Epidemiolog: Pastikan Karantina Tak Ada Bottle Neck dan Tidak Diskriminatif
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah perlu memastikan pelaksanaan karantina Covid-19 bagi WNI yang baru pulang dari luar negeri tidak terjadi penumpukan (Bottle Neck) dan tidak diskriminatif. Hal ini dikatakan Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman.
Baca Juga: karantina
Baca juga: Antisipasi Lonjakan, Pemerintah Tambah Tempat Karantina PPLN
"Lokasi karantina sangat variatif. Yang terpenting kualitas karantina. Kualitas itu ya tempatnya, bagaimana memastikan ketaatan baik pelaku yang menjalani karantina maupun pengelola menjalankan prosedur karantina dengan baik," kata Dicky Budiman, Selasa (21/12/2021).
Ia menyebutkan, untuk mempermudah pelaksanaan karantina Covid-19 bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) seharusnya pemerintah pusat tidak hanya terfokus pada karantina terpusat di Wisma Atlet Jakarta (Kemayoran, Pademangan, Nagrak, dan Pasar Rumput).
"Ini yang perlu dipastikan. Bicara PMI dan TKI ini warga negara kita, jadi membuat hal yang efisien dengan bekerja sama dengan pemerintah daerah dan kementerian lembaga yang memiliki fasilitas," ucap Dicky.
"Ini perlu dipastikan agar kedatangannya tidak menjadi bottle neck penumpukan antrian karantina. Mau dipilah berdasarkan asal kedatangan negara bisa, atau berbasis wilayah dia tinggal, Jangan sampai ada kesan diskriminatif," lanjutnya.
Ia menyebutkan, proses lama karantina saat ini bervariasi di sejumlah negara. "Karantina ini disiapkan khusus fasilitas nya. Karantina kita dulu sempat 3-5 hari, padahal seharusnya minimal 7 hari. Sekarang di beberapa negara bahkan tidak hanya 14 hari, tapi bahkan ada 21 hari," jelas Dicky Budiman.
Lebih lanjut Dicky Budiman mengungkapkan, meski varian baru Covid-19 Omicron tidak memberikan gejala serius pada orang yang tertular namun secara jangka panjang dapat berdampak buruk pada kondisi kesehatan orang yang terjangkit.
"Penularan Airbone Omicron sangat efektif. Meskipun tidak ada gejala berat tapi ada dampak jangka panjang serius seperti kanker, dari ujung kepala sampai kaki, jadi bukan hanya persoalan pernapasan. Ini menjadi penyakit sistemik. Sehingga berdampak pada kualitas kehidupan penduduk. Jadi tidak bisa dianggap sepele," tutupnya.
Baca Juga: karantina
Baca juga: Antisipasi Lonjakan, Pemerintah Tambah Tempat Karantina PPLN
"Lokasi karantina sangat variatif. Yang terpenting kualitas karantina. Kualitas itu ya tempatnya, bagaimana memastikan ketaatan baik pelaku yang menjalani karantina maupun pengelola menjalankan prosedur karantina dengan baik," kata Dicky Budiman, Selasa (21/12/2021).
Ia menyebutkan, untuk mempermudah pelaksanaan karantina Covid-19 bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) seharusnya pemerintah pusat tidak hanya terfokus pada karantina terpusat di Wisma Atlet Jakarta (Kemayoran, Pademangan, Nagrak, dan Pasar Rumput).
"Ini yang perlu dipastikan. Bicara PMI dan TKI ini warga negara kita, jadi membuat hal yang efisien dengan bekerja sama dengan pemerintah daerah dan kementerian lembaga yang memiliki fasilitas," ucap Dicky.
"Ini perlu dipastikan agar kedatangannya tidak menjadi bottle neck penumpukan antrian karantina. Mau dipilah berdasarkan asal kedatangan negara bisa, atau berbasis wilayah dia tinggal, Jangan sampai ada kesan diskriminatif," lanjutnya.
Ia menyebutkan, proses lama karantina saat ini bervariasi di sejumlah negara. "Karantina ini disiapkan khusus fasilitas nya. Karantina kita dulu sempat 3-5 hari, padahal seharusnya minimal 7 hari. Sekarang di beberapa negara bahkan tidak hanya 14 hari, tapi bahkan ada 21 hari," jelas Dicky Budiman.
Lebih lanjut Dicky Budiman mengungkapkan, meski varian baru Covid-19 Omicron tidak memberikan gejala serius pada orang yang tertular namun secara jangka panjang dapat berdampak buruk pada kondisi kesehatan orang yang terjangkit.
"Penularan Airbone Omicron sangat efektif. Meskipun tidak ada gejala berat tapi ada dampak jangka panjang serius seperti kanker, dari ujung kepala sampai kaki, jadi bukan hanya persoalan pernapasan. Ini menjadi penyakit sistemik. Sehingga berdampak pada kualitas kehidupan penduduk. Jadi tidak bisa dianggap sepele," tutupnya.
(maf)