Kontroversi RUU Pemilu, PT 20% Ulang Polarisasi Tajam di Pilpres 2019

Selasa, 09 Juni 2020 - 09:05 WIB
loading...
Kontroversi RUU Pemilu, PT 20% Ulang Polarisasi Tajam di Pilpres 2019
Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang akan dibahas DPR kembali mematok ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) pada angka 20% jumlah kursi partai politik di parlemen. Ambang batas ini diyakini kembali hanya akan memunculkan dua calon presiden (capres) seperti pada Pemilu Presiden 2019.

Kondisi dua capres diperkirakan kembali akan menciptakan polarisasi yang tajam di masyarakat sebagaimana yang terjadi ketika Joko Widodo dan Prabowo Subianto terlibat pertarungan head to head. Polarisasi ini tak pelak menimbulkan keterbelahan di masyarakat yang dampaknya masih terasa hingga saat ini.

Karena itu, fraksi-fraksi di DPR diminta mempertimbangkan ulang untuk menetapkan ambang batas pencapresan 20% kursi di parlemen atau 25% suara sah hasil pemilu sebagaimana pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berlaku saat ini. (Baca: PAN Nilai Ambang Batas Parlemen 7% Tidak Realistis)

Peneliti dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) Mochamad Nurhasim menilai ambang batas pencapresan yang ideal adalah 10% demi memberi peluang munculnya banyak capres. Dengan banyak capres, polarisasi tajam di masyarakat dan elite bisa dihindarkan.

“Kalau yang terjadi sekarang diulang kembali, politik kita akan head to head, politik kita akan selalu berhadap-hadapan, akan ada polarisasi politik yang sangat tajam,” ungkapnya kemarin.

Menurut Nurhasim, ambang batas pencapresan 20%-25% terlalu tinggi. Meski demikian, dia juga tidak setuju jika ambang batas sama sekali ditiadakan sebab akan menimbulkan banyak fragmentasi politik.

“Karena itu, harus dipikirkan, kira-kira nilai tengahnya itu di mana. Paling tidak kita bisa mengarah pada tiga hingga empat calon di tahap awal pilpres,” katanya.

Nurhasim mengusulkan, angka ambang batas pencapresan yang paling ideal adalah 10% untuk kursi DPR dan 15% untuk suara sah parpol secara nasional. Angka tersebut dianggapnya relatif ideal dengan tetap membatasi dukungan maksimal yakni sekitar 33% supaya tidak ada gejala calon tunggal atau ada orang yang berniat membuat pilpres mendatang hanya diikuti dua pasang calon.

Sekretaris Fraksi NasDem DPR Saan Mustopa mengatakan, fraksinya mengusulkan ambang batas pencapresan 20%. Alasannya, jika ambang batas terlalu rendah misalnya 0%, maka akan sangat mudah bagi orang menjadi capres dan itu akan berpengaruh pada bobot capres yang maju.

“Sedangkan jika 20%, maka terjadi proses seleksi sejak awal. Untuk menjadi capres memang harus mendapat dukungan yang memadai, jadi seleksi sudah terjadi di situ,” ungkapnya kemarin.

Terkait implikasi ambang batas 20% membuat hanya dua pasang capres yang bersaing, Wakil Ketua Komisi II DPR itu mengatakan bukan sesuatu yang negatif. Bahkan, tradisi dua pasang capres itu juga positif kalau dilihat dari perspektif lain. (Baca: Tiga Opsi Besaran Ambang Batas Parlemen di Pemilu 2024)

Dalam sistem pilpres di Indonesia, pemenang diharuskan mendapatkan 50%+1. Maka dengan dua pasang bertarung itu, bisa langsung tercapai, tidak perlu dua putaran. Dari sisi teknis dan pembiayaan, dia menilai ini lebih efisien dan memberikan kepastian pada proses pilpres.

Soal kekhawatiran polarisasi di masyarakat, Saan berpandangan, dengan beberapa pasangan capres pun ujungnya tetap dua pasang nanti yang bertarung kalau di putaran pertama belum ada pasangan calon yang menang 50% +1.

“Kan nanti ditentukan di putaran kedua juga. Artinya, tetap saja ujungnya dua capres, hanya saja prosesnya yang melambat. Ini sama seperti di Pemilu 2004, ada banyak pasangan capres, tapi ujungnya mengerucut dua,” ungkap Saan. (Baca juga: Satu Mal di Kabupaten BogorBoleh Beroperasi di Masa Transisi PSBB)

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PPP Arwani Thomafi menjelaskan, PPP belum membahas soal besaran presidential threshold itu. Tetapi, PPP berpendapat bahwa pemilu legislatif (pileg) dan pilpres sebaiknya dipisah lagi seperti sebelumnya, Pemilu 2019.

“Evaluasi kita pada pelaksanaan Pemilu 2019, banyak catatan terkait aspek keselamatan penyelenggara dan kemudahan dalam memilih,” kata Arwani saat dihubungi kemarin.

Karena itu, Arwani melanjutkan dengan ada pemisahan pileg dan pilpres, itu berimplikasi pada presidential threshold. Jadi, pileg terlebih dulu digelar. Setelah hasil pileg didapat, itu bisa digunakan untuk tiket pilpres. Namun, pada prinsipnya, PPP juga tidak ingin terjadi lagi polarisasi seperti di Pemilu 2019.

“Kita ingin presidential threshold itu dimunculkan untuk menyaring, tapi jangan sampai menutup potensi-potensi koalisi partai bisa lebih banyak bermunculan, prinsipnya itu dulu,” terangnya.

Ditanya soal besaran presidential threshold yang diinginkan partainya, Wakil Ketua Umum DPP PPP ini menjawab bahwa arahnya sama dengan Pemilu 2019, yakni 20%. “Tetap ya (20%), cuma kita maunya pileg-pilpres dipisah,” pungkasnya. (Lihat Videonya: Bosan di Tengah Pandemi, warga Bendung Saluran Irigasi Jadi Wisata Air)

Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengusulkan ambang batas pencalonan presiden disamakan besarannya dengan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold. PKS mengusulkan di angka 4%-5% guna mempermudah pencalonan karena akan lebih banyak koalisi terbentuk.

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan, alasannya mendukung ambang batas pencapresan 4%-5% yakni agar tidak ada penghalang bagi putra-putri terbaik bangsa untuk mencalonkan diri sebagai capres. Dengan syarat 4%-5%, tetap ada persyaratan dukungan bagi mereka untuk mencalonkan, dan nanti biarkan rakyat yang memutuskan siapa pemimpin yang dianggap layak. “Agar tidak ada barrier to entry atau penghalang untuk masuk medan juang,” ujar Mardani. (Kiswondari)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0971 seconds (0.1#10.140)