TII: Tingkat Risiko Korupsi Lembaga Pertahanan Indonesia Tinggi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia menempati peringkat ke-34 dari 86 negara dalam indeks integritas pertahanan pemerintah (GDI) tahun 2020 yang dirilis TransparencyInternasional Indonesia (TII) . Dengan skor 47, Indonesia memiliki tingkat risiko korupsi tinggi pada lembaga pertahanan.
GDI merupakan indeks yang mengukur mengukur resiliensi institusi pertahanan suatu negara terhadap risiko korupsi. Skor yang didapatkan suatu negara merupakan komposit dari 5 indikator risiko korupsi yakni kebijakan politik, anggaran, manajemen personel, operasi militer, dan pengadaan sektor pertahanan.
"Sektor pertahanan Indonesia masih dijalankan secara kurang akuntabel dan transparan, dan disertai dengan kebijakan dan prosedur yang belum memadai untuk mengurangi risiko korupsi yang tinggi," ujar Sekretaris Jenderal TII, Danang Widoyoko pada paparanya, Selasa (7/12/2021).
Pada indikator politik dan kebijakan, lembaga pertahanan Indonesia mendapatkan skor 49. Hal itu disebabkan belum optimalnya pengawasan DPR meski memiliki kekuasaan formal yang kuat terhadap pengawasan di sektor pertahanan.
"Keterlibatan parlemen dalam belanja pengadaan Kementerian Pertahanan terbatas, terutama dalam mendalami isu konflik kepentingan. Dan pengaruh parlemen terhadap diskursus sektor pertahanan dipengaruhi oleh keahlian atau kepakaran yang minim dari para anggota," kata Danang.
Pada indikator anggaran, lembaga pertahanan Indonesia mendapatkan skor 53. Hal tersebut berdasarkan salah satunya klasifikasi informasi yang dikategorikan sebagai ”rahasia negara” menghambat penerapan UU Keterbukaan Informasi Publik (hanya terkait taktik dan operasi militer).
"Masih belum jelasnya pendapatan di luar anggaran resmi (off-budget revenue), terutama yang berada di 'wilayah abu-abu', seperti jaringan bisnis yang dikelola di luar institusi militer. Dan keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan hambatan signifikan terhadap transparansi di sektor pertahanan," jelasnya.
Pada indikator personel, Indonesia mendapatkan skor 61. Hal tersebut karena meluasnya pengaruh militer dalam urusan sipil dan dalam penyediaan fungsi keamanan internal belum diikuti sepenuhnya mekanisme tata kelola cukup kuat untuk mengurangi risiko korupsi.
"Kerangka kode etik dan pelatihan tentang masalah korupsi sangat terbatas dan belum dilaksanakan secara regular, serta sistem perlindungan whistleblowing di lembaga-lembaga pertahanan dinilai belum cukup kuat," kata Danang.
Pada indikator militer, Indonesia memperoleh skor 16. Hal itu dikarenakan sebagai penyumbang pasukan terbesar ke-8 untuk operasi perdamaian PBB, Indonesia belum memiliki langkah antikorupsi yang kuat untuk memastikan mitigasi selama deployment.
Selain itu, doktrin militer Indonesia tidak membahas korupsi sebagai isu strategis dalam operasi militer. Saat ini, menurut TII, pelatihan antikorupsi yang diberikan kepada prajurit tidak secara khusus membahas operasi dan komandan pasukan kan tidak menerima pelatihan tentang masalah korupsi selama pra penempatan
"Operasi militer juga belum dilengkapi dengan instrumen monitoring dan evaluasi untuk mendeteksi dan mengurangi risiko korupsi di lingkungan operasional, terutama di posisi yang rentan seperti pengadaan," kata Danang.
Dan terakhir pada indikator pengadaan mendapatkan skor 56. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar pengadaan pertahanan bersifat single source dan pemilihan prosedur pengadaan tidak dinilai oleh Badan Pengawasan eksternal sehingga meningkatkan resiko korupsi dalam prosesnya.
Tidak hanya itu, kewajiban pemenuhan kontrak offset berjalan belum transparan dan hanya ada sedikit penilaian terhadap dampak dari kesepakatan pengadaan tersebut pada industri Pertahanan Nasional.
" Dan jualitas transparasi pengadaan cukup rendah dimana rincian kontak tidak tersedia untuk umum dan pembelian sebenarnya juga sering tidak diungkapkan. Sebagian besar akuisisi tidak dimasukkan dalam portal pengadaan umum karena dilakukan melalui pemberian langsung atau tender terbatas dan pengawasan parlemen hanya sangat terbatas pada proses pengadaan secara keseluruhan," ungkap Danang.
Maka dari itu, TII merekomendasikan agar lembaga pertahanan Indonesia melakukan penguatan pengawasan internal dan eksternal. "Serta penguatan integritas perusahaan pertahanan, penguatan instrumen antikorupsi di lembaga pertahanan dan penguatan pengawasan kelompok masyarakat sipil," pungkasnya.
GDI merupakan indeks yang mengukur mengukur resiliensi institusi pertahanan suatu negara terhadap risiko korupsi. Skor yang didapatkan suatu negara merupakan komposit dari 5 indikator risiko korupsi yakni kebijakan politik, anggaran, manajemen personel, operasi militer, dan pengadaan sektor pertahanan.
"Sektor pertahanan Indonesia masih dijalankan secara kurang akuntabel dan transparan, dan disertai dengan kebijakan dan prosedur yang belum memadai untuk mengurangi risiko korupsi yang tinggi," ujar Sekretaris Jenderal TII, Danang Widoyoko pada paparanya, Selasa (7/12/2021).
Pada indikator politik dan kebijakan, lembaga pertahanan Indonesia mendapatkan skor 49. Hal itu disebabkan belum optimalnya pengawasan DPR meski memiliki kekuasaan formal yang kuat terhadap pengawasan di sektor pertahanan.
"Keterlibatan parlemen dalam belanja pengadaan Kementerian Pertahanan terbatas, terutama dalam mendalami isu konflik kepentingan. Dan pengaruh parlemen terhadap diskursus sektor pertahanan dipengaruhi oleh keahlian atau kepakaran yang minim dari para anggota," kata Danang.
Pada indikator anggaran, lembaga pertahanan Indonesia mendapatkan skor 53. Hal tersebut berdasarkan salah satunya klasifikasi informasi yang dikategorikan sebagai ”rahasia negara” menghambat penerapan UU Keterbukaan Informasi Publik (hanya terkait taktik dan operasi militer).
"Masih belum jelasnya pendapatan di luar anggaran resmi (off-budget revenue), terutama yang berada di 'wilayah abu-abu', seperti jaringan bisnis yang dikelola di luar institusi militer. Dan keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan hambatan signifikan terhadap transparansi di sektor pertahanan," jelasnya.
Pada indikator personel, Indonesia mendapatkan skor 61. Hal tersebut karena meluasnya pengaruh militer dalam urusan sipil dan dalam penyediaan fungsi keamanan internal belum diikuti sepenuhnya mekanisme tata kelola cukup kuat untuk mengurangi risiko korupsi.
"Kerangka kode etik dan pelatihan tentang masalah korupsi sangat terbatas dan belum dilaksanakan secara regular, serta sistem perlindungan whistleblowing di lembaga-lembaga pertahanan dinilai belum cukup kuat," kata Danang.
Pada indikator militer, Indonesia memperoleh skor 16. Hal itu dikarenakan sebagai penyumbang pasukan terbesar ke-8 untuk operasi perdamaian PBB, Indonesia belum memiliki langkah antikorupsi yang kuat untuk memastikan mitigasi selama deployment.
Selain itu, doktrin militer Indonesia tidak membahas korupsi sebagai isu strategis dalam operasi militer. Saat ini, menurut TII, pelatihan antikorupsi yang diberikan kepada prajurit tidak secara khusus membahas operasi dan komandan pasukan kan tidak menerima pelatihan tentang masalah korupsi selama pra penempatan
"Operasi militer juga belum dilengkapi dengan instrumen monitoring dan evaluasi untuk mendeteksi dan mengurangi risiko korupsi di lingkungan operasional, terutama di posisi yang rentan seperti pengadaan," kata Danang.
Dan terakhir pada indikator pengadaan mendapatkan skor 56. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar pengadaan pertahanan bersifat single source dan pemilihan prosedur pengadaan tidak dinilai oleh Badan Pengawasan eksternal sehingga meningkatkan resiko korupsi dalam prosesnya.
Tidak hanya itu, kewajiban pemenuhan kontrak offset berjalan belum transparan dan hanya ada sedikit penilaian terhadap dampak dari kesepakatan pengadaan tersebut pada industri Pertahanan Nasional.
" Dan jualitas transparasi pengadaan cukup rendah dimana rincian kontak tidak tersedia untuk umum dan pembelian sebenarnya juga sering tidak diungkapkan. Sebagian besar akuisisi tidak dimasukkan dalam portal pengadaan umum karena dilakukan melalui pemberian langsung atau tender terbatas dan pengawasan parlemen hanya sangat terbatas pada proses pengadaan secara keseluruhan," ungkap Danang.
Maka dari itu, TII merekomendasikan agar lembaga pertahanan Indonesia melakukan penguatan pengawasan internal dan eksternal. "Serta penguatan integritas perusahaan pertahanan, penguatan instrumen antikorupsi di lembaga pertahanan dan penguatan pengawasan kelompok masyarakat sipil," pungkasnya.
(muh)