikan aman bencana oleh pemerintah pusat. “Prakteknya hal ini pemerintah pusat terus menerus mendiskusikan menerapkan satuan pendidikan aman bencana oleh pemerintah pusat di BNPB. Di Kemendikbud ada namanya Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB), itu yang ingin kita adopsi dalam kebiasaan baru ini,” ujar Victor.
(dam)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1284 seconds (0.1#10.140)