Kompleksitas Harmonisasi dan Sinkronisasi Regulasi di Daerah
loading...
A
A
A
Rico Hermawan
Analis Kebijakan Lembaga Administrasi Negara
LAHIRNYA Undang-Undang (UU) Cipta Kerja membawa pesan baru bagi upaya reformasi regulasi di Indonesia. Salah satu harapannya adalah terciptanya harmonisasi dan sinkronisasi peraturan dari pusat hingga daerah, sehingga dapat mendorong daya saing ekonomi dan investasi. Meski demikian, upaya ini tidaklah mudah untuk dilakukan. Banyak pekerjaan rumah, khususnya di pemerintah daerah, yang perlu dibereskan terlebih dahulu untuk mencapai tujuan tersebut.
Pasal 181 ayat (2) UU Cipta Kerja mengamanatkan bahwa peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah yang pengaturannya bertentangan dengan UU Cipta Kerja, harus dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Artinya, regulasi daerah yang telah terbit saat ini, yang pengaturannya bertentangan dengan UU Cipta Kerja, perlu untuk disesuaikan dengan pengaturan baru dalam UU Cipta Kerja yang jumlahnya sangat banyak. Persoalannya, seberapa besar kapasitas pemda untuk menyesuaikan regulasinya yang bertentangan tersebut?
Sekelumit Persoalan
Menyesuaikan regulasi yang pengaturannya begitu banyak dalam UU Cipta Kerja, bagi pemda bukanlah perkara yang mudah untuk dilakukan.
Sebagai peraturan terendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan, peraturan daerah secara teoritis memiliki tempat fleksibilitas yang sangat sempit untuk tidak boleh menyimpang dari sekat-sekat peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun, dalam realitanya, disharmoni peraturan justru sering terjadi di tingkat ini. Padahal, jika ditengok lagi, setiap tahunnya regulasi yang diterbitkan oleh daerah jumlahnya bisa mencapai ratusan peraturan, baik dalam bentuk regeling maupun beschikking. Oleh karena itu, menyesuaikan kembali regulasi-regulasi yang telah terbit menjadi pekerjaan yang tidak mudah bagi daerah.
Studi Pusat Kajian Kebijakan Administrasi Negara (PK2AN) Lembaga Administrasi Negara (2021) menemukan beberapa persoalan yang dihadapi oleh pemda dalam melakukan proses penyesuaian regulasi dengan UU Cipta Kerja. Pertama kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang kurang ideal, terlebih khusus SDM di unit penyelenggara hukum yaitu biro atau bagian hukum. Masih banyak pemda yang kapasitas SDM di unit hukumnya sangatlah kurang, baik dalam hal kuantitas hingga kompetensi.
Pemda sendiri selama ini terbilang memahami prinsip-prinsip pengaturan pembentukan Perda berdasarkan UU No. 12/2011, namun mereka terkendala pada kurangnya kapasitas pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan penyesuaian norma-norma yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hal ini dikarenakan penitikberatan pada proses pembuatan peraturan yang jumlahnya sangat banyak setiap tahunnya. Sementara proses analisis atau evaluasi terhadap dampak regulasi sangat jarang dilakukan karena waktu yang habis untuk proses pembuatan peraturan.
Kedua, lambannya penerbitan peraturan teknis pelaksana UU Cipta Kerja, utamanya dalam bentuk peraturan menteri (permen). Banyaknya penarikan kewenangan dari daerah ke pusat di UU Cipta Kerja tidak diikuti dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan teknis pelaksanaan dengan segera. Sehingga hal ini menyebabkan terjadinya kekosongan hukum di tingkat pemda yang justru menghambat implementasi UU tersebut, seperti proses perizinan.
Ketiga, ketiadaan pedoman yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat untuk mempermudah pemda secara cepat melakukan proses penyesuaian regulasinya dengan UU Cipta Kerja. Banyak aturan yang berubah dalam UU Cipta Kerja membuat pemda harus mengubah begitu banyak regulasinya yang terdampak. Sementara, UU memberikan jangka waktu yang sangat singkat bagi pemda untuk menyesuaikan regulasi mereka.
Analis Kebijakan Lembaga Administrasi Negara
LAHIRNYA Undang-Undang (UU) Cipta Kerja membawa pesan baru bagi upaya reformasi regulasi di Indonesia. Salah satu harapannya adalah terciptanya harmonisasi dan sinkronisasi peraturan dari pusat hingga daerah, sehingga dapat mendorong daya saing ekonomi dan investasi. Meski demikian, upaya ini tidaklah mudah untuk dilakukan. Banyak pekerjaan rumah, khususnya di pemerintah daerah, yang perlu dibereskan terlebih dahulu untuk mencapai tujuan tersebut.
Pasal 181 ayat (2) UU Cipta Kerja mengamanatkan bahwa peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah yang pengaturannya bertentangan dengan UU Cipta Kerja, harus dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Artinya, regulasi daerah yang telah terbit saat ini, yang pengaturannya bertentangan dengan UU Cipta Kerja, perlu untuk disesuaikan dengan pengaturan baru dalam UU Cipta Kerja yang jumlahnya sangat banyak. Persoalannya, seberapa besar kapasitas pemda untuk menyesuaikan regulasinya yang bertentangan tersebut?
Sekelumit Persoalan
Menyesuaikan regulasi yang pengaturannya begitu banyak dalam UU Cipta Kerja, bagi pemda bukanlah perkara yang mudah untuk dilakukan.
Sebagai peraturan terendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan, peraturan daerah secara teoritis memiliki tempat fleksibilitas yang sangat sempit untuk tidak boleh menyimpang dari sekat-sekat peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun, dalam realitanya, disharmoni peraturan justru sering terjadi di tingkat ini. Padahal, jika ditengok lagi, setiap tahunnya regulasi yang diterbitkan oleh daerah jumlahnya bisa mencapai ratusan peraturan, baik dalam bentuk regeling maupun beschikking. Oleh karena itu, menyesuaikan kembali regulasi-regulasi yang telah terbit menjadi pekerjaan yang tidak mudah bagi daerah.
Studi Pusat Kajian Kebijakan Administrasi Negara (PK2AN) Lembaga Administrasi Negara (2021) menemukan beberapa persoalan yang dihadapi oleh pemda dalam melakukan proses penyesuaian regulasi dengan UU Cipta Kerja. Pertama kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang kurang ideal, terlebih khusus SDM di unit penyelenggara hukum yaitu biro atau bagian hukum. Masih banyak pemda yang kapasitas SDM di unit hukumnya sangatlah kurang, baik dalam hal kuantitas hingga kompetensi.
Pemda sendiri selama ini terbilang memahami prinsip-prinsip pengaturan pembentukan Perda berdasarkan UU No. 12/2011, namun mereka terkendala pada kurangnya kapasitas pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan penyesuaian norma-norma yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hal ini dikarenakan penitikberatan pada proses pembuatan peraturan yang jumlahnya sangat banyak setiap tahunnya. Sementara proses analisis atau evaluasi terhadap dampak regulasi sangat jarang dilakukan karena waktu yang habis untuk proses pembuatan peraturan.
Kedua, lambannya penerbitan peraturan teknis pelaksana UU Cipta Kerja, utamanya dalam bentuk peraturan menteri (permen). Banyaknya penarikan kewenangan dari daerah ke pusat di UU Cipta Kerja tidak diikuti dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan teknis pelaksanaan dengan segera. Sehingga hal ini menyebabkan terjadinya kekosongan hukum di tingkat pemda yang justru menghambat implementasi UU tersebut, seperti proses perizinan.
Ketiga, ketiadaan pedoman yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat untuk mempermudah pemda secara cepat melakukan proses penyesuaian regulasinya dengan UU Cipta Kerja. Banyak aturan yang berubah dalam UU Cipta Kerja membuat pemda harus mengubah begitu banyak regulasinya yang terdampak. Sementara, UU memberikan jangka waktu yang sangat singkat bagi pemda untuk menyesuaikan regulasi mereka.