Guru Besar Unair Ungkap 2 Alasan Tuntutan Mati untuk Terdakwa Korupsi Asabri Tak Tepat

Rabu, 08 Desember 2021 - 19:09 WIB
loading...
Guru Besar Unair Ungkap...
Guru Besar Hukum Pidana Unair Nur Basuki Minarno menyebutkan dua alasan mengapa tuntutan mati terhadap Heru Hidayat di kasus korupsi Asabri tidak tepat. Foto/youtube unair
A A A
JAKARTA - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Nur Basuki Minarno menilai tuntutan pidana mati terhadap Presiden PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dalam kasus dugaan korupsi Asabri tidak tepat. Ada dua alasan kenapa tuntutan mati jaksa penuntut umum (JPU) tersebut kurang tepat.

“Yang pertama karena Pasal 2 ayat (2) UU Korupsi tidak masuk di dalam surat dakwaan,” kata Nur Basuki kepada wartawan, Rabu (8/12/2021).

Dia mengatakan, JPU hanya mencantumkan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dalam surat dakwaannya. Di dalamnya, tidak ada ancaman pidana hukuman mati. Seharusnya, lanjut Nur Basuki, JPU mencantumkan pasal dan ayat yang memuat ancaman hukumam mati.

“Apakah Pasal 2 ayat (2) itu harus dicantumkan di dalam surat dakwaan? Menurut pendapat saya, Pasal 2 ayat (2) harus. Baru dengan begitu jaksa itu menuntut pidana mati. Karena di dalam Pasal 2 ayat (2) nanti JPU harus membuktikan bahwa korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu. Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, keadaan tertentu itu adalah keadaan di mana terjadi bencana alam, di mana terjadi krisis ekonomi atau melakukan pengulangan tindak pidana,” jelasnya.



Alasan kedua, tindak pidana oleh Heru Hidayat dalam kasus Asabri tidak masuk dalam kategori pengulangan. Tindak pidana Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya hampir bersamaan dengan tindak pidana dalam kasus Asabri. Yang berbeda dari keduanya hanya waktu penuntutan, di mana kasus Jiwasraya lebih dahulu diproses dari kasus Asabri.

“Apakah bisa dikatakan perbuatan terdakwa Heru Hidayat pada kasus Asabri, itu merupakan pengulangan dari tindak pidana yang telah dilakukan Heru Hidayat pada kasus Jiwasraya? Jadi, kalau saya perhatikan, tempus-nya hampir bersamaan, artinya waktu kejadian perkara itu terjadi bersamaan. Hanya proses penuntutannya berbeda. Jadi, ini bukan merupakan pengulangan tindak pidana,” ungkapnya.

Selain itu, kata Nur Basuki, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya dan Asabri masuk dalam kategori konkursus realis atau meerdaadse samenloop. Hal ini berarti seseorang melakukan sejumlah tindak pidana sekaligus dalam waktu yang bersamaan dan masing-masing tindak pidana berdiri sendiri.

“Ini merupakan konkursus, dalam ilmu hukum namanya konkursus realis. Jadi, melakukan beberapa perbuatan pidana, yang masing-masing perbuatan itu diancam dengan pidananya sendiri-sendiri. Jadi, ttidak tepat kalau jaksa memberikan pemberatan kepada Heru Hidayat dengan alasan bahwa Heru Hidayat itu telah melakukan pengulangan tindak pidana,” jelas dia.



Konkursus realis ini, kata Nur berbeda dengan pengulangan tindak pidana atau residive. Menurut dia, residive terjadi jika seseorang melakukan tindak pidana lagi setelah sebelumnya dinyatakan bersalah berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.

“Kalau pengulangan tidak pidana atau residive begini, dia diputus pidana, setelah diputus pidana, dia melakukan perbuatan pidana lagi. Kasusnya Heru Hidayat kan tidak, perbuatan pidananya sudah dilakukan semua, hanya diproses tidak dalam waktu yang bersamaan. Jadi, antara kasus Jiwasraya dengan Asabri kan hampir bersamaan, hanya penuntutannya didahulukan Jiwasraya, kemudian Jiwasraya selesai kemudian baru kasus Asabri,” imbuhnya.
(muh)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2017 seconds (0.1#10.140)